Alasan Banyak Perempuan Indonesia Mau Jadi TKW di Hongkong

12 April 2019 5:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pejalan kaki melintasi zebra cross di Hong Kong. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pejalan kaki melintasi zebra cross di Hong Kong. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang pramugari pesawat Cathay Pacific dengan nomor penerbangan CX 776 menawarkan makanan kepada para penumpang di salah satu bagian lorong kabin. "Chicken rice? pasta?" serunya dalam bahasa Inggris dan berselang-seling dalam bahasa Mandarin.
ADVERTISEMENT
Nuning Adiyas Nugrahawati (25 tahun) dan Lukis Susanti (29) tidak menanggapi tawaran pramugari yang berwajah oriental tersebut. Tapi kemudian seorang penumpang pria yang duduk di sebelah mereka menanyakan keduanya, "Mbak-mbak mau makan apa? Nasi pakai ayam, atau pasta?"
"Ini gratis atau beli, Mas?" Santi, sapaan Susanti, yang duduk di pojok dekat jendela pesawat justru bertanya balik. Sementara Nuning yang duduk di antara Santi dan penumpang pria tersebut hanya diam, terlihat bingung.
"Ini gratis kok, Mbak," jawab penumpang pria yang belum mereka kenal itu. Tapi ketiganya sama-sama orang Indonesia.
Setelah tahu makanan yang ditawarkan oleh pramugari itu gratis, Nuning dan Santi akhirnya memilih menu nasi ayam. Penumpang pria asing yang di sebelah mereka jadi jembatan komunikasi antara Nuning dan Santi dengan pramugari tersebut.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Nuning dan Santi juga mengambil minuman yang ditawarkan pramugari lainnya. Mereka pun mengambil masing-masing satu cup es krim Häagen-Dazs yang ditawarkan pramugari lainnya lagi.
Selain makan nasi ayam dan es krim, mereka juga menyantap buah potong dan roti yang diberikan pramugari selama berada di dalam pesawat dengan rute penerbangan Jakarta-Hong Kong tersebut.
Selesai makan, mereka berdua tidur dengan menutupi sebagian tubuh mereka dengan selembar kain berwarna-warni yang bahannya mirip selimut. Satu kain dipakai berdua.
Santi sedang melihat ke luar jendela pesawat, sedangkan Nuning sedang tidur dan menutup kepalanya dengan selimut. Foto: Utomo Priyambodo/kumparan
Pertama kali ke Hong Kong
Nuning mengaku ini adalah pertama kalinya ia naik pesawat dan pergi ke luar negeri. Penerbangan pada Rabu, 10 April 2019, itu merupakan penerbangan pertama yang pernah ia rasakan.
"Saya nggak pernah kepikiran, Mas, ke luar negeri," kata Nuning kepada kumparan pada Rabu (10/4) lalu.
ADVERTISEMENT
Bagi Santi, ini juga merupakan pertama kalinya ia pergi ke Hong Kong. Tapi sebelumnya ia sudah pernah naik pesawat ke Singapura. Tujuannya ke Singapura beberapa tahun lalu sama seperti tujuannya ke Hong Kong.
Nuning dan Santi ke Hong Kong bukan untuk berlibur atau berbelanja seperti kebanyakan kaum sosialita di Jakarta. Mereka berdua pergi ke Hong Kong untuk bekerja menjadi asisten rumah tangga.
Kesempatan untuk bisa mendapatkan pengalaman baru di luar negeri dan mendapatkan gaji lebih tinggi dibanding bekerja di Indonesia, menjadi alasan mereka untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong.
Pada awal tahun 2019 ini tercatat, setidaknya ada sekitar 165.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Hong Kong. Nuning dan Santi akan menambah lebih banyak jumlah tersebut.
Suasana Victoria Park di Hong Kong. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Gaji Rp 8 Jutaan per bulan, tapi kemudian dipotong untuk agen
ADVERTISEMENT
Sebelum memutuskan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong, Nuning pernah menjadi bekerja di sebuah minimarket bahan bangunan di Purwokerto, Jawa Tengah. Purwokerto adalah kota asal perempuan dengan rambut panjang sebahu itu.
“Saya lima tahun kerja di Purwokerto jadi kasir di salah satu minimarket toko bangunan. Bosan,” kata perempuan lulusan SMA itu.
Nuning (25 tahun), baru tiba di Bandara Internasional Hong Kong untuk menjadi TKI di Hong Kong Foto: Utomo Priyambodo/kumparan
Selama lima tahun bekerja menjadi kasir di Purwokerto, upah tertinggi yang pernah Nuning kantongi hanyalah Rp 2,5 juta per bulan. Sementara untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di Hong Kong, ia ditawari gaji 4.520 dolar Hong Kong per bulan atau sekitar Rp 8,16 juta per bulan.
Tempat tinggal dan kebutuhan makan Nuning sehari-hari bakal ditanggung keluarga majikannya.
ADVERTISEMENT
Hal itu pula yang dijanjikan oleh agen, perusahaan penyalur TKI di Hong Kong, kepada Santi. Maka perempuan tamatan SMP yang pernah menjadi TKI di Singapura selama dua tahun itu pun tertarik untuk menjadi TKI di Hong Kong.
“Gajinya lebih besar (di Hong Kong). Sama pengen cari pengalaman lain aja,” tutur perempuan asal Bojonegoro, Jawa Timur, itu.
Santi (29 tahun), baru tiba di Bandara Internasional Hong Kong untuk menjadi TKI di Hong Kong Foto: Utomo Priyambodo/kumparan
Sekilas skema pengupahan ini bisa membuat kedua calon TKW itu bisa menyimpan semua gajinya selama bekerja di Hong Kong.
Namun Nuning dan Santi harus mengirimkan sebagian gaji mereka tiap bulannya, tepatnya sebesar 1.600 dolar Hong Kong per bulan atau sekitar Rp 2,89 juta per bulan, untuk agen yang membawa mereka bekerja ke negara yang termasuk ke dalam wilayah Greater China tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi, besaran gaji yang Nuning dan Santi terima secara bersih hanya 2.920 dolar Hong Kong tiap bulan atau sekitar Rp 5,27 juta per bulan.
Ilustrasi pengasuh bayi. Foto: Shutterstock
Hal ini tak Nuning dan Santi permasalahkan dan mereka anggap cukup sebanding. Sebab, seluruh biaya administrasi dan perjalanan Nuning dan Santi untuk bisa tiba di Hong Kong ditanggung sepenuhnya oleh agen mereka. Selain itu, perusahaan penyalur tenaga kerja itu juga telah memberi mereka pelatihan bahasa Kanton, bahasa utama di Hong Kong, dan keterampilan dasar menjadi asisten rumah tangga selama tiga bulan sebelum memberangkatkan mereka.
“Inggris enggak (diajarin). Kami difokusin ke Kantonis-nya. Soalnya saya kan merawat orang tua (lansia). Sementara orang tua itu bisanya bahasa Kantonis,” ujar Nuning yang nantinya bakal bertugas merawat seorang kakek dari keluarga majikannya yang tinggal di apartemen Diamond Hill.
ADVERTISEMENT
Adapun Santi nantinya akan bertugas merawat anak kecil majikannya yang tinggal di wilayah Tolo. Perempuan berkerudung itu bakal merawat si anak Hong Kong selama dua tahun. Selama dua tahun itu, ia harus kembali menahan rindu bertemu anak kandungnya sendiri yang juga masih kecil.