Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Alasan ISIS Menghancurkan Bangunan-bangunan Bersejarah
23 Juni 2017 12:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB

ADVERTISEMENT
Ikon kota Mosul, Irak, itu kini rata dengan tanah. Hanya ada sebagian sisa minaret --menara masjid untuk mengumandangkan suara azan agar terdengar sampai jauh-- berdiri ganjil di antara puing-puing yang dulu merupakan situs warisan budaya dunia yang luar biasa berharga.
ADVERTISEMENT
Masjid Agung Al Nuri kini tak ada lagi.
Padahal, tak sampai lima tahun lalu, kompleks masjid tersebut kedatangan tamu khusus dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Rombongan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa itu berkunjung pada September 2012 untuk melindungi dan melakukan konservasi lanjutan terhadap minaret Al Hadba --nama minaret Al Nuri.
Namun jelas hal tersebut jelas berubah.

Sejak 10 Juni 2014, Mosul jatuh ke tangan ISIS. Bahkan, kompleks Masjid Al Nuri di mana minaret Al Hadba ada di dalamnya, menjadi lokasi diproklamirkannya kekhilafahan oleh Abu Bakar Al Baghdadi yang merasa menjadi khalifah umat Islam dunia.
Al Nuri yang dulu menjadi pusat kebudayaan dan pusat ibadah, kemudian seperti mengalami perubahan fungsi. Menaranya digunakan untuk sarang para penembak jitu, ruangan-ruangan mengajinya digunakan untuk tempat pembuatan bom, dan halamannya digunakan untuk tempat penyimpanan persenjataan.

Dengan semakin terdesaknya posisi mereka di palagan tempur Irak dan Suriah, pasukan ISIS mulai mengambil cara-cara ekstrem untuk meraih sisa-sisa kejayaan.
ADVERTISEMENT
Ketika pertempuran fisik sudah seperti tak ada harapan, ISIS dan para pengikutnya yang mahadegil itu mencoba sebanyak mungkin merugikan pasukan lawan, baik moral maupun materi.
Maka dihancurkanlah Masjid Agung Al Nuri oleh pasukan ISIS, Rabu (21/6).
Padahal, demi bumi langit dan seisinya, Al Nuri dulu didirikan oleh Nur Al Din Mahmoud Zangi, penguasa yang pada abad ke-12 berupaya keras menyatukan kekuatan-kekuatan Arab untuk melawan tentara Salib dari Eropa.
Kini, pada situs ikonik yang telah 840 tahun menjadi wajah kota Mosul itu, hanya tersisa sebagian sisa minaret Al Hadba yang ganjil, koyak, dan sendirian.

“Anjing-anjing ini, mereka adalah zat terburuk yang pernah diciptakan Tuhan. Saya bersumpah, saya tak bisa membayangkan Mosul tanpa Al Hadba,” ucap sejarawan Iraq yang terkemuka, Ali Al Nashmi, terhadap tindakan yang dilakukan ISIS.
ADVERTISEMENT
Meski dahysat dan merenggut objek budaya Irak yang sangat vital, apa yang dilakukan ISIS ini bukanlah yang pertama. Dari masjid, gereja, situs budaya antik, dan hingga perpustakaan, tak kurang dari 28 situs budaya secara sistematis dihancurkan oleh pasukan Kata'ib Taswiyya (batalion pendudukan) ISIS.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa organisasi teror tersebut melakukan hal itu? Mengapa manuskrip kuno, situs bersejarah, bahkan masjid-masjid harus dihancurkan?
Mubaraz Ahmed, seorang peneliti dari Centre on Religion and Geopolitics mengemukakan setidaknya tiga alasan di balik tindakan “barbar” ISIS tersebut.
Yang pertama adalah karena ideologi salafi yang mereka anut. Salafi ialah syariat Islam murni seperti pada zaman Nabi Muhammad.
Tujuan kekhilafahan ISIS adalah mengembalikan apa yang mereka pahami sebagai keadaan umat Islam di zaman Nabi Muhammad dulu. Tujuan tersebut punya dua akar dasar, yaitu mendorong ketauhidan dan menghapus segala macam syirik.
ADVERTISEMENT
ISIS menganggap kehadiran situs-situs budaya tersebut menganulir ketauhidan yang mereka jaga. Benda-benda bersejarah tersebut dianggap sebagai bentuk syirik dan karenanya harus dihancurkan.

Tentu saja, hal tersebut hanyalah pemahaman sempit dari Islam versi ISIS. Selama ratusan tahun sebelumnya, di mana masyarakat Muslim menjadi tuan dari tempat-tempat yang memiliki situs-situs bersejarah seperti Petra, Nimrud, Piramida Giza, dan Palmira, tak muncul suatu dorongan untuk menghancurkan situs-situs tersebut.
Sementara dalam kasus ISIS, mereka menghancurkan situs-situs tersebut karena kepentingan kepercayaan dan kepentingan strategis dalam perang melawan aliansi antiteror dunia.
Pada awal kemunculannya, tentu ISIS perlu publikasi apapun agar eksistensi mereka diketahui dunia. Selanjutnya, ketika eksekusi dan pembunuhan menjadi menu wajib yang mungkin telah menjadi “normal”, penghancuran situs-situs tersebut berhasil menambah derajat kedaruratan di masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Kemarahan jelas akan mereka terima dari komunitas internasional, persis seperti yang mereka harapkan untuk mendukung narasi jihad versi mereka.
Seperti pada kasus Masjid Agung Al Nuri, di mana ISIS memanfaatkan penghancuran situs budaya tersebut untuk menjadi narasi perjuangan mereka melawan Barat yang “lalim”.
Sesaat setelah masjid tersebut mereka rubuhkan, media ISIS langsung menyebut bahwa yang menghancurkan masjid berusia lebih dari 800 tahun tersebut adalah koalisi yang menjadi musuh mereka.

“Ini adalah ketakutan terbesar saya,” ucap Rasha Al Aqeedi, peneliti senior di Al Mesbar Studies and Research Center di Dubai, Uni Emirat Aarab, yang dulu menghabiskan masa kecilnya di Mosul.
“Penghancuran-penghancuran ini punya efek strategis jangka panjang. Akan muncul persepsi bahwa Barat punya andil dalam penghancuran situs-situs ini,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Jika persepsi tersebut berhasil dibentuk, itu tentu saja sejalan dengan paham sektarian ISIS. Bagi kekhilafahan ISIS, peninggalan sejarah yang berasal dari kelompok Syiah, Kurdi, Yazidi, dan Kristen, tidak penting lagi. Ini mestinya jadi awal baru, bahwa masa depan adalah milik ISIS dan kekhilafahannya.
Penghancuran situs-situs bersejarah juga memberikan keuntungan material untuk ISIS. Barang-barang yang berada di situs sejarah tersebut menjadi materi jual beli ISIS di pasar gelap, menambah pundi-pundi mereka yang juga didapat dari penjualan minyak secara ilegal.
Khusus untuk perdagangan benda-benda antik, pejabat keamanan Irak mengungkapkan, bahkan sebelum mengambil alih kota Mosul, ISIS telah mendapatkan sekitar 36 juta dolar AS dari hampir 8.000 artefak yang didapatkannya dari daerah Al Nabuk.
ADVERTISEMENT
Itu, bagaimanapun, jadi wajah lain peperangan, di mana keadaan serupa terus terjadi di banyak tempat.
UNESCO mengestimasi nilai perdagangan benda-benda antik di seluruh dunia mencapai 2 miliar dolar AS per tahunnya.
Keutungan berganda, berkali lipat. Itulah yang diinginkan ISIS dengan pilihannya menghancurkan bangunan bersejarah.