Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satrio bak efek domino yang merembet menyabet ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu yang kini dicopot dari jabatannya. Gara-garanya, Mario yang kerap flexing alias pamer harta di medsos menyulut kecurigaan warga atas sumber kekayaan orang tuanya.
Sang ayah, Rafael, lantas diperiksa KPK dan ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus gratifikasi. Lebih jauh, ia juga diduga terlibat pencucian uang.
Dari Rafael, kasus menggelinding. Para pejabat lain beserta keluarga mereka yang gemar flexing turut disorot warganet. Dari penelusuran kumparan, sejak kasus Rafael, ada 13 keluarga pejabat yang viral terekspose karena flexing.
Beberapa di antara mereka lantas sibuk mengklarifikasi sumber hartanya, sedangkan sebagian lainnya diperiksa KPK dan dicopot dari jabatan. Meski demikian, bukan berarti gelombang pejabat pamer harta surut. Mengapa?
Untuk menjawabnya, kumparan berbincang dengan Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali dan Lead Analyst Drone Emprit Rizal Nova Mujahid.
Prof. Rhenald menyoroti alasan pejabat dan keluarga mereka tak bisa lepas dari flexing. Ia membedakan flexing para pejabat saat ini dengan flexing para crazy rich abal-abal yang sempat populer di Indonesia.
Kenapa ada kecenderungan pejabat untuk flexing?
Hukum korupsi mengatakan: para pejabat ini pandai menyimpan duitnya, tetapi tidak pandai pada saat konsumsinya. Mereka berpikir kalau simpan uang bisa dalam bentuk kas, uang kartal (yang tak terlacak). Tetapi mereka belanja pakai uang kas, itu pasti ketangkap, misal beli rumah, mobil, emas, itu tercatat dan dilaporkan.
Sekarang album [foto] sudah dipindahkan ke dunia digital. Walau diproteksi, tetapi sebagian rekan bisa membaca. Nah, rekan-rekan ini yang sering meng-capture dan menyebarkan ke keluarganya, “Mas, kok dia bisa jalan-jalan ke Prancis, kita enggak?” “Kok bisa ke Swiss, kita enggak?” “Kok mereka bisa pakai kerudung Guci?”
Mereka juga terpengaruh bahwa ada orang lain yang bisa bergaya hidup mewah. Dia juga ingin. Jadi fenomena FOMO (fear of missing out/takut ketinggalan tren) sekarang tidak hanya di kalangan anak muda, tapi sudah tertular ke orang-orang tuanya yang punya uang. Dan mereka kemudian memamerkan.
Apa yang utamanya dipermasalahkan publik terkait fenomena flexing pejabat dan keluarga mereka?
Korupsinya. Menurut saya, kurang tepat kalau atasan atau pejabat mengatakan: jangan flexing. Yang berbahaya itu korupsinya.
Flexing itu 80–90% cerminan dari ketiadaan integritas, empati sosial, keberpihakan terhadap publik dan jabatannya, serta kurangnya penjiwaan terhadap profesi yang diemban.
Adakah perbedaan antara flexing pejabat dan jajaran ASN dengan flexing para crazy rich palsu belum lama ini?
Kita harus membedakan antara kaya betulan dengan kaya bohongan. Orang yang kaya betulan cenderung tidak flexing karena flexing itu sangat riskan.
Sekarang kita menyaksikan ada dua perbedaan: ada orang yang pengin kaya, ada orang yang pengin terlihat kaya. Berbahaya sekali kalau di suatu bangsa itu orang lebih kepada ingin terlihat kaya, bukan ingin kaya betulan.
Kalau ingin terlihat kaya, ada kecenderungan mereka berpura-pura kaya untuk menipu orang lain, lalu dapat keuntungan. Karena masyarakat juga ingin seperti itu—(kaya) dengan cara mudah.
“Enggak perlu kerja keras, cukup kerja cerdas.”
“Gue enggak sekolah tinggi, tapi bisa begini.”
“Financial freedom.”
Kutipan-kutipan toksik itu banyak sekali (bertujuan untuk menipu). Kecenderungan orang pengin kaya dengan gampang itu membuat mereka terperangkap crazy rich—yang (saya sebut) ini flexing 1.0.
Nah, flexing 2.0 sekarang mulai terjadi di kalangan keluarga para pejabat yang ingin “dianggap” (dipandang).
Begini, ketika seseorang jadi ASN itu upah gajinya kan tidak besar, jadi mereka hidup sederhana. Tapi tiba-tiba ada sosial media; album foto pindah ke situ dan semua orang kecenderungannya sekarang ingin kelihatan lebih cantik, lebih keren, lebih kaya.
Jadi apakah pejabat dan ASN yang flexing itu tujuannya untuk menggapai harga diri?
Bisa dikatakan begitu. Keinginan untuk dihargai, untuk diterima, itu menjadi pemicu banyak orang melakukan hal seperti ini. Dan ini tidak hanya pejabat pemerintah, sebab semua orang juga pengin melakukan itu (flexing supaya lebih dipandang).
Alasan untuk endorse apakah bisa diterima?
Itu jarang sekali terjadi pada ASN atau keluarga ASN. Kalau mereka sudah punya uang, buat apa meng-endorse? Yang endorse itu adalah mereka yang belum dapat uang.
Apakah yang bilang bahwa barang yang dipamerkan KW sedang berupaya membela diri?
Ya. Ada beberapa cara klasik (untuk berkilah):
Ada pejabat yang punya akta hibah banyak sekali, dan ternyata dibuatnya belakangan.
Saat ini pengawasan warganet terhadap pejabat dan keluarganya yang flexing jadi sangat ketat. Namun apakah kecenderungan flexing akan terus ada?
Menurut saya sih akan begitu lagi. Ini enggak bisa dicegah karena naluri manusia. Pejabatnya bisa pintar, tapi anaknya enggak pintar. Ada anak-anak yang berontak, “Masa saya enggak boleh (pasang foto ini itu), kan saya punya begini.”
Apa dampak dari flexing pejabat, aparat, dan ASN ini bagi masyarakat?
Kecemburuan sosial pastinya. Di lain pihak, masyarakat kita mendua. Cemburu, tapi juga pengin. Sehingga ketika ada mantan koruptor ketemu di airport, semua orang salamin. Kan kita bingung, di airport kok semuanya rebutan salaman, gitu ya. Kita sudah tahu kalau dia melakukan hal yang tidak pantas, tapi kok dia terpilih kembali.
Bagaimana kasus flexing di Indonesia dibanding beberapa negara lain?
Ini lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Di negara seperti Jepang, kontrol pribadi di sana sudah sangat kuat. Para pemimpinnya nilai-nilai budayanya adalah rasa malu.
Di Eropa juga begitu, hampir tidak ada bedanya antara menteri dengan masyarakat. Jarak antara pejabat dengan masyarakat tidak begitu besar dan kontrol sosial terjadi.
Di negara-negara yang ketimpangan sosialnya tinggi ini yang sebetulnya terjadi (flexing). Ketimpangan kaya-miskin sangat besar, dan masyarakatnya melihat ke “atas”, kepada mereka yang punya pendapatan bagus dan bisa pamer.
Drone Emprit turut menganalisis tren pembicaraan warganet di Twitter soal flexing pejabat. Rizal Nova Mujahid menyoroti percakapan soal flexing berlangsung paling intens usai kasus penganiayaan oleh Mario Dandy, putra Rafael Alun, eks pejabat Ditjen Pajak.
Bagaimana warganet menyikapi isu soal flexing pejabat dan keluarganya?
Flexing pejabat negara akhirnya menjadi perhatian publik. Dimulai dari kasus Mario menganiaya David, lalu terkuaklah harta Rafael Alun. Dari situ kemudian beberapa pejabat lain dikorek-korek oleh publik, dicari kekayaannya.
Kalau dilihat dari dari kasusnya Mario, 20 Februari sampai 18 April 2023, itu ada kasus Rafael Alun, Sekda Riau SF Hariyanto, Kepala BPN Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra, dan yang terakhir Kepala Dinas Kesehatan Lampung Reihana Wijayanto.
Dugaan saya, kasus Rafael Alun ini diproses imbas desakan publik. Aktivisme publik di media sosial tinggi untuk mendesak pemerintah dan penegak hukum masuk mendalami kemungkinan tindak kejahatan (oleh pejabat) yang profilnya tidak sesuai dengan hartanya.
Apakah warganet tampak emosi melihat flexing para keluarga pejabat tersebut?
Kebanyakan surprise karena enggak nyangka orang dengan profil seperti ini kok bisa punya harta sebanyak itu. Lalu yang kedua anger (marah) karena curiga muasal hartanya tidak halal.
Sebenarnya masyarakat enggak masalah orang atau pejabat negara jadi kaya. Jadi masalah ketika mereka tidak bisa mempertanggungjawabkan sumber kekayaannya. Ketika itu tidak segera dijawab, jadinya liar dan ke mana-mana. Akhirnya dikorek, jawabannya enggak ada, LHKPN pun bermasalah.
Apakah sentimen terhadap flexing ini bisa membuat kepercayaan publik terhadap pejabat maupun instansi yang menaunginya menurun?
Kepercayaan turun lebih ke para pejabat. Nah, langkah pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada Kemenkeu secara institusi atau kepada pemerintah secara umum dimulai dari Mahfud MD.
Mahfud ngomong banyak, kemudian masuk kemungkinan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang Rp 349 T dan seterusnya. Soal kepercayaan ini lebih kepada: mungkinkah publik kembali percaya Kemenkeu? Percaya Mahfud MD dan Sri Mulyani menyelesaikan ini?
Flexing pejabat negara sebenarnya sudah ada dari setahunan silam, tapi waktu itu tidak terlalu jadi perhatian publik. Sebelumnya, flexing tentang harta pejabat sentimen atau perbincangannya juga bersifat netral.
Misalnya AHY dan istrinya, Annisa Pohan, kelihatan kalau dari gaya berpakaian, tas, dan perhiasannya itu barang mahal semua. Tapi respons publik cuma mengagumi saja. Masyarakat menilai wajar kalau mahal, enggak sampai mengulik.
Kalau ditarik lebih jauh lagi, mulai ramai (isu pejabat flexing) selepas adanya tagline “sederhana” yang diangkat Jokowi (saat kampanye): Bajunya sederhana, sepatunya sekian ratus ribu, kemeja sekian puluh ribu. Itu kan dipasang di mana-mana.
Dulu orang cuma mengagumi (pejabat yang flexing), ‘Itu mahal’, tapi enggak ada respons lebih lanjut. Di kasus RAT (Rafael Alun), kami lihat tanggal 23 Februari itu ada 10.694 mention (soal flexing). Kalau dulu perbincangannya enggak sampai ribuan, paling tinggi itu 700–800an ngomongin harta.
Bagaimana perbincangan warganet soal kelakuan pejabat yang setelah ketahuan flexing lalu menutup akun medsosnya?
Kalau percakapannya enggak langsung keras ke arah situ. Tapi bahasanya lebih banyak menggunakan sindiran dan dugaan, kalau jangan-jangan mereka memang tidak mampu membuktikan muasal hartanya.
Sindiran semisal “Ah, baru segitu aja udah tutup akun”, “Ini nih kelakuan OKB (orang kaya baru), baru sedikit sudah pamer.”
Kebanyakan dari mereka (pejabat flexing) juga dinilai norak cara berdandannya.
Akun-akun apa saja yang paling sering bicara soal flexing pejabat dan keluarganya?
Ada @kurawa, @partaisocmed, dan @oposisicerdas. Ini top 20. Mereka satu suara, kritis semua.
Sekuat apa kontrol sosial soal flexing ini di medsos?
Kuat banget. Biasanya suara publik terpecah, tapi soal flexing ini satu suara. Ini harus jadi perhatian bukan cuma Kemenkeu, Dirjen Pajak, tapi pemerintah secara umum.