Alex Bicara Tuntutan 5 Tahun Achsanul: Kalau KPK, Tak Akan Dituntut Setengah Itu

21 Juni 2024 22:48 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait Ketua KPK Firli Bahuri yang menjadi tersangka, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait Ketua KPK Firli Bahuri yang menjadi tersangka, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (Alex) menyinggung vonis anggota BPK nonaktif Achsanul Qosasi yang yakin 2,5 tahun penjara. Padahal dia terbukti menerima Rp 40 miliar.
ADVERTISEMENT
Alex lalu menyinggung soal tuntutan yang dijatuhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung yang hanya 5 tahun bui. Tidak sampai setengah dari ancaman hukuman maksimal penerima gratifikasi — pelaku tindakan gratifikasi yang dilarang dapat memperoleh sanksi berupa hukuman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
“Kemarin kita baru diperlihatkan korupsi 40 Miliar, salah satu anggota BPK dituntut berapa? 5 tahun. Vonisnya berapa? 2,5 tahun,” kata Alex dalam sebuah diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (21/6).
“Lah, kalau ditangani KPK, Pak? Saya pastikan pasti tidak akan dituntut setengah itu,” tambah Alex.
Terdakwa kasus korupsi pengadaan infrastruktur BTS 4G BAKTI Kominfo Achsanul Qosasi berjalan keluar ruangan usai menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (21/5/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Hal tersebut disinggung Alex saat membahas penanganan korupsi di Indonesia oleh tiga lembaga: Polisi, KPK, dan Kejaksaan. Ketiganya memiliki standar masing-masing sehingga tidak ada yang menjaga atau patokan standar yang sama.
ADVERTISEMENT
Problem ini yang dianggap Alex sebagai salah satu hal yang membedakan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, hingga Hongkong.
Alex menerangkan, bahwa di tiga negara tersebut mendirikan lembaga semacam KPK menjadi lembaga satu-satunya yang diberi kewenangan memberantas korupsi. Tidak ada lembaga lain.
“Ketika kewenangan pemberantasan korupsi itu sudah beralih ke lembaga independen mereka tidak lagi menangani korupsi. Artinya apa? Dia bisa all out, bisa membuat kebijakan, bisa membuat sistem bagaimana mencegah dan memberantas atau menindak korupsi,” jelas Alex.
Situasi yang berbeda dengan di Indonesia. Pemberantasan korupsi tidak hanya di KPK, tapi juga di kepolisian dan kejaksaan.
“Terus siapa yang menjamin kualitas penanganan perkara sehingga perkara yang ditangani KPK, Polisi, Jaksa itu memiliki standar yang sama?” imbuh Alex.
ADVERTISEMENT
Dalam kasusnya, Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI nonaktif Achsanul Qosasi divonis 2 tahun 6 bulan penjara dalam kasus penerimaan suap korupsi BTS Bakti Kominfo. Kasus tersebut diusut oleh Kejaksaan Agung.
Hakim menilai Achsanul terbukti bersalah menerima aliran korupsi BTS sebesar Rp 40 miliar. Uang tersebut sebagai fee untuk status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap proyek BTS dari BPK.