Alex Marwata Sebut Pasal 36 UU KPK Bisa Jadi Alat Kriminalisasi Pimpinan

7 November 2024 19:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (9/7/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (9/7/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengajukan uji materi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut terkait Pasal 36 huruf a UU KPK tentang 'berhubungan dengan pihak berperkara'.
ADVERTISEMENT
Gugatan tersebut dilayangkan oleh Alex bersama dengan dua orang pegawai KPK. Mereka adalah: Lies Kartika Sari selaku auditor muda KPK (pemohon 2) dan Maria Fransiska selaku pelaksana pada unit sekretaris pimpinan KPK (pemohon 3). Gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada 4 November 2024.
Berikut bunyi pasal 36 tersebut:
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.
Dalam gugatan itu, Alex menjelaskan bahwa pasal tersebut telah membawa kerugian konstitusional baginya. Hal itu lantaran tak adanya batasan yang jelas dalam frasa 'hubungan ... dengan alasan apa pun' yang membuatnya dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Bersama dengan pegawai KPK itu, Alex juga menggugat Pasal 37. Dalam gugatannya, disebut bahwa penerapan Pasal 36 kolektif dengan Pasal 37 juga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon 2 dan Pemohon 3 selaku pegawai KPK.
Dihubungi terpisah, menurut Alex, dua pasal itu dinilai jadi alat untuk mengkriminalisasi insan KPK.
"Apa urgensinya? Pasal itu bagi kami (pimpinan dan pegawai) bisa dijadikan alat untuk mengkriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK," ujar Alex kepada wartawan, Kamis (7/11).
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
Alex menyebut, rumusan kedua pasal itu tidak jelas. Meskipun, dalam penjelasan UU KPK telah dinyatakan dengan cukup jelas.
Ketidakjelasan itu lantaran adanya batasan yang tidak pasti di dalam normal Pasal 36 huruf a UU KPK. Selain itu, juga banyak kejanggalan di norma Pasal yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
"Kalau dengan tersangka sudah jelas perkara sudah di tahap penyidikan dan tersangka sudah ada. Tapi, pihak lain itu siapa? Batasan perkara itu di tahap apa? Dengan alasan apa pun itu apa maknanya?" tutur Alex.
"Kalau tidak ada penjelasannya bisa jadi penerapannya pun akan semau-maunya penegak hukum. Apakah laporan masyarakat yang bahkan belum penyelidikan juga dianggap perkara?" lanjut dia.
Tak hanya itu, Alex juga memaparkan penafsiran frasa 'dengan alasan apa pun' di dalam Pasal 36 huruf a tersebut.
"Bagaimana kalau dalam rangka melaksanakan tugas? Bagaimana kalau pertemuan/komunikasi dilakukan dengan iktikad baik atau misalnya pada saat bertemu tidak tahu status orang yang ditemui?" tutur dia.
"Kalau tanpa pengecualian berarti bertemu di kondangan pun bermasalah, sekalipun tidak ada hal penting yang dibahas," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Alex menegaskan, mestinya ada penjelasan konteks pertemuan yang dimaksud di dalam pasal tersebut. Misal, yang mengakibatkan munculnya konflik kepentingan atau terhambatnya penanganan perkara di KPK.
Lebih lanjut, Alex pun menyebut bahwa hanya aparat penegak hukum yang tak memahami esensi dari dua pasal yang digugatnya bersama pegawai KPK tersebut.
Sehingga, lanjut dia, justru menilai pertemuan dengan setiap orang yang berurusan dengan lembaga antirasuah sebagai perbuatan pidana.
"Pasal 36 dan 37 merupakan ranah etik untuk menjaga integritas insan KPK dan marwah KPK. Jadi, sebelum ke pidana mestinya dilihat apakah ada pelanggaran kode etik," ucap Alex.
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
Alex menyebut, permohonan uji materi itu diajukan juga untuk pimpinan saat ini dan yang akan datang. Termasuk, juga untuk insan KPK secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
"Jangan ada keraguan sedikit pun dalam memaknai pasal undang-undang oleh penegak etik maupun penegak hukum. Selain itu, juga supaya ada perlakuan yang sama antar penegak hukum," bebernya.
Oleh karenanya, Alex menilai bahwa perlakuan yang diterima insan KPK justru berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya.
"Larangan bertemu/berkomunikasi dengan pihak berperkara hanya berlaku untuk insan KPK, tapi aparat penegak hukum yang lain tidak ada masalah ketika pimpinannya bertemu dengan pihak yang berperkara. Ini tidak adil dan diskriminatif," ucapnya.
Di samping itu, ia sepakat jika pertemuan atau komunikasi yang dilakukan dengan pihak berperkara dapat menimbulkan konflik kepentingan mesti disanksi etik maupun pidana.
"Apalagi jika hubungan atau komunikasi yang dilakukan para pihak mendapat keuntungan atau manfaat," tutup dia.
ADVERTISEMENT
Adapun terkait penerapan norma Pasal 36 huruf a UU KPK yang dianggap tidak berkepastian hukum itu, dalam gugatannya ia meminta MK perlu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi.
"Atau memaknai Pasal 36 dengan 'Pasal 36: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: (a) mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau yang mewakilinya dengan maksud untuk meringankannya'," tandasnya.
Lantas apa yang diminta oleh Alex dkk?
ADVERTISEMENT