Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Alice ikut Pilkada Kota Bamban pada 2022. Saat itu ia sudah menuai sorotan karena tak memiliki rekam jejak politik sebelumnya dan tak punya afiliasi dengan dinasti politik Filipina. Perempuan 34 tahun itu membawa diri sebagai representasi masyarakat akar rumput, bukan elite politik.
Bersamaan dengan itu, latar belakang Alice juga dipertanyakan. Ia disebut bukan asli Filipina. Bahkan, ia baru mendaftar sebagai pemilih di Bamban pada 2021, setahun sebelum mencalonkan diri dan menang sebagai wali kota. Kecurigaan terhadap latar belakang Alice berlanjut hingga terpilih dan dilantik jadi orang nomor satu di Bamban.
Dua tahun usai terpilih, Alice disidang di Senat Filipina atau layaknya sidang Pansus (Panitia Khusus) di parlemen Indonesia atas dugaan keterkaitan dengan perusahaan Operator Permainan Lepas Pantai Filipina (POGO) di Bamban. Perusahaan di bawah bendera Zun Yuan Technology Inc itu digerebek pemerintah Filipina pada 13 Maret 2024.
POGO merupakan perusahaan berbasis di Filipina yang menawarkan layanan perjudian online ke pasar luar negeri, khususnya China. Kasino online ini menjamur di rezim Presiden Duterte. Pada pemerintahan Marcos, POGO ilegal sedikit demi sedikit ditindak sampai akhirnya resmi dilarang penuh pada Juli 2024.
Kasus POGO menggoyang Alice. Senat Filipina sampai meminta Alice Guo menjelaskan asal-usulnya. Presiden Filipina Ferdinand "Bongbong" Romualdez Marcos Jr pun turut berkomentar mengenai latar belakang Alice. Bongbong mempertebal kecurigaan terhadap wali kota tersebut.
"Tidak ada yang mengenalnya. Kami bertanya-tanya dari mana asalnya, itu sebabnya kami menyelidiki hal ini bersama dengan Biro Imigrasi, karena pertanyaan-pertanyaan tentang kewarganegaraannya," kata Marcos seperti dilansir Reuters pada Mei 2024.
Senat Filipina pada 18 Juni mengungkap catatan visa keluarga Alice. Catatan itu memberi petunjuk kuat bahwa Alice adalah warga negara China dengan nama Guo Hua Ping, yang masuk Filipina pada 12 Januari 2003 di usia 13 tahun. Dokumen itu diperkuat dengan hasil penelusuran Biro Investigasi Nasional (NBI) Filipina bahwa sidik jarinya cocok dengan pemegang paspor China, Guo Hua Ping. Apalagi Alice baru mendaftarkan akta kelahirannya ke otoritas Filipina pada usia 17 tahun. Bukti-bukti tersebut membuat Alice Guo dituding sebagai mata-mata China. Tapi Alice membantah.
Tensi hubungan Filipina dan China memang sedang meninggi selama beberapa waktu terakhir. Kondisi ini tak lain karena ketegangan kedua negara di Laut China Selatan (LCS). Sengketa kedua negara yang saling klaim wilayah di LCS terus menimbulkan bara.
Bara terakhir antar kedua negara yakni tabrakan kapal China dan Filipina di wilayah sengketa Laut China Selatan (LCS) di dekat Second Thomas Shoal, pada Senin, 19 Agustus.
Dibawa komando Bongbong Marcos, Filipina -dengan bekingan Amerika Serikat (AS)- tegas dan kekeh mempertahankan LCS. Wilayah tersebut dinilai strategis dan berdampak pada kedaulatan dan perekonomian negara. Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan kapal senilai lebih dari USD 3 triliun per tahunnya. Filipina dan China sama-sama berusaha merebut dan mempertahankan wilayah yang diklaim sebagai haknya masing-masing.
Kendati Alice Guo yang dituduh mata-mata China tak terkait langsung dengan ketegangan LCS, tapi keduanya dianggap punya benang merah yang sama: waspada spionase.
Waspada Mata-Mata China
April tahun ini, seperti dilaporkan Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), pemerintah Filipina mulai menyelidiki dugaan masuknya 4.600 warga negara China yang belajar di Cagayan. Pemerintah Filipina curiga beberapa orang di antara pelajar adalah mata-mata.
Tak hanya terhadap pelajar, kecurigaan sama juga ditujukan kepada seluruh warga China yang masuk Filipina. Termasuk wartawan dan koresponden untuk media-media China. Fenomena ini lalu dikaitkan dengan sinophobia.
‘Sinophobia’ adalah fenomena atau istilah yang menunjukkan perilaku anti-Tiongkok. Sentimen ini juga menguat kala virus COVID-19 melanda dunia, di mana kecurigaan disematkan oleh negara ‘lawan’ China terhadap virus hingga alat kesehatan buatan negara tirai bambu.
Apa yang dilakukan pemerintah Filipina memang satu di antara banyak upaya bertahan dari ancaman politik dan ekonomi.
Terlebih, kata Pengamat Intelijen Stanislaus Riyanta, mata-mata memang tak bisa ditebak, punya pola tersendiri. Seseorang yang dijadikan sebagai pengumpul informasi bisa datang dari mana saja, dari seorang pejabat sampai hal-hal terkecil seperti beasiswa sekolah dan penelitian.
“Di luar kasus di Filipina, mata-mata itu banyak cara [yang dipakai]. Bisa menyusupkan orang ke tempat yang dituju, kemudian dia pengumpul informasi. Atau merekrut orang yang di sana [negara tujuan] untuk memberikan informasi. Jadi tentunya ada macam-macam [cara]” kata Riyanta saat dihubungi, Sabtu (14/9).
Agen intelijen ada di mana-mana. Mereka berkeliaran tapi sulit dikenali. Tapi bukan berarti penyamaran dan operasi agen intelijen selalu mulus. Ada juga yang gagal.
Terbaru, seorang mantan perwira Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA), Alexander Yuk Ching Ma, dijatuhi hukuman 10 penjara karena jadi mata-mata China. Ia berperan dalam pengumpulan dan menyampaikan informasi rahasia ke China.
Penyelidik AS mengungkap, Ma mulai bekerja sama dengan Biro Keamanan Negara kantor perwakilan Shanghai, China (SSSB) pada Maret 2001. Sekitar 10 tahun setelah ia meninggalkan CIA. Perannya mengumpulkan informasi rahasia untuk China terungkap dan ia ditangkap pada 2020.
Dikutip dari BBC, Ma adalah warga negara Amerika yang lahir di Hong Kong. Ia bekerja untuk CIA dari 1982 sampai 1989.
Catatan lain, pada tahun 2023, CSIS mempublikasikan survei kasus upaya spionase China terhadap Amerika Serikat yang terbongkar dari sejak tahun 2000. Hasilnya, terjadi peningkatan hingga tahun 2022, mencapai 16 kasus. Tertinggi tahun 2020 dengan 26 operasi yang terbongkar.
Dalam data tersebut, nampak penurunan mata-mata China terhadap Amerika pada tahun 2016 yang hanya 4 kasus. Ini terjadi karena pada tahun 2015 Presiden Obama dan Presiden Xi Jinping membuat perjanjian tahun 2015 untuk membatasi spionase komersial yang dilakukan oleh lembaga pemerintah.
Survei yang dilakukan tahun lalu itu diambil dari data terbuka. Datanya juga hanya kasus mata-mata China terhadap Amerika, tak termasuk negara lain. Sehingga survei tersebut dianggap tak mencerminkan operasi spionase keseluruhan, tapi setidaknya memberikan gambaran bagaimana gerilya agen intelijen China mengumpulkan informasi.
Disebutkan juga bahwa tujuan spionase China terhadap AS terkait politik, keamanan, dan ekonomi: meliputi perusahaan hingga orang AS di China. Agen intelijen disebar seluas-luasnya yang berfokus memperoleh informasi dan memperkuat kedigdayaan China.
Serangkaian spionase China di seluruh dunia membuka mata AS dan sekutunya. Beberapa waktu terakhir, seperti dilansir dari liputan Gordon Corera bertajuk ‘China’s spy threat is growing, but the West has struggled to keep up’, bahwa mata-mata Barat fokus terhadap operasi intelijen China. Mereka mewaspadai segala gerak-gerik China, negara yang berambisi menjadi negara adidaya.
Ambisi di Balik Upaya Spionase China
Riyanta mengatakan, China yang menjelma sebagai negara besar mempunyai kepentingan politik dan ekonomi di berbagai negara, bahkan dunia. Dari itu, mereka membutuhkan instrumen intelijen untuk melancarkan kerja sama atau memuluskan kepentingan di seluruh penjuru, salah satu jalannya adalah dengan hubungan terbuka.
Di luar hubungan langsung dan terbuka-tertutup, ada juga pintu atau operasi intelijen. Pada sisi inilah tugas para mata-mata untuk mengumpulkan informasi.
“Intelijen menjadi instrumen untuk melakukan hubungan secara tertutup atau mencari informasi secara tertutup,” kata Riyanta.
Riyanta menambahkan, cara-cara intelijen tertutup tidak hanya dilakukan China. Semua negara melakukan cara serupa. Lawan dagang China pun menerapkan operasi intelijen sendiri untuk melakukan perlawanan. Hanya saja, sebagaimana namanya, intelijen, dilakukan secara senyap dan rahasia.
Pengamat Militer dan Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Soleman Ponto, mengatakan hal serupa. Mata-mata dan spionase bukan hal luar biasa. Terjadi setiap waktu dan seluruh sektor kehidupan.
Terkait mata-mata China yang diwaspadai AS dan sekutunya, kata Ponto, bukanlah hal baru. Sudah lama Barat melakukan perlawanan bahkan mencari atau memata-matai spionase China. Agen intelijen juga dianggap tak berpola. Alhasil, tak ada ukuran jelas mengenai kekuatan intelijen suatu negara.
“Semakin dia tidak diketahui, semakin kuat dia. Semakin tidak diketahui pekerjaannya maka semakin kuat,” tutup Ponto.