Ambil Foto saat Sidang Harus Izin Hakim, MA Tegaskan Bukan Batasi Kerja Jurnalis

20 Desember 2020 10:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Audiens memotret suasana sidang korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Audiens memotret suasana sidang korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung menjelaskan penerbitan Peraturan Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam lingkungan Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) itu juga mengatur soal tata tertib bagi para pengunjung sidang, termasuk jurnalis.
ADVERTISEMENT
Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, menegaskan tidak ada upaya menghalangi kerja jurnalis. Menurutnya, pedoman itu untuk mengatur keamanan selama proses persidangan berlangsung.
"Aturan dalam Perma Nomor 5/2020 lebih bersifat umum, untuk mengatur protokoler persidangan dan keamanan di lingkungan pengadilan. Tegasnya, Perma Nomor 5/2020 ini dimaksudkan bukan untuk membatasi transparansi," ujar Andi saat dihubungi, Minggu (20/12).
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor. Foto: Soejono Eben/kumparan
Pasal 4 ayat (6) mengatur sejumlah ketentuan serta larangan bagi para pengunjung sidang. Salah satunya ketentuan soal pengambilan foto atau rekaman audio visual persidangan.
Ayat selanjutnya menerangkan bahwa pengambilan foto atau rekaman audio visual tidak dapat dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum.
Pasal 4 ayat (6):
"Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan".
ADVERTISEMENT
Andi memastikan aturan itu untuk menjaga kelancaran persidangan. Penerbitan PERMA dimaksudkan untuk menjamin keamanan bagi para pihak yang dipanggil sebagai saksi atau terdakwa.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro saat konferensi pers tentang putusan PK Baiq Nuril. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Sasaran dan latar belakang terbitnya Perma Nomor 5 Tahun 2020 ini adalah selain untuk menciptakan suasana sidang yang tertib dan lancar, juga agar aparat peradilan yang menyelenggarakan persidangan serta pihak-pihak yang berkepentingan seperti saksi-saksi, terdakwa dan pengunjung merasa aman," ucap Andi.
"Yang terpenting lagi dengan terbitnya Perma Nomor 5/2020 tersebut diharapkan mewujudkan peradilan yang berwibawa," sambungnya.
Menurut Andi, tak jarang peristiwa kekerasan di pengadilan terjadi. Apalagi saat agenda pembacaan putusan atau vonis suatu perkara.
"Tak jarang kita menyaksikan terjadinya insiden atau penyerangan fisik yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak puas atas putusan hakim," ungkap Andi.
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Andi menegaskan Perma ini berbeda dengan Surat Edaran (SE) nomor 2 Tahun 2020 Dirjen Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung. SE ini diterbitkan pada 7 Februari.
ADVERTISEMENT
SE tersebut sempat menuai kritik dari sejumlah pihak. Sebab, banyak aturan yang dinilai membuat MA sewenang-wenang. Hatta Ali selaku Ketua MA saat itu langsung memerintahkan SE dicabut, selang 14 hari SE diterbitkan.
"Kalau aturan yang dicabut oleh Ketua MA sifatnya aturan khusus yang mengatur tata tertib dalam meliput/mengambil gambar di persidangan," kata Andi.
Selain aturan yang dianggap mengganggu kerja jurnalis, Pasal 3 dalam PERMA juga mengatur bahwa majelis hakim bisa mengatur pembatasan pengunjung sidang jika ruangan sudah penuh. Hal itu dalam rangka menjaga ketertiban.
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Ayat-ayat selanjutnya menerangkan sejumlah larangan bagi para pengunjung di ruang sidang. Seperti larangan makan-minum, berbincang, merokok, membaca koran, tidur, menggunakan ponsel untuk komunikasi, bertepuk tangan atau bersorak, serta perbuatan yang dapat mengganggu jalannya persidangan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengunjung sidang harus mengenakan pakaian yang sopan dan pantas serta menggunakan alas kaki tertutup.
Beberapa hal lain turut diatur dalam PERMA ini. Seperti perlindungan bagi hakim yang menangani perkara yang berpotensi menimbulkan ancaman membahayakan keselamatan hingga standar protokol dan keamanan pengadilan.