Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Wacana KPI untuk bisa mengawasi konten digital bukan kali ini saja terjadi. Di akhir tahun 2018, Yuliandre Darwis yang menjabat Ketua KPI saat itu sempat melontarkan pernyataan serupa, berharap adanya revisi aturan yang membuka ruang KPI mengawasi konten digital.
Persoalannya, apakah KPI memiliki kemampuan mengawasi tayangan di rimba dunia maya sementara selama ini pemantauan siaran dilakukan secara manual? Selain itu, mengapa KPI ingin memperluas kewenangannya?
Ada sekitar 20 orang dalam ruang kaca itu. Sepasang mata masing-masing dari mereka terpaku pada layar di hadapan dengan penyuara jemala terpasang di telinga. Satu orang untuk satu stasiun televisi atau siaran radio selama enam jam dalam sehari. Tak ada yang boleh terlewat semenit pun dari pantauan mata.
Setiap kali ada dugaan pelanggaran P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran), mereka harus sigap menandai waktu terjadinya pelanggaran sebelum lanjut menonton. Di akhir tugas, laporan itu kemudian harus dilengkapi dengan jenis pelanggaran, durasi, dan catatan lainnya.
“Kalau ada kesalahan yang terjadi, diukur berdasarkan P3SPS dan juga berdasarkan yurispudensi, mempertimbangkan intensitas, lalu frekuensi, dan durasi sehingga dianggap dapat menimbulkan dampak negatif pada masyarakat, maka tentu akan disanksi,” papar Hardly Stefano Pariela, salah satu komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat kepada kumparan di kantornya, Gedung KPI, Jakarta, pada Rabu (14/8).
Bagi tim pemantau siaran, waktu sangatlah berharga. Ketika salah satu anggotanya perlu pergi sejenak, misal ke kamar mandi, maka ketua harian harus menggantikannya sementara. Saat hendak pulang, mereka harus menunggu pasukan lain siap bergantian menonton selama enam jam berikutnya. Keterlambatan menjadi utang yang harus dibayar dengan waktu di hari kemudian.
Begitulah pemantauan siaran televisi dan radio berlangsung di KPI setiap harinya. Lalu bagaimana jika konten-konten di YouTube hingga Netflix turut mereka pantau?
“Kami malah ingin segera bisa mengawasi itu, karena di media baru atau media digital saat ini kontennya sudah termasuk dalam ranah penyiaran," kata Ketua KPI 2019-2022 Agung Suprio usai acara pengukuhan komisioner KPI di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, pada Senin (5/8).
Ketika menjelaskan media baru bersiaran yang harus diawasi, Agung berkata, “Yang paling klir, YouTube dan Netflix… Nah, kalau ternyata mungkin dan bisa, yaitu menerapkan P3SPS kepada media baru.”
Pernyataan Agung melahirkan banyak tanya, protes, dan kritik, terutama dari warganet. Salah satu bentuk paling nyata berupa petisi yang dibuat oleh politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dara Nasution, di Change.org berjudul Tolak KPI Awasi Youtube, Facebook, Netflix! Petisi tersebut telah ditandatangani oleh 89 ribu lebih warganet.
Gelombang protes hingga olok-olok terhadap KPI di media sosial menaikkan sentimen negatif terhadap lembaga yang kerap dicap sebagai ‘tukang sensor’ itu. Kondisi tersebut membuat Hardly merasa harus mengklarifikasi berbagai pernyataan koleganya selama dua periode di KPI.
“Setelah satu minggu, saya pikir saya harus menyampaikan secara terbuka dinamika ini kepada publik bahwa itu adalah suara personal dari Agung Suprio, karena tidak pernah melalui pembahasan di KPI,” ucap Hardly.
Ia juga mengkritik Agung yang dinilai tak mampu membedakan antara media sosial dan penyedia layanan media streaming. “Dia terburu-buru menyebut brand, harusnya membuat kategorisasi lebih dulu.”
Tak berhenti di situ, Hardly juga mempertanyakan pengawasan seperti apa yang dimaksud oleh Agung, termasuk landasan hukumnya. “Apakah misalnya tata niaganya, apakah kontennya atau apanya? Sampai sekarang di internal belum klir, dia belum bisa jelaskan juga sebetulnya maksud dia apa.”
“Apalagi yang lebih konyol kemudian ada statement lain yang saya dengar bahwa itu akan dipantau berdasarkan P3SPS. P3SPS itu didesainnya untuk TV, kalau platform di social media sudah punya pedoman komunitas. Kemudian harus dilakukan kajian terkait dengan UU-nya seperti apa? regulasinya seperti apa?” papar Hardly.
Ia berjanji akan menanyakan hal tersebut dalam rapat pleno KPI yang akan digelar pada Selasa, 20 Agustus 2019.
Sementara Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan bahwa lontaran Agung adalah bentuk kepedulian terhadap perlindungan publik di era digital. Senada dengan sang ketua, ia mendorong pengawasan konten digital dilakukan secara aktif. Sebab pengawasan Kominfo yang bersifat pasif karena bersandar pada pengaduan semata dirasa kurang.
Niatan KPI untuk memperluas kewenangan merambah ke konten digital bukan kali ini saja dilontarkan. Pada awal November 2018, Ketua KPI periode 2016-2019 Yuliandre Darwis sempat menyatakan hal serupa saat bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden.
“Komisi Penyiaran Indonesia menganggap perlu terjadi perubahan regulasi saat ini. Untuk media mainstream seperti televisi dan radio sudah berjalan dengan baik (pengawasannya), tapi ada broadcasting yang internet yang saat ini tidak ada pengawasan dari komisi penyiaran,” ucap Yuliandre saat itu.
Saat dihubungi oleh kumparan, Yuliandre yang kini kembali masuk KPI sebagai anggota komisioner, berulang kali menyebut persoalan tata niaga media baru sebagai salah satu alasan.
“Ini hasil diskusi bersama stakeholder penyiaran, termasuk lembaga penyiaran. Orang berpindah (ke konten digital), industri padat karya seperti TV ini beberapa mau bangkrut. Nggak kasihan?” ucapnya saat dihubungi via telepon, Jumat (16/8).
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merumuskan bahwa pengertian penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Ayat 3 dan 4 menjelaskan yang menjadi ranah penyiaran, yaitu penyiaran radio dan penyiaran televisi. Selanjutnya, KPI merupakan lembaga negara bersifat independen yang tugas dan wewenangnya mengatur hal-hal yang menyangkut penyiaran, dalam hal ini berarti radio dan televisi.
Bagi Agung, kata “media lainnya” dalam pasal 1 ayat 2 itu dapat diterjemahkan sebagai media baru yang berada di jaringan internet. Tafsirannya itu terinspirasi dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memberi kewenangan Dewan Pers untuk mewadahi segala bentuk persoalan jurnalistik baik di media cetak, elektronik maupun online.
Sementara landasan argumen Mulyo Hadi di antaranya adalah salah satu pokok pikiran UU Penyiaran seperti terlampir dalam bagian Penjelasan yang berbunyi, “Mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran.”
Menurut Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto kata "media lainnya" dalam UU Penyiaran tidak bisa disamakan dengan UU Pers. “Salah arah, karena ‘media lainnya’ masih dalam konteks penyiaran, memanfaatkan frekuensi publik,” katanya saat ditemui kumparan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (15/7).
Lagipula, persoalan digital yang masuk dalam rencana Revisi UU Penyiaran adalah terkait digitalisasi penyiaran. “Untuk mencegah penguasaan frekuensi yang hanya memusat kepada beberapa orang. Konsekuensinya digitalisasi penyiaran jangan sampai jatuh lagi ke segelintir orang saja. Itu harus diatur, makanya dimasukkan ke RUU Penyiaran,” papar Damar.
Kesalahpahaman KPI atas Revisi UU Penyiaran yang tengah berlangsung juga disuarakan oleh Aktivis Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) Muhammad Heychael. “Yang lagi diomongin itu digitalisasi penyiaran, sebenarnya itu ngomongin infrastruktur. Saat ini kita pakai frekuensi analog, frekuensi analog itu artinya satu channel TV pakai satu frekuensi. Kalau dengan teknologi digital, satu frekuensi itu bisa untuk 12 channel.”
Dengan jalur siaran yang lebih mudah itu diharapkan muncul televisi-televisi baru dengan konten yang lebih beragam. Tapi semuanya masih dalam ranah penyiaran.
Hal tersebut berbeda dengan YouTube, Facebook TV, atau Instagram TV yang berbentuk media sosial maupun Netflix yang merupakan penyedia layanan video streaming. Media baru yang berada di atas jaringan internet ini (over-the-top/OTT) memiliki karakter yang berbeda dari penyiaran.
Dalam penyiaran, KPI berwenang mengawasi isi siaran, infrastruktur, bahkan SDM di dalamnya dengan melakukan pelatihan dan evaluasi.
Dalam Pasal 8 Ayat 3 UU Penyiaran disebutkan bahwa tugas dan kewajiban KPI adalah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait; memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Oleh karenanya ia berhak memberi sanksi, memberhentikan siaran, hingga mencabut izin lembaga penyiaran sebagai penyedia platform.
Sementara dalam jaringan internet, tanggung jawab konten bukanlah pada penyedia platform melainkan pada penyedia konten alias content creator. Penyedia platform hanya menyediakan panduan komunitas bagi media sosial atau parental control untuk penyedia layanan media streaming.
Tanggung jawab yang rumit itu dibebankan bukan hanya kepada negara atau korporasi tapi multistakeholder. “Di broadband itu ada tiga mekanisme pengawasan. Satu, UU ITE dan Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Konten-konten Negatif. Kedua, ada tanggung jawab penyedia platform yang disebut community guideline. Lalu yang ketiga, pelibatan peran serta masyarakat dalam bentuk pelapor resmi atau misalnya trusted partner,” jelas Damar.
Di lain pihak, Heychael menegaskan bahwa aturan P3SPS yang menjadi panduan dalam mengawasi siaran televisi tak bisa diterapkan untuk konten digital. “Ambil satu case, misalnya jam tayang anak. Dalam konten digital, enggak ada konsep jam tayang. Nonton kartun di YouTube bisa kapan pun.”
Maka, bagaimana KPI bisa mengawasi apalagi menerapkan P3SPS untuk konten digital? Mengingat pengawasan terhadap lembaga penyiaran selama ini pun masih dilakukan secara manual.
Tak cuma protes, niatan KPI untuk merambah dunia maya juga melahirkan beragam curiga.
“Kita bisa menduga-duga. Dugaan pertama bisa jadi karena kedekatan KPI dengan televisi swasta yang barangkali keberatan dengan pengaturan yang sangat ketat pada siaran televisi swasta. Dugaan kedua, kalau kita melihat dari logika yang disampaikan Agung Suprio soal perpindahan penonton dari televisi ke streaming, berarti disadari atau tidak dia berbicara tentang kue penonton. Maka kita bicara tentang kue ekonominya juga yang sekarang dibagi antara penguasa broadcast dan penguasa broadband,” ujar Damar panjang lebar.
Tak heran jika persoalan tata niaga kerap disebut oleh para komisioner KPI sebagai salah alasan perlu diawasinya konten digital. Keresahan soal tata niaga ini disampaikan Agung dengan meminta para penyedia platform seperti YouTube dan Netflix untuk berkantor di Indonesia.
Sementara Yuliandre mengatakan, “Kita bicara tentang sebuah pemahaman pengaturan dalam tata niaga konten, pengaturan hal-hal yang lain. Bukan hanya masalah sanksi dan blurring, ini bicara semangat tentang perubahan regulasi.”
Menurut sumber kumparan yang di lingkaran petinggi KPI, argumentasi soal pengaturan tata niaga kental dengan nuansa kepentingan industri. Lembaga penyiaran kerap berbisik kepada KPI agar platform digital juga diawasi sama ketatnya dengan mereka.
Alasannya tidak lain karena saat ini lembaga penyiaran sudah mulai memasuki usia senjakala, digilas digital.
“Itu jelas suara industri penyiaran. Itu industri besar, bukan industri kecil. Itu sudah dinyatakan oleh mereka dari tahun 2012-2013, sudah ribut,” ucap sumber yang enggan disebut namanya itu.
Bagi Heychael, Damar, maupun kebanyakan warganet, KPI dinilai lebih baik untuk fokus dalam tugas pokoknya.
“Kalau kita ngomongin isi siaran, ya tegakkin aja P3SPS… Hal lain adalah pada 2016 itu ada momen krusial perpanjangan izin siaran televisi swasta. Semua (izin stasiun TV) diperpanjang dengan catatan tujuh komitmen. Paling tangible adalah menyediakan bahasa isyarat dalam berita. Dipenuhi nggak itu? Terus apa yang dilakukan oleh KPI padahal mereka melakukan evaluasi per tahun?” tanya Heychael.
Heychael juga mengkritik kebijakan KPI yang lebih sering menerapkan pembinaan ketimbang sanksi tegas kepada lembaga penyiaran yang melanggar aturan. Menurutnya, dalam P3SPS tak ada konsep pembinaan, sebab konsep tersebut membuka ruang negosiasi antara KPI dan lembaga penyiaran.
Menjawab tudingan ini, Hardly Stefano yang menjabat sebagai koordinator bidang pengawasan isi siaran pada periode 2016-2019 menjelaskan bahwa pembinaan sebagai ruang dialog antara KPI dengan industri, produser, dan tim produksi di dalamnya.
“Kenapa itu diperlukan? Karena P3SPS itu adalah pedoman untuk mengatur proses produksi siaran. Nah, memahami pedoman ini tentu tidak hitam putih tetapi harus kontekstual. Teman-teman sering menanyakan, apa sih batasannya ketika berbicara kekerasan? Apa sih batasannya ketika berbicara perlindungan anak? Batasan-batasan itu kemudian kita diskusikan dalam ruang-ruang yang disebut, dalam bahasa program KPI, pembinaan itu,” jawab Hardly.
Sementara bagi Damar, KPI tengah salah arah dalam memahami tugas pokok dan fungsinya atau tantangan zamannya.
“KPI terburu-buru sampai kemudian keliru karena menganggap (pengawasan konten digital) itu bisa dikerjakan dengan seperti cara KPI sekarang. KPI enggak punya kompetensi karena nature-nya bukan di situ,” pungkas Damar.