AMR Si Pandemi Senyap: 5 Juta Kasus Setahun, COVID 6,5 Juta dalam 3 Tahun

13 Oktober 2022 11:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilmuwan di MIT memakai teknologi kecerdasan buatan untuk menemukan antibiotik super yang bisa membunuh bakteri kuat. Foto: Collins Lab at MIT
zoom-in-whitePerbesar
Ilmuwan di MIT memakai teknologi kecerdasan buatan untuk menemukan antibiotik super yang bisa membunuh bakteri kuat. Foto: Collins Lab at MIT
ADVERTISEMENT
Prof. Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar FK UI, mengungkap detail alasan di balik julukan pandemi senyap pada Resistensi Antimikroba (AMR). Apa saja?
ADVERTISEMENT
Yang utama, sejauh ini kasus AMR sudah banyak terdeteksi. Belum ada tanda-tanda terkendali hingga saat ini.
Dibanding pandemi COVID yang dengan segera mendapat perhatian pemerintah dan dicarikan jalan keluarnya, pengetahuan seputar AMR masih minim. Padahal, jumlah kasus yang tercatat hingga saat ini tidak berbanding jauh dengan kasus COVID.
“Si AMR ini belum ada tanda-tanda terkendali, padahal jumlahnya sama kan kalau dihitung 5 juta setahun kali 3, 15 juta, ini COVID 6,5 juta, gitu ya,” ungkap Prof Tjandra kepada kumparan, Kamis (13/10).
“Pandemi kan jelas depan mata kita Covid angkanya jelas 6,5 juta setahun di dunia. Nah ini 5 juta setahun doang, itu 6,5 juta 3 tahun, jadi dari kacamata angka dia besar, itu satu,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Faktor lainnya, menurut Tjandra, adalah mengenai jumlah kasus yang belum memperlihatkan penurunan angka. Dibandingkan COVID, yang jumlah kasusnya menunjukkan penurunan sejak vaksin mulai digalakkan, angka kasus AMR masih belum terkendali.
“Yang kedua, seperti saya bilang, si pandemi COVID ini angkanya sudah turun dan mudah2an bisa segera tertanggulangi kecuali kalau ada varian baru yang XBB ini, tapi any way, angkanya terkendali. Sementara si AMR ini angkanya belum terkendali sama sekali, gitu, jadi bisa makin lama makin banyak,” ujarnya.
Prof Tjandra Yoga Aditama. Foto: Dok. Pribadi
Dampak yang ditimbulkan AMR pada penderitanya juga tidak hanya mempengaruhi kondisi fisik pasien, namun juga mempengaruhi faktor ekonomi.
“Dia punya dampak bukan hanya soal kematian, tapi dia juga punya dampak orang jadi lebih lama masuk rumah sakit, biayanya jadi lebih banyak. Dan obatnya ga ada, artinya obat baru, tadi kan sudah dibilang obat baru sedang dibikin segala macem,” katanya.
ADVERTISEMENT
Periode pengobatan pasien yang cukup lama juga menjadi alasan tersendiri mengapa AMR disebut sebagai pandemi. Terlebih, pasien AMR memerlukan rangkaian pengobatan khusus karena resisten terhadap jenis antimikroba tertentu,
“Jadi, dampak kematian, penyakitnya belum selesai, dan masalahnya yang ketiga ada dampak kesehatan besar, biaya kesehatan besar, lebih lama masuk rumah sakit, mau transplantasi jantung ga bisa, mau operasi jadi ga bisa gara2 ga ada antibiotik. Itu untuk menjawab pertanyaan pertama, pandemi kenapa disebut pandemi,” tukas eks Direktur WHO Asia Tenggara itu.
AMR adalah kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, fungi dan parasit menjadi resisten atau kebal terhadap antimikroba (antibiotik, antivirus, antifungal, antiparasit) yang sebelumnya efektif untuk mencegah atau membunuh mikroorganisme tersebut.
ADVERTISEMENT
“WHO memperkirakan resistensi antimikroba, secara langsung maupun tidak langsung, telah berhubungan dengan 4,9 juta jiwa di 204 negara selama tahun 2019,” ujar Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK RI, Agus Suprapto, M. Kes.
AMR akan berakibat pada terjadinya infeksi yang sulit atau tidak mungkin diobati, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit parah dan kematian, serta membalikkan kemajuan ilmu kedokteran.
“Orang yang terkena AMR harus menghadapi penyakit berkepanjangan, durasi pengobatan lebih lama, tantangan kesehatan mental, stigma sosial, dan beban keuangan yang tinggi. Ini bisa kita hindari kalau kita beraksi bersama sekarang. Kita harus melakukan ini kalau ingin melindungi generasi berikutnya,” ujar Mukta Sharma selaku Technical Officer (AMR) WHO Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis: Andin Danaryati