Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Peneliti petir dan atmosfer BMKG yang juga merupakan dosen Meteorologi STMKG, Deni Septiadi, memberikan analisis terkait kondisi cuaca di awal rute penerbangan pesawat tersebut. Analisis dilakukan berdasarkan data satelit di sekitar waktu jatuhnya pesawat.
"Berdasarkan data satelit pada pukul 14.40 WIB di sekitar Cengkareng terdapat Awan Cumulonimbus (Cb) dengan radius bentangan awan sekitar 15 Km dan suhu puncak awan mencapai -70 °C mengindikasikan labil tinggi dan pesawat pasti mengalami turbulence kuat ketika melewatinya," kata Deni dalam keterangannya, Minggu (10/1).
Deni mengatakan, dari data observasi BMKG Cengkareng menunjukkan bahwa curah hujan intensitas sedang hingga lebat disertai petir dengan jarak pandang 2 Km terjadi di lokasi. Meski, kondisi tersebut tetap layak untuk take off maupun landing.
ADVERTISEMENT
"Arah angin di sekitar pesawat hilang dari level permukaan (1.000 hpa) persisten dari Barat Laut, kemudian pada ketinggian 3.000 m (700 hpa) persisten dari Barat Daya. Artinya dari sisi angin sebenarnya tidak memiliki indikasi cross wind yang berarti," kata dia.
Deni mengatakan, cuaca buruk atau adanya sel awan Cumulonimbus juga mempengaruhi kondisi aerodinamis akibat turbulensi sehingga mengganggu dan mempengaruhi performa pesawat dan dapat mengarah pada gagal mesin. Posisi dan kemiringan pesawat terhadap aliran angin juga dapat mengarah pada posisi stall.
"Kemudian mungkinkah petir? dengan adanya kumpulan Cb (Cumulonimbus) dan suhu puncak awan mencapai -70 °C, petir tentu menjadi hal yang perlu di khawatirkan," kata dia.
"Namun dengan teknologi sekarang ini baik pesawat pabrikan Boeing maupun Airbus body pesawat terdiri dari komposit dan memiliki static discharge yang akan mengalirkan arus berlebih petir melalui sayap dan ekor pesawat sebagaimana efek Faraday. Pesawat akan mengalami gangguan kelistrikan apabila arus petir dapat masuk ke dalam sistem pesawat namun secara teori masih bisa glading (melayang) meskipun mesin dalam keadaan mati," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak dengan nomor penerbangan SJ 182 hilang kontak pada Sabtu (9/1) pukul 14.40 WIB. Pesawat diperkirakan jatuh di antara Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Pesawat itu membawa penumpang 46 dewasa, tujuh anak-anak, tiga bayi, pilot-kopilot, satu petugas keselamatan penerbangan dan tiga awak kabin. Total orang yang berada di pesawat adalah 62 orang. Pencarian pesawat masih terus dilakukan.