Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Analisis Data: WFH Seperti saat Pandemi Bisa Bikin Polusi Udara DKI Turun 73,3%
19 Agustus 2023 12:04 WIB
·
waktu baca 6 menitWacana Work From Home (WFH ) tengah bergulir di tengah polusi udara yang membekap DKI Jakarta. Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) bahkan sedang menggodok kebijakan itu untuk diterapkan ke perusahaan swasta.
"Kita masih mendiskusikan, kita belum sampai pada kesimpulan, belum sampai apakah itu imbauannya menteri, atau imbauannya swasta sendiri, atau nanti pemerintah provinsi. Tapi saya kira memang itu masalah yang harus kita atasi. Pilihannya kan di antaranya WFH, kita terus diskusikan," ujar Ida saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (16/8)
Usulan penerapan WFH seperti saat pandemi memang merupakan ide yang menarik. Berdasarkan catatan kumparan, langit di Jakarta tampak berwarna biru saat pandemi. Itu merupakan sebuah pemandangan yang kontras dengan situasi kita saat ini.
Kala itu, Plt. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Syaripudin menyebut berkurangnya polusi udara disebabkan rendahnya mobilitas masyarakat. Itu tak lepas dari kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat berupa PSBB pada April 2020 hingga PPKM Level 3 dan 4 menjelang akhir Juli 2021
"Pandemi telah menunjukkan kepada kita, bahwa masih ada harapan untuk lingkungan hidup yang lebih baik, dan oleh karena itu kita perlu berubah menuju kota yang lebih berkelanjutan dan tangguh," kata Syaripudin dalam keterangannya, Kamis (18/2/2021).
Polusi Udara Turun 73,3%
Kualitas udara diukur dengan satuan Index Quality Air (AQI). Kualitas udara yang baik berkisar dari 0 hingga 50, sedangkan pengukuran di atas 300 dianggap berbahaya.
Berdasarkan data yang dihimpun aqicn.org, AQI di Jakarta pada 2023 dan 2021 terlihat sangat kontras. Pada 2023, warna AQI di Jakarta mayoritas kuning hingga kemerahan. Tertinggi berada di angka 150-175 atau kategori tidak sehat.
Dalam data tersebut, aqicn.org menggunakan AQI "Pencemar Individu". Oleh sebab itu satuan yang digunakan adalah AQIPM2.5 karena merujuk pada kualitas udara terkait PM2.5.
PM2.5 atau Particulate Matter adalah partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil dari itu. Paparan PM2.5 dalam waktu sebentar saja sudah cukup untuk menyebabkan masalah pada mata, hidung, tenggorokan, iritasi paru, batuk, bersin, pilek, dan napas pendek.
Sementara itu, pada 2021 warna AQI di Jakarta mayoritas biru dan hijau. Hari-hari di sepanjang tahun tersebut didominasi kualitas udara yang berwarna biru (0-25) hingga hijau (25-50). Angka 0-25 menunjukkan indeks dengan kualitas udara yang masuk dalam kategori baik.
Gambaran polusi udara di 2023 dan 2021 lalu kami bandingkan berdasarkan nilai mediannya. Data 2023 menunjukkan nilai median AQIPM2.5 di angka 95,5. Sementara median AQIPM2.5 pada 2021 mencapai 25,5.
Artinya, polusi udara pada saat kebijakan WFH di Jakarta pada 2021 dapat turun sebesar 73,3 persen apabila dibandingkan dengan data 2023.
Meski begitu, hal yang harus dicatat adalah kebijakan pada 2021 bukan hanya WFH, tetapi juga ada pembatasan di sejumlah tempat. Mulai dari tempat wisata, sekolah, mal, serta ruang publik lainnya.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, menilai WFH memang merupakan ide yang menarik. Meski begitu, kata dia, rencana jangka panjangnya harus tetap pada kendaraan umum.
"Bisa masuk akal bila 50:50, bukan sedikit yang WFH. Tapi solusi hybrid working ini hanya sementara. Solusi jangka panjang tetap menggunakan angkutan umum," kata Deddy saat dihubungi kumparan, Selasa (15/8).
Kendaraan Sumbang Polusi Tertinggi
Berdasarkan hasil kajian Pemprov pada tahun 2020, kadar polutan PM2.5 di Ibu Kota mayoritas disumbang oleh sektor transportasi, yaitu 67 persen. Sementara sektor industri menyusul di bawahnya, yakni 26,8 persen.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Sufi Fitria Tanjung menilai, kualitas udara di Jakarta yang semakin memburuk disebabkan kebijakan pemerintah yang kontradiktif. Ia menyebut penghancuran trotoar pejalan kaki dan penghentian pembangunan jalur sepeda sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah dalam mengatasi polusi udara.
"Kami tidak menyanggah bahwa sektor transportasi masih jadi penyumbang terbesar. Tetapi pernyataan pemerintah, terutama pemprov, seperti menegasikan kontribusi polutan dari sumber lain. Bahkan menyalahkan musim kemarau, dan sebagainya," kata Suci melalui pesan singkat, Selasa (15/8).
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, justru menyebut pemprov sudah menyusun sejumlah regulasi untuk mengatasi masalah ini. Ia mengatakan sudah ada Instruksi Gubernur No 66 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Ke depannya, kata dia, pemprov juga akan membuat Peraturan Gubernur (Pergub).
"Kami sedang menyusun strategi untuk pengendalian dalam bentuk Pergub, dan dalam waktu dekat akan ditandatangani oleh Pak Gubernur yaitu Pergub untuk strategi pengendalian pencemaran udara," ucap Asep dalam konferensi pers di Kantor Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), Jakarta Timur, Jalan DI Panjaitan, Jumat (11/8).
Asep menjelaskan Pemprov memiliki tiga strategi untuk mengendalikan polusi udara di Jakarta. Pertama, peningkatan tata kelola dengan melakukan pengendalian pencemaran udara melalui berbagai macam kebijakan dan regulasi. Kedua, strategi pengurangan emisi pencemaran udara dan sumber bergerak. Ketiga, uji emisi.
Berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta 2019, kendaraan di Jakarta didominasi kendaraan pribadi. Modal share angkutan umum di Jakarta hanya mencapai 21,7 persen. Cuma ada 5.735.712 penumpang yang melakukan perjalanan dengan angkutan umum.
Sementara itu, total seluruh perjalanan orang-orang di Ibu Kota mencapai 26.424.851. Sebanyak 20.689.139 atau 78,3 persen di antaranya memilih membawa kendaraan pribadi di Jakarta.
Bahaya Polutan bagi Kehidupan
Berdasarkan data State Global Air (2019), Indonesia memiliki jumlah kematian dini tertinggi (lebih dari 50.000 jiwa) yang terkait dengan polusi udara di Asia Tenggara. Rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 di Jakarta lebih tinggi empat sampai lima kali dibandingkan standar Pedoman Kualitas Udara WHO.
Jumlah kematian yang dikaitkan dengan PM2.5 di Jakarta terbesar secara nasional. Yakni, 36 orang per 100 ribu penduduk. Sementara di tingkat nasional ada di angka 20 orang per 100 ribu penduduk.
Diperkirakan terdapat 5,5 juta kasus penyakit terkait polusi udara yang dilaporkan pada tahun 2010 (hampir 11 kasus per menit) di Jakarta. Nilai biaya pengobatannya setara dengan Rp 60,8 triliun pada 2020.
Buruknya kualitas udara di Jabodetabek belakangan ini juga berdampak pada meningkatnya pasien Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Salah satunya terjadi di Puskesmas Gambir dan Petojo Selatan, Jakarta Pusat.
Dokter Umum, Dwitia Noviari mengatakan, pasien ISPA tidak hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak. Peningkatan itu terjadi dalam sepekan terakhir usai memburuknya udara Jakarta.
"Saya kebetulan nggak kerja di sini aja, kebanyakan di poli umum Puskesmas Kecamatan Gambir. Tapi memang sekarang sih kasus ISPA-nya lagi meningkat," kata Dwitia Noviari saat ditemui di Puskesmas Petojo Selatan, Senin (15/8).
Lebih lanjut, Dwitia mengungkapkan, untuk pencegahan ISPA dapat dilakukan dari diri sendiri hingga lingkungan. Salah satunya dengan tetap memakai masker.
"Karena udara sedang jelek-jeleknya, polusi meningkat, kalau bisa keluar pakai masker. Kalau misal sudah terkena ISPA, ya kalau bisa di rumah ada orang tua atau anak kecil, kita pake masker. Untuk cegah penularan," ujar Dwitia.