Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Analisis Mahfud soal Revisi UU MK: Saldi Isra Terancam, Anwar Usman Diuntungkan
12 September 2024 11:15 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Mahfud MD, menyampaikan pandangannya terkait revisi UU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK).
ADVERTISEMENT
Beberapa pasal di dalam RUU MK ini pun menjadi sorotan. Salah satu di antaranya adalah aturan masa jabatan hakim MK yang diatur 10 tahun serta ada syarat konfirmasi lembaga pengusul bagi seorang hakim MK untuk bisa melanjutkan masa jabatan dan masa pensiun hakim.
Mahfud pun menceritakan, saat menjabat Menkopolhukam, dirinya sempat menolak pembahasan revisi UU MK tersebut. Menurutnya, isi dalam revisi UU MK tersebut justru menjadi ancaman bagi independensi MK.
"Itu, kan, tidak ada di Prolegnas dan baru dibuat atau diubah dua tahun yang lalu. Tiba-tiba sudah ada daftar surat bahwa sekarang akan ada perubahan undang-undang," ucap Mahfud dalam podcast 'Terus Terang Mahfud MD', dikutip Kamis (12/9).
"Dan isinya itu selain tidak diketahui oleh publik, kemudian masuknya ke Prolegnas juga kita tidak tahu kapan masuknya gitu ya. Katanya ini harus segera dibahas. Isinya apa itu? Isinya itu ancaman bagi kemerdekaan ke Mahkamah Konstitusi. Karena isinya itu berisi hak konfirmasi," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Syarat konfirmasi lembaga pengusul itu justru merugikan bagi sejumlah hakim MK. Salah satunya yang terancam adalah Hakim Konstitusi Saldi Isra. Sebaliknya, revisi UU MK itu menguntungkan bagi Anwar Usman yang sudah memasuki periode ketiganya.
"Konfirmasi itu artinya pada saat undang-undang ditetapkan semua hakim yang ada itu dimintakan konfirmasi kepada Presiden. Apakah akan diteruskan apa tidak? Itu, kan ancaman," kata Mahfud.
"Sesudah itu diperhalus sedikit yang dimintakan konfirmasi itu hanya orang-orang yang sudah masuk periode ke-2. Yang periode ke-3 dan seterusnya tidak usah konfirmasi, langsung masuk masa pensiun," sambungnya.
Selain Saldi Isra, Mahfud menyebut dua hakim lainnya juga ikut terancam. Mereka adalah Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
"Sehingga di sini dengan itu kemudian akan ada tiga orang yang harus begitu undang-undang ini dikonfirmasi, ya harus ada tiga orang yang harus diminta konfirmasi," kata Mahfud.
ADVERTISEMENT
"Satu, Saldi Isra, yang kedua Enny Nurbaningsih, yang ketiga Suhartoyo. Jadi karena dia baru masuk tahun ke-2 harus minta apakah ini boleh diteruskan apa tidak," jelas mantan Ketua MK itu.
Ia pun menceritakan bahwa dirinya dengan tegas menolak dan tak setuju terhadap revisi UU MK tersebut. Mahfud turut mempertanyakan urgensi revisi UU tersebut.
"Karena kalau bukan itu apa sih urgensinya minta gitu, itu apa, untuk apa? Kan tidak boleh di pengadilan, hakim diberhentikan sebagai jabatannya. Nah itulah sebabnya waktu itu saya tolak," tutur dia.
"Saya, kan, waktu itu minta memang ke Istana biar saya yang mewakili ini, biar clear masalahnya. Lalu saya lah yang diangkat bersama Menkumham saya mewakili ke DPR. Nah ketika dibahas saya tidak setuju," bebernya.
ADVERTISEMENT
Mahfud juga menjelaskan bahwa saat dirinya mundur dari Menko Polhukam, pembahasan revisi UU MK tersebut justru kembali dilanjutkan.
Padahal, katanya, UU tersebut berpotensi untuk diprotes lantaran prosedur pembahasannya yang salah dan melanggar prinsip keterbukaan.
"Malahan sesudah saya pergi sudah itu diteruskan gitu ya, dibuka lagi kasus yang sudah saya tutup itu, dibuka lagi. Katanya masih ada. Terus pasal yang dulu saya tolak itu malah diperberat," ungkapnya.
Pasal yang dimaksud Mahfud tersebut terkait dengan masa pensiun hakim MK. Menurutnya, hal itu justru menguntungkan Anwar Usman yang akan memasuki masa pensiun pada 2027 mendatang.
"Bagi hakim MK yang sudah masuk periode ketiga seperti Anwar Usman dan Arief Hidayat itu pensiun dalam usia 70 tahun atau habis masa SK-nya 5 tahun, kan," terangnya.
ADVERTISEMENT
"Nah kalau dengan perubahan ini, Anwar Usman yang harusnya pensiun tahun 2027 dia memperpanjang sampai 2028, tambah lagi 1 tahun. Kan sudah jelas sangat tendensius," lanjut Mahfud.
Dengan kondisi itu, Mahfud menyebut bahwa di masa pemerintahan saat ini, produk undang-undang justru direkayasa untuk menguntungkan pihak tertentu.
"Jadi maksud saya, semua produk undang-undang yang menyangkut kekuasaan itu menurut saya tidak lepas dari rekayasa-rekayasa yang untuk menguntungkan itu, termasuk kemudian produk peradilannya kan. Produk peradilannya hal-hal yang tidak masuk akal itu, kan, yang dibuat semua," pungkasnya.
Adapun dalam draf perubahan keempat UU MK, hakim MK dapat menjabat selama 10 tahun. Selain itu, lembaga pengusul baik Mahkamah Agung, DPR, atau Presiden, juga bisa mengevaluasi kinerja hakim saat memasuki tahun kelima.
ADVERTISEMENT
"Masa jabatan hakim konstitusi selama 10 (sepuluh) tahun," demikian bunyi pasal 23 A ayat (1) draf revisi UU MK.
Berikut bunyi pasal yang memungkinkan kinerja hakim MK ditinjau oleh lembaga pengusul:
(2) Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah 5 (lima) tahun menjabat wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan atau untuk tidak mendapatkan persetujuan melanjutkan jabatannya.
Kemudian dalam pasal yang sama, turut diatur ketentuan hakim MK bisa menjabat sampai 10 tahun. Yakni:
a. masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2);
b. belum berusia 70 (tujuh puluh tahun); dan
c. mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul yang berwenang.
Selain itu, dalam draf revisi UU MK, disebutkan juga apabila lembaga pengusul tidak memberikan persetujuan kepada hakim konstitusi yang bersangkutan untuk melanjutkan jabatannya, maka lembaga pengusul itu berwenang mengajukan calon hakim konstitusi baru.
ADVERTISEMENT
Adapun jika dibandingkan dengan aturan dalam revisi ketiga UU MK, disebutkan bahwa hakim MK mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.
Saat ini, revisi UU MK masih dalam pembahasan di DPR. Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyampaikan, DPR akan mengevaluasi posisi MK karena dinilai terlalu banyak mengurusi urusan yang bukan menjadi urusan MK.
"Jadi nanti kita evaluasi posisi MK-nya, karena memang sudah seharusnya kita mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," kata Doli dalam keterangan tertulis yang dikutip Jumat (30/8).
ADVERTISEMENT
Doli menyebutkan contoh seperti soal sengketa pemilu, khususnya pilkada yang juga ditangani MK. Dia menilai MK terlalu mengurusi hal-hal yang bersifat teknis.
"Di samping itu banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya pemerintah dan DPR, tapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ke-3. Meminjam istilahnya Pak Mahfud, MK ini melampaui batas kewenangannya," ujarnya.