Anggota DPR soal Hakim Terima Suap: MA Harus Evaluasi, Bisa jadi Preseden Buruk

24 April 2025 13:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Komisi III DPR RI udianto Lallo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/3/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Komisi III DPR RI udianto Lallo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/3/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan
ADVERTISEMENT
Integritas Hakim saat ini dipertanyakan usai ramai Kejaksaan Agung menetapkan tersangka kepada hakim atas kasus suap pengaturan vonis lepas terdakwa korporasi kasus persetujuan ekspor CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit mentah.
ADVERTISEMENT
Palu Hakim yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum, justru meloloskan tindakan yang merugikan negara. Kejaksaan Agung baru-baru ini menemukan uang Rp 5,5 miliar di bawah kolong kasur milik Hakim Ali Muhtarom. Uang itu diduga dari suap.
Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo mengaku prihatin atas peristiwa tersebut. Ia mendesak Mahkamah Agung harus evaluasi para hakim.
"Iya, tentu memalukan kita prihatin karena peristiwa tersebut bukan kali pertama terjadi, sudah berkali-kali," kata Rudianto kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4).
"Dan ini di era Pak Sunarto jadi Ketua Mahkamah Agung, malah seringkali terjadi. Kedua kita mendesak pimpinan MA untuk betul-betul mengevaluasi ya, penempatan hakim-hakim yang bertugas di Pengadilan Tipikor atau pengadilan kelas 1 khusus," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya MA, ia berharap Kejagung mengusut tuntas kasus ini. Jangan sampai, persepsi publik terhadap hakim rusak karena kejadian ini.
"Kita mendesak Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan mengungkap, membongkar kasus ini, seterang-terangnya. Kita berharap betul-betul ada perubahan ya, putusan hakim. Jadi hakim itu, mahkota hakim itu putusannya. Kita berharap putusan yang dilahirkan betul-betul karena didasari oleh bukti-bukti fakta-fakta," tutur dia.
Politisi NasDem itu menekankan, putusan yang dibuat Hakim harus objektif berdasarkan fakta. Kata dia, pengadilan adalah tempat mencari keadilan dan menemukan kebenaran. Maka dari itu, putusan Hakim jangan menimbulkan preseden atau persepsi buruk di masyarakat.
“Putusan hakim jangan ditentukan oleh sarapan paginya. Ada uang-uang besar, dan ini menjadi preseden buruk. Kenapa? Besok-besok ada putusan bebas, di otak masyarakat ’pasti nih ada bayar-bayar nih kenapa dia bebas’,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Penyidik Kejagung temukan uang Rp 5,5 miliar di rumah hakim Ali Muhtarom terkait kasus suap vonis lepas korupsi CPO. Foto: Dok. Istimewa

Kasus Suap Atur Vonis CPO

Sejauh ini sudah ada 8 tersangka yang dijerat penyidik Kejagung. Dari pihak pemberi suap, yakni dua pengacara terdakwa korporasi kasus CPO Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso, serta pihak Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei. Dalam perkara CPO, ada tiga terdakwa korporasi, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Sementara pihak penerima suap ada 5 orang tersangka yakni Muhammad Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Wahyu Gunawan (mantan Panitera Muda PN Jakpus), serta 3 orang Majelis Hakim yang menyidangkan korporasi terdakwa CPO: Djuyamto, Agam Syarif, dan Ali Muhtarom.
Muhammad Arif Nuryanta diduga menerima Rp 60 miliar dari Ariyanto dan Marcella ketika masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Uang tersebut disebut berasal dari korporasi Wilmar Group.
ADVERTISEMENT
Penyerahan uang kepada Arif diberikan melalui seorang panitera, Wahyu Gunawan. Setelah uang tersebut diterima, Wahyu mendapat jatah sebesar USD 50 ribu sebagai jasa penghubung.
Kolase 4 hakim tersangka suap: Ali Muhtarom, Agam Syarif Baharudin, Djuyamto, Muhammad Arif Nuryanta. Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Arif kemudian menunjuk susunan majelis hakim yang akan menangani perkara korupsi CPO tersebut.
Kemudian, Arif diduga membagi uang suap tersebut kepada majelis hakim dalam dua tahap. Pertama, Arif memberikan total Rp 4,5 miliar kepada ketiganya sebagai uang baca berkas perkara.
Kemudian, Arif kembali menyerahkan uang sebesar Rp 18 miliar kepada Djuyamto dkk agar memberikan vonis lepas kepada para terdakwa. Ali diduga menerima bagian Rp 5 miliar.
Adapun dalam putusannya terkait kasus persetujuan ekspor CPO, Majelis Hakim menyatakan para terdakwa korporasi itu terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan. Namun, Hakim menilai perbuatan tersebut bukan korupsi.
ADVERTISEMENT
Majelis Hakim kemudian menjatuhkan vonis lepas atau onslag dan terbebas dari tuntutan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 17 triliun.
Belum ada keterangan dari para terdakwa korporasi CPO maupun para tersangka pengaturan vonis perkara persetujuan ekspor CPO mengenai kasus dugaan suap tersebut.