Anggota Komisi I DPR Soroti TNI AL Belum Punya Alat Deteksi Kapal Selam Asing

28 April 2025 12:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Kemanan Laut (Kamla) Komisi I dengan KASAL, Laksamana Muhammad Ali di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Kemanan Laut (Kamla) Komisi I dengan KASAL, Laksamana Muhammad Ali di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
Panja Komisi I DPR menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) untuk membahas keamanan laut. Dalam rapat tersebut, anggota DPR mempertanyakan peralatan untuk antisipasi serangan di laut masih minim.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi I, Elita Budiati menyoroti tak adanya alat untuk deteksi kapal selam oleh TNI Angkatan Laut sebagai penjaga kedaulatan Indonesia di perairan tanah air. Ia menilai, ancaman bawah laut perlu menjadi perhatian.
”Betapa ancaman di bawah laut itu perlu sangat diperhatikan oleh kita, Pak Aher [Wakil Ketua Komisi I] kita kemarin diberikan penjelasan sampai simulasi melihat sampai lantai paling atas betapa ancaman bawah laut kita itu sangat luar biasa,” ujar Elita di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/4).
Elita mengatakan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang luas, tentunya wajib memiliki peralatan pertahanan yang mumpuni untuk menjaga-jaga apabila terjadi serangan.
“Tadi Bapak juga sedikit memaparkan bahwa ancaman bawah laut kita itu bahwa kita belum mempunyai alat untuk mendeteksi kapal selam, kebayang tidak sih, Pak, sekarang kita 65 persen Indonesia itu berisi laut tetapi manakala kita diserang saja dari laut misalkan dari kapal selam ya kita habis lah kita,” tuturnya.
Suasana Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Kemanan Laut (Kamla) Komisi I dengan KASAL, Laksamana Muhammad Ali di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparan
Politisi Golkar itu mengatakan, alat deteksi kapal selam itu harganya sangat tinggi. Tapi, menurut dia, tetap penting untuk memiliki alutsista untuk memastikan keamanan kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
“Saya tanya alasannya kenapa kita tidak punya alat itu, katanya alasannya alatnya itu sangat mahal, kalaupun semahal apa pun kalau itu penting apalagi untuk menjaga kedaulatan laut kita itu wajib,” ungkapnya.
KSAL Laksamana Muhammad Ali dalam paparan rapat mengungkapkan saat ini TNI Angkatan Laut memiliki Sistem Pusat Komando Angkatan Laut (Sispuskodal) di bawah Mabes TNI tahap satu. Pada tahap satu itu, pengawasan bawah laut disebutkan masih belum bisa dilakukan secara penuh karena keterbatasan alutsista.
“Komprehensif dalam aspek pengawasan jarak jauh mencapai 50 persen, kawasan pesisir dan perairan teritorial 30 persen, pengawasan bawah laut 0 persen,” ujar Ali di rapat tersebut.
KSAL Laksamana Muhammad Ali menyampaikan pembekalan dalam Kuliah Umum Pasis Dikreg LII Sesko TNI TA. 2024, Bandung, Jawa Barat, Senin (18/11/2024). Foto: Dok. Dinas Penerangan TNI AL
Ali mengatakan, peralatan pengawasan bawah laut itu baru diajukan ke Kementerian Pertahanan. Sehingga, kata Ali, saat ini TNI AL tidak bisa memonitor kapal selam asing.
ADVERTISEMENT
“Jadi yang dipasang di bawah laut tapi kita belum memiliki sehingga mungkin kelemahan kita pendeteksi kapal selam asing yang melalui ALKI (alur laut kepulauan Indonesia) itu kita tidak bisa monitor,” kata dia.
Ali menjelaskan, ketersediaan alat deteksi bawah laut yang tertanam di dasar laut atau fixed deep sonar. Sebagai gantinya, saat ini, patroli hanya menggunakan kapal-kapal yang ada untuk mendeteksi adanya kemungkinan kapal selam yang melintas di perairan Indonesia.
Tentu ini sangat tidak efektif dan efisien. Bila fixed deep sonar dimiliki Indonesia, semua bisa terdeteksi di markas sehingga kapal tak perlu keliling ke perairan Indonesia untuk mendeteksi.
"Dengan alat itu, kita bisa memantau dari markas tanpa mengerahkan kapal yang memiliki sonar karena untuk mendeteksi kapal selam memerlukan sonar. Untuk itu memang harganya cukup mahal," jelas eks Asrena KSAL itu.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau kita mau menjaga selat-selat yang penting kita harus mengerahkan kapal yang memiliki sonar ke daerah tertentu untuk mendeteksi kapal selam. Ini tentu tidak efektif dan tidak efisien. Akan lebih efisien ada di corong-corong strategis itu fixed deep sonar," tambah dia.
Direktur Operasi Puskopaska Kolonel Laut (P) Johan Wahyudi (kedua kiri) memberikan pengarahan rencana operasi kepada prajurit Kopaska di atas geladak Kapal Selam KRI Alugoro 405 di perairan Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (16/7/2022). Foto: Zabur Karuru/ANTARA FOTO
Ali menjelaskan, sejumlah negara yang sudah memiliki armada kapal selam yang maju dan besar sudah dibekali dengan SOSUS (Sound Surveillance System) atau underwater sound surveillance. Mereka tinggal menaruh SOSUS di titik-titik strategis untuk memastikan apa saja yang melintas di kawasan itu.
Di sisi lain, aturan UNCLOS menyebutkan, standar kapal selam dalam operasinya memang menyelam. Sehingga kapal selam dalam kondisi normal mode [menyelam], bisa melewati perairan Indonesia.
"Kalau kita harus mengerahkan KRI untuk mendeteksi kapal selam tentu kita kesulitan. Berapa panjang ALKI kita harus dijaga kapal yang memiliki sonar. Di sisi lain kapal yang memiliki sonar sangat terbatas. Makanya ini menjadi penting memiliki fixed deep sonar ini," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Ali memastikan Presiden Prabowo tahu betul kebutuhan alutsista TNI AL saat ini. Karena itu, Prabowo juga ingin TNI AL punya SOSUS untuk mendukung ketahanan laut.
"Alhamdulillah bapak presiden sangat concern dengan alutsista angkatan laut dan beliau juga berkeinginan bahwa Indonesia harus memiliki SOSUS yang bisa mengawasi dari corong strategis yang kemungkinan besar dilintasi kapal selam atau bawah air baik itu man maupun unman," ucap dia.