Anggota Komisi I: Satelit Kemhan untuk Komunikasi Mabes TNI dengan Kodam-Kodim

16 Januari 2022 14:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Komisi I DPR Golkar, Dave Laksono. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Komisi I DPR Golkar, Dave Laksono. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Golkar yang membidangi pertahanan, Dave Akbarshah Fikarno atau Dave Laksono, bercerita soal polemik proyek satelit slot 123 derajat bujur timur di Kementerian Pertahanan pada 2015 yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah. Dave merupakan anggota DPR periode 2014-2019 atau saat proyek ini dibahas dengan DPR. Hingga kini, ia juga masih menjadi anggota Komisi I
ADVERTISEMENT
Ia menerangkan saat itu, Kemhan memang membutuhkan satelit sendiri untuk komunikasi pertahanan, khususnya antara Mabes TNI dan Kodim serta berbagai pangkalan militer di berbagai daerah.
“Ya ini dari periode pertama saya di Komisi I selalu jadi topik pembahasan. Saat itu kan pemerintah gagal bayar kontrak hampir Rp 1 triliun lebih. Cuma banyak pertimbangan, itu kan kita bukan beli. Nyewa slot satelitnya itu. Memang fungsi utamanya memang komunikasi pertahanan,” kata Dave saat dihubungi, Minggu (16/1).
“Kalau kita nyewa kan enggak sepenuhnya kontrol kita, kan riskan dilanjutkan. Tapi memang pada saat itu kebutuhannya real, untuk komunikasi pertahanan Mabes TNI dengan Kodam, Kodim, pangkalan-pangkalan tuh, enggak punya satelit sendiri, masih punya Telkomsel,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Meski mengakui adanya kebutuhan memiliki satelit sendiri, Dave membenarkan bahwa Kemhan terlalu melakukan kontrak penyewaan satelit sementara dengan Avianti Communications Ltd untuk mengisi slot tersebut. Akhirnya, negara justru rugi ratusan miliar rupiah.
“[Punya Telkomsel] itu berisiko adanya kebocoran komunikasi. Jadi kebutuhan memilikinya tuh ada. Tapi belum dianggarkan. Akhirnya tapi langsung dikontrakkan dengan pembelian slot," tuturnya.
Ilustrasi satelit di luar angkasa. Foto: Free-Photos via Pixabay
"Nah, prosesnya ini ada masalah sehingga dibatalkan, tapi sudah tanda tangan kontrak. [Saat] dituntut, ya kita dalam kondisi lemah. Ini kan kerugian negara kita harus bayar dendanya itulah berapa puluh juta pound,” ujar dia.
Sementara itu, Dave menjelaskan proyek satelit 123 derajat BT tak sempat dibahas mendetail di Komisi I. Menurut dia, kemungkinan proyek ini dibahas di satuan tiga atau pejabat setara eselon I di Kementerian.
ADVERTISEMENT
“Saya enggak inget proses awalnya. Waktu pengajuan di banggar saya enggak tahu persis [bagaimana] disepakati sehingga Kemhan berani tanda-tangan. Itu kan sudah ada pembayaran awal berapa juta kan,” jelas dia.
“DPR kan kita kan enggak sampai bahas di satuan tiga, kita bahas di satuan satu. Jadi mungkin waktu itu sudah masuk di direktorat jenderal mana. Kita enggak bahas detail untuk apa. Karena kan saat itu pembayarannya belum sampai ratusan miliar,” tambah dia.
Proyek tersebut justru baru dibawa ke Komisi I saat bermasalah. Ketika itu, pemerintah pun tak punya pilihan selain membayar denda yang dituntut oleh sejumlah perusahaan satelit seperti Avita.
“Sudah dirapatkan beberapa kali. Tapi pada saat dibahas di Komisi, seingat saya, kita sudah dalam posisi kalah di arbitrase sana. Jadi ya sudah tidak ada opsi lain kecuali melakukan pembayaran. Jadi kan pertanyaannya, kenapa begitu cepat Kemhan lakukan penyewaan?” papar dia.
ADVERTISEMENT
Sebab itu, Dave mendorong penuh upaya Kejaksaan Agung dalam menyelidiki proyek satelit slot 123 derajat BT. Ia meminta Kejagung mengusut dan mengedepankan transparansi hingga jelas titik temu permasalahan dan pihak yang harus bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut.
“Kalau ada indikasi korupsi yang menyebabkan kerugian, ya saya berharap itu bisa dikuak sampai jelas, sampai sejauh mana. Tetap kita asas praduga tak bersalah, tapi kita juga menuntut transparan. Sehingga ketahuan jelas titik permasalahannya di mana dan apa saja,” tandasnya.