Anggota Parlemen Israel Tuduh PM Yair Lapid Serang Gaza demi Menang Pemilu

8 Agustus 2022 15:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perdana Menteri Israel, Yair Lapid. Foto: Maya Allezuro/POOL/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Israel, Yair Lapid. Foto: Maya Allezuro/POOL/AFP
ADVERTISEMENT
Anggota Parlemen Israel, Sami Abu Shehadeh, mengecam operasi militer di Gaza pada Sabtu (6/8), lantaran menewaskan warga sipil Palestina demi menjamin kemenangan Perdana Menteri Sementara Israel, Yair Lapid.
ADVERTISEMENT
Israel mengeklaim melancarkan 'Operation Breaking Dawn' untuk mencegah serangan dari kelompok militan Jihad Islam Palestina (PIJ) pada Jumat (5/8). Kendati demikian, tidak semua orang mempercayai alasan tersebut.
Menurut Shehadeh, operasi itu hanyalah taktik politik yang dirancang oleh Lapid dan Menteri Pertahanan Israel, Benny Gantz.
"Agresi terbaru Israel di Gaza menunjukkan keinginan Lapid dan Gantz dan koalisi [pemerintahan] mereka untuk melakukan apa saja untuk tetap berkuasa, termasuk pembunuhan seorang gadis berusia lima tahun," tegas Shehadeh, dikutip dari Middle East Eye, Senin (8/8).
"Kejahatan perang baru ini adalah bagian dari kampanye pemilu yang tidak bermoral untuk menunjukkan bahwa mereka bisa sama kriminalnya dengan Benjamin Netanyahu," tambah dia.
Kepala oposisi Benjamin Netanyahu bereaksi setelah pemungutan suara untuk koalisi baru di Knesset, parlemen Israel, di Yerusalem, Minggu (13/6). Foto: Ronen Zvulun/REUTERS
Krisis politik berkepanjangan tengah melanda Israel. Keruntuhan koalisi kemudian mendorong pemerintah untuk mengadakan pemilihan umum kelima dalam empat tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Lapid lantas mengambil alih kepemimpinan sebelum pembentukan pemerintahan baru. Kini, dia diyakini berniat mengkonsolidasikan kekuasaannya menjelang pemilu pada 1 November.
Pria berusia 58 tahun tersebut harus menyingkirkan saingannya, mantan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Politikus nasionalis sayap kanan itu dikenal atas tindakan kerasnya.
Selama masa jabatannya, pemimpin oposisi tersebut menggencarkan tiga kampanye militer melawan Gaza. Sementara itu, Lapid merupakan mantan pembawa acara televisi. Tokoh berhaluan tengah tersebut tidak memiliki latar belakang mumpuni dalam militer.
Tepat lima pekan sejak menjabat, Lapid lalu menghadapi krisis keamanan pertamanya. Pertempuran itu dapat menjadi kesempatan bagi Lapid. Dia dapat membangun kredibilitas bila berhasil menunjukkan kecakapan dalam memberantas milisi di Gaza.
Sistem pertahanan udara Iron Dome Israel mencegat roket yang diluncurkan dari Jalur Gaza, di atas kota Sderot, Israel, Sabtu (6/8/2022). Foto: Jack Guez/AFP
Analis asal Palestina dan Israel meyakini kemungkinan tersebut. Mereka mengatakan, serangan Israel di wilayah yang terkepung itu tampak aneh dan terjadi tanpa alasan.
ADVERTISEMENT
"Satu kemungkinan adalah [Perdana Menteri Yair] Lapid ingin menetapkan posisinya sebagai perdana menteri 'kuat', kurang dari tiga bulan sebelum pemilihan umum, sementara blok [oposisi] Benjamin Netanyahu mendapatkan kekuatan dalam jajak pendapat," terang analis veteran Israel, Meron Rapoport.
Gempuran bermula ketika Israel menahan seorang komandan senior PIJ, Bassam al-Saadi. Pria berusia 62 tahun tersebut ditangkap di Kota Jenin di Tepi Barat yang diduduki.
Kelompok militan itu tidak kunjung mengambil tanggapan militer. Tetapi, Israel mengeklaim, PIJ berniat meluncurkan serangan balasan. Walau tidak membeberkan bukti, Israel tetap melanjutkan rentetan serangan udara pada Jumat (5/8).
Analis mencatat, Israel menghukum PIJ karena tidak merespons penangkapan al-Saadi. Akibatnya, Israel menewaskan sedikitnya 15 warga Palestina, termasuk anak perempuan berusia lima tahun.
Milisi Gerakan Jihad Islam di Jalur Gaza, Palestina. Foto: AFP/Mahmud Hams
Serangan itu turut merenggut nyawa seorang komandan PIJ, Taysir al-Jabari. Kelompok bersenjata itu baru mengerahkan kekuatan militer setelah didera serangan dari Israel. Menganggapnya sebagai deklarasi perang, PIJ lantas menembakkan ratusan roket ke Israel.
ADVERTISEMENT
"Mereka [Israel] menerima roket yang tampaknya tidak akan terjadi bila Israel tidak menyerang terlebih dahulu," kata Rapoport.
Analis memperkirakan, politikus Israel berusaha memoles citra mereka sebelum pemilu mendatang. Lapid harus memastikan operasi militernya berakhir dalam beberapa hari untuk memastikannya.
Demi mencapai 'prestasi' tersebut, dia harus menciptakan situasi serupa Operation Black Belt pada 2019. Saat itu, Israel bertempur dengan PIJ usai pembunuhan komandan senior Baha Abu al-Ata.
Konflik tersebut menyebabkan sejumlah korban sipil tanpa melukai orang Israel. Kedua pihak kemudian menyetujui gencatan senjata dalam 48 jam.
Tetapi, usaha itu hanya akan berhasil bila tidak ada campur tangan dari Hamas. Pasalnya, penguasa de facto di Gaza itu dapat memutarbalikkan situasi. Sehingga, pertempuran akan menyebabkan banyak korban sipil dan menyebar ke kota-kota lain di Israel.
Hamas. Foto: REUTERS/Mohammed Salem
Bersama Hamas, PIJ adalah salah satu dari dua kelompok utama Palestina di Jalur Gaza. Namun, Hamas mengalahkan kapasitas PIJ dalam persenjataan dan pejuang.
ADVERTISEMENT
Selama setahun terakhir, Israel lantas menekan Hamas agar tidak meningkatkan situasi di Gaza. Pemerintah mengurangi penutupan selama 15 tahun di Jalur Gaza, seperti mengeluarkan lebih dari 14.000 perizinan bagi warga setempat yang ingin bekerja di Israel.
Hingga gencatan senjata diumumkan pada Minggu (7/8), Hamas pun tidak terlibat dalam bentrokan antara PIJ dan Israel. Alhasil, gempuran teranyar tersebut relatif terkendali.
Kendati demikian, Palestina melaporkan hingga 44 korban jiwa. Setengah dari jumlah korban tersebut itu warga sipil.
Shehadeh menekankan, Lapid berupaya memenangkan pemilu dengan membunuh warga Palestina. Dia turut mengkritik masyarakat umum yang menurutnya telah kehilangan rasa kemanusiaan. Sebab, mereka mendukung tindakan Lapid.
"Mereka mencoba untuk membuka jalan kembali ke kekuasaan dengan mengorbankan darah Palestina," ujar Shehadeh, dikutip dari The Times of Israel.
ADVERTISEMENT