Anies: Kondisi Saat Ini Bukan Perubahan Iklim Tapi Krisis Iklim

24 Juni 2023 21:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bacapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan saat sambutan dalam acara Temu Kebangsaan Relawan Anies Baswedan di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Minggu (21/5/2023). Foto: Zamachsyari/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bacapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan saat sambutan dalam acara Temu Kebangsaan Relawan Anies Baswedan di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Minggu (21/5/2023). Foto: Zamachsyari/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bacapres Anies Baswedan menyinggung soal cuaca panas yang dirasakan masyarakat Jakarta selama beberapa bulan terakhir. Anies mengatakan, cuaca panas ini membuat masyarakat harus lebih banyak minum air putih, lebih sering berada di ruangan ber-AC, hingga lebih rutin menggunakan sunblock.
ADVERTISEMENT
"Tapi ada isu yang lebih besar daripada sekadar mencari ruang dingin, sekadar mencari sunblock, atau bahkan skincare. Kita sedang mengalami, Indonesia sedang mengalami yang disebut dengan krisis iklim," kata Anies dalam pidatonya yang disiarkan lewat video dalam acara Indonesia Net Zero Summit 2023 yang digelar oleh FPCI di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, Sabtu (24/6).
"Dan sudah saatnya kita dengan tegas menyebut kondisi saat ini bukan saja perubahan iklim atau climate change, tapi kita menyebutnya dengan krisis iklim atau climate crisis. Dampaknya tidak main-main," lanjutnya.
Menurut Anies, krisis iklim sudah berdampak pada daerah pesisir Indonesia. Ia mencontohkan di Muara Gembong, ada puluhan rumah yang tenggelam akibat abrasi.
"Juga di Karawang ke barat, lebih dari 100 kilometer dari sini ada ratusan rumah di Desa Semaraya yang hilang tergerus abrasi. Bahkan kalau kita bicara Nusantara, ada lebih dari 80 pulau garis depan kita yang berisiko tenggelam karena kenaikan permukaan air laut yang sangat cepat," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini, kata Anies, seperti Atlantis -- kota legendaris yang disebut tenggelam dan hilang dari peradaban. Ia mengatakan dalam situasi seperti ini, pemerintah dan pihak-pihak terkait harus melihat kembali program dan target yang sudah dicanangkan untuk mengatasi permasalahan iklim.
"Karena target tinggi tanpa ada regulasi eksekusi yang tepat lalu regulasi eksekusi satu sama lain tidak konsisten, kita akan sulit untuk mencapai target-target itu. Dan ini penting sekali untuk kita sadari bersama-sama konsistensi satu kebijakan dengan kebijakan yang lain. Lalu kalau kita bicara krisis iklim ini siapa sesungguhnya yang paling merasakan dampaknya?" ujarnya.
Anies mengatakan, yang paling merasakan dampak dari masalah iklim adalah masyarakat yang miskin dan rentan. Ia membayangkan masyarakat miskin dan rentan tidak bisa menikmati sejuknya AC karena cuaca yang panas, dan tidak bisa memakai sunblock untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari.
ADVERTISEMENT
"Jadi ketika kita bicara tentang krisis iklim, yang paling merasakan dampaknya adalah mereka yang miskin. Sama juga dengan desa-desa itu. Mereka yang makmur tinggal di daerah perkotaan yang nyaman. Bayangkan desa-desa yang berada di sisir pantai. Kondisi ekonominya lemah, terkena abrasi, tidak punya pilihan kecuali migrasi ke tempat keluarga ke tempat saudara," tuturnya.
"Ini kondisi yang kita hadapi. Karena itu ketika kita bicara memberikan alokasi anggaran negara untuk menghadapi krisis iklim ini harus dilihat secara komprehensif apa saja yang dibutuhkan, apa saja yang diberikan subsidinya atau alokasi anggaran dari negara," pungkasnya.