Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Sidang-sidang kasus dugaan korupsi terkait Djoko Tjandra sudah menjalani tahap vonis dari hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta. Yang terakhir divonis ialah Djoko Tjandra selaku pihak penyuap.
ADVERTISEMENT
Pemberi suap memang seringkali menjadi pihak yang terakhir diproses dibanding penerima suap. Untuk Djoko Tjandra, ia dihukum 4,5 tahun penjara. Ia dinilai terbukti menyuap sejumlah penegak hukum agar bisa lepas dari jeratan hukum kasus Bank Bali.
Namun vonis itu kemudian menjadi sorotan. Sebab, vonis Djoko Tjandra selaku penyuap lebih berat dibanding dua jenderal polisi yang jadi terdakwa penerima suap.
Dua jenderal polisi yang dimaksud ialah Brigjen Prasetijo Utomo yang divonis 3,5 tahun penjara dan Irjen Napoleon Bonaparte yang divonis 4 tahun. Prasetijo menerima putusan itu, sementara Napoleon mengajukan banding.
Hanya vonis Jaksa Pinangki yang jauh lebih berat. Yakni 10 tahun penjara.
Apa Saja Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Disuapnya?
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, maka perlu dilihat terlebih dahulu dakwaan yang terbukti menurut hakim.
ADVERTISEMENT
Ada dua dakwaan yang menjeratnya, yakni suap dan pemufakatan jahat. Hakim menilai Djoko Tjandra terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 juncto Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.
Secara terpisah di pengadilan lain, Djoko Tjandra dihukum 2,5 tahun penjara terkait kasus surat jalan palsu. Ia banding atas putusan itu.
Brigjen Prasetijo hanya dijerat dengan dakwaan penerima suap yang dinilai terbukti oleh hakim. Ia dinilai terbukti memenuhi unsur dalam Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
ADVERTISEMENT
Dalam perkaranya, ia dinilai terbukti menerima USD 100 ribu dari Djoko Tjandra.
Secara terpisah di persidangan lain, Brigjen Prasetijo juga terjerat kasus dugaan pemalsuan surat terkait Djoko Tjandra. Ia dihukum 3 tahun penjara atas perbuatannya dan sedang mengajukan banding.
Napoleon Bonaparte juga hanya dijerat dakwaan penerima suap. Hakim meyakini ia menerima USD 370 ribu dan SGD 200 ribu dari Djoko Tjandra.
Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Jaksa Pinangki dijerat dengan dakwaan berlapis, yakni suap, pemufakatan jahat, hingga pencucian uang.
ADVERTISEMENT
Ia dinilai menerima USD 500 ribu atau sekitar Rp 7,3 miliar dari Djoko Tjandra. Lalu, dinilai pencucian uang senilai USD 375.279 atau sekitar Rp 5.253.905.036. Serta bermufakat jahat bersama Djoko Tjandra menyuap pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung senilai USD 10 juta.
Ia dijerat Pasal 11 UU Tipikor, Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 15 jo Pasal 13 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tipikor. Atas vonis itu, ia mengajukan banding.
Vonis Anomali Djoko Tjandra
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai ada logika yang terbalik dalam vonis Djoko Tjandra dan dua jenderal polisi tersebut. Ia menilai konstruksi di UU tipikor sebenarnya dimaksudkan agar penyelenggara negara atau penegak hukum tak korupsi.
ADVERTISEMENT
Vonis tersebut menunjukkan bahwa hukuman Djoko Tjandra sebagai pihak pemberi suap lebih berat dibandingkan dengan 2 jenderal sebagai pihak penerima suap. Padahal, dalam UU Tipikor, penerima suap hukumannya bisa mencapai 20 tahun penjara, sementara pemberi suap maksimal hanya 5 tahun.
"Ya, ada logika yang terbalik, dalam UU tipikor penyuap (Pasal 5) ancaman hukumannya lebih rendah dari penerima suap (Pasal 12). Sangat mungkin ketentuan ini justru dimaksudkan agar para penyelenggara tidak berani menyalahgunakan jabatan dan kedudukannya yang salah satunya dengan menerima suap," kata Ficar kepada wartawan, Kamis (8/4).
Kendati demikian, ia menyebut banyak perkara serupa dengan putusan Djoko Tjandra tersebut. Terkait Djoko Tjandra, Ficar mempunyai dugaan soal vonis tersebut.
"Dalam konteks pemberantasan korupsi, hakim ingin menciptakan efek jera pada pelaku penyuapnya dengan menjatuhkan vonis lebih tinggi, bisa jadi dasar pikirannya adalah sangat mungkin para penyuap ini juga akan mendatangi dan menyuap hakim jaga, sehingga ada rasa kebencian," kata Ficar.
ADVERTISEMENT
Lalu, alasan lainnya bisa secara psikologis, di mana hakim merupakan sama-sama penegak hukum. Putusan macam ini dinilai sah-sah saja oleh Ficar, sebab masih dalam ambang minimal-maksimal dalam ancaman pidana di UU Tipikor.
Akan tetapi, kata dia, sebenarnya kunci keberhasilan dari pemberantasan korupsi adalah hukuman yang berat bagi penyelenggara negara sehingga memberikan efek jera terhadap perilaku korupsi. Hukuman berat kepada pemberi suap pun dinilai tetap perlu dilakukan.
"Penekanan disparitas hukuman yang lebih tinggi kepada penyelenggara negara justru menjadi kunci keberhasilan pemberantasan korupsi melalui pemidanaan di pengadilan. Justru nilai nilai itu yang seharusnya menjadi perhatian para hakim," kata dia.
Senada, pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan menilai, UU Tipikor sebenarnya memandang penerima suap sebagai pelanggaran yang lebih serius. Sehingga ancaman hukumannya pun dibuat maksimal.
ADVERTISEMENT
"Dengan ancaman yang lebih berat tentunya pembuat UU memandang penerima suap melakukan pelanggaran norma yang lebih serius. Sebagai pejabat negara maka tentunya yang bersangkutan telah juga mengingkari kepercayaan yang diberikan," kata Agustinus.
Agustinus mengatakan, pada umumnya vonis terhadap penerima suap lebih berat dibandingkan pemberi suap. Ia pun menyoroti perihal vonis yang dijatuhkan kepada dua jenderal tersebut.
"Mungkin hakim mempunyai pertimbangan yang meringankan untuk penerima suap dan ada pertimbangan yang memberatkan terhadap pemberi suap, seperti misalnya terkait dengan putusan tipikor sebelumnya dan (Djoko Tjandra) melarikan diri dari hukum (jadi buronan)," pungkas Agustinus