Anwar Usman Dkk Disebut Sengaja Belokkan Putusan MK soal Syarat Capres-Cawapres

2 November 2023 13:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman usai diperiksa Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait kasus dugaan pelanggaran etik di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman usai diperiksa Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait kasus dugaan pelanggaran etik di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Sidang pemeriksaan pelapor pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kembali berlanjut pada hari ini, Kamis (2/11). Terdapat lima pelapor yang hari ini diperiksa oleh MKMK di antaranya adalah Perhimpunan Pemuda Madani, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), BEM Unusia Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, dan Kantor Advokat Alamsyah Hanafiah.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Madani, Furqan Jurdi, sebagai salah satu pelapor menyebutkan bahwa ketiga hakim Mahkamah Konstitusi yakni Anwar Usman, Guntur Hamzah dan Manahan Sitompul, diduga dengan sengaja membelokkan putusan MK nomor 90 soal syarat capres-cawapres.
"Bahwa para hakim terlapor yaitu hakim terlapor satu Anwar Usman, hakim terlapor dua Guntur Hamzah, hakim terlapor tiga Manahan Sitompul diduga dengan sengaja dan sadar membelokkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 90 dengan mengabulkan permohonan pemohon sebagian dan menyatakan pasal 169 huruf q bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan menambah frasa 'atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Furqan.
ADVERTISEMENT
Menurut Furqan, penambahan frasa terkait norma tersebut bukanlah kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Penambahan tersebut juga tidak disepakati oleh mayoritas hakim.
"Penambahan norma tersebut selain bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi, penambahan juga tidak disepakati oleh mayoritas hakim. Putusannya selengkapnya berbunyi kami anggap bacakan 'padahal sebelumnya dalam perkara 29,51,55 mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi bersepakat untuk menyerahkan ketentuan pasal 169 huruf q kepada pembuat Undang-Undang yakni Presiden dan DPR karena pasal tersebut adalah open legal policy'," jelas Furqan.
"Namun dengan sangat manipulatif keputusan tersebut akhirnya dikabulkan hanya oleh 3 orang hakim yang menyatakan setuju terhadap keputusan a quo. Ketiganya ialah hakim konstitusi Anwar Usman selaku terlapor 1, hakim konstitusi Guntur Hamzah selaku terlapor 2, dan Marhan Sitompul selaku terlapor 3," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Menurut Furqan, meski sependapat, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan alasan berbeda alias Concurring Opinion dalam pertimbangan hukumnya yaitu berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur sebagai persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic pun menyampaikan Concurring Opinion yang sama dengan Enny.
"Dengan demikian kedua hakim tersebut menolak frasa yang disepakati oleh tiga hakim di atas, paling rendah 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih oleh pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah yang disetujui oleh hakim konstitusi terlapor," kata dia.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Enny Nurbaningsih saat sidang perdana pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstituai, Jakarta, Senin (30/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kemudian, Dissenting Opinion diucapkan oleh 4 hakim Mahkamah Konstitusi. Pertama, hakim Wahiduddin Adams yang mengucapkan seharusnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon.
Kedua, hakim Saldi Isra yang berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi seharusnya memutuskan bahwa ketentuan pasal 169 huruf q adalah kebijakan hukum terbuka dan harus dikembalikan ke Presiden dan DPR sebagai pembuat undang-undang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, hakim Arief Hidayat yang berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi menolak surat pembatalan pencabutan perkara dan menolak mengabulkan pencabutan perkara pemohon karena pemohon tidak serius dan bersungguh-sungguh mengajukan permohonan.
Keempat, hakim Suhartoyo yang berpendapat permohonan pemohon tidak dapat diterima.
"Dari format tersebut terlihat jelas putusan Nomor 90 tidak memenuhi kuorum. Dengan kata lain putusan a quo dengan frasa paling rendah 40 tahun atau pernah menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan Kepala Daerah diduga terjadi akibat adanya manipulasi dan penyelundupan hukum sehingga perkara a quo dikabulkan sebagian," tutur Furqan.
"Putusan tersebut baru dianggap kuorum apabila hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan hakim Daniel Yusmic dijadikan sebagai dasar untuk mengambil keputusan atau jadikan amar putusan," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Furqan, pengambilan keputusan perkara 90 tidak mencerminkan prinsip kesetaraan di antara para hakim Mahkamah Konstitusi.
Dalam petitumnya, Perhimpunan Pemuda Madani menuntut agar Anwar Usman diberhentikan dengan tidak hormat atau diberhentikan dari Ketua Mahkamah Konstitusi.
"Menjatuhkan hukuman kepada hakim terlapor 1 berupa pemberhentian dengan tidak terhormat dari hakim konstitusi atau setidaknya diberhentikan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi karena melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi," tegas Furqan.
Ia juga menuntut agar Guntur Hamzah dan Marhan Sitompul diberhentikan dengan tidak hormat dari Mahkamah Konstitusi.
"Menjatuhkan hukuman pemberhentian dengan tidak terhormat kepada hakim terlapor 2 karena diduga menyalahi asas independensi, asas integritas, asas ketidakberpihakan atau melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
"Menjatuhkan hukuman pemberhentian dengan tidak terhormat kepada hakim terlapor 3 karena diduga melanggar asas independensi, integritas dan ketidakberpihakan atau melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi," sambung dia.
Pihaknya juga menambahkan tuntutan baru yakni pembatalan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90.
"Dan kami tambahkan satu lagi yang mulia, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 batal demi hukum karena melanggar ketentuan pasal 17 ayat 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman," pungkas dia.