Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Anwar Usman Tak Ikut Putusan Terkait Kaesang, tapi Ikut Setujui Ubah UU Pilkada
21 Agustus 2024 10:27 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Ada dua putusan Mahkamah Konstitusi yang diketok pada Selasa (20/8) yang menjadi perhatian publik. Kedua putusan itu terkait UU Pilkada.
ADVERTISEMENT
Pertama, MK menolak gugatan UU Pilkada yang terkait syarat batas usia minimum calon kepala daerah. Gugatan itu ada kaitannya dengan Kaesang Pangarep. Meski gugatan itu ditolak, tapi MK kemudian menegaskan kapan berlakunya syarat tersebut.
Kedua, MK mengabulkan gugatan UU Pilkada yang terkait syarat parpol dalam mengusung calon kepala daerah. MK mengubah perhitungan parpol dalam mengusulkan calon kepala daerah.
Hakim Konstitusi Anwar Usman tidak ikut dalam memutus perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keponakannya, Kaesang Pangarep. Putusan tersebut berimbas Kaesang tidak bisa maju sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur pada Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 2024 karena usianya belum memenuhi syarat. Namun, untuk saat ini, Kaesang masih bisa ikut Pilkada untuk level bupati atau wali kota.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Anwar Usman ikut dalam memutus perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 soal penghitungan parpol untuk mengusung kepala daerah. Kini, pencalonan Pilkada acuannya yakni jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT), bukan kursi DPRD di setiap daerah.
Putusan Nomor 70
Putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait dengan batas umur calon kepala daerah (cakada). Awalnya aturan itu digugat Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fahrur Rozi, dan Mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee.
Gugatan ini tak terlepas dari adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon kepala daerah.
Bila merujuk pada aturan awal sebelum putusan MK, calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun saat ditetapkan sebagai pasangan calon.
ADVERTISEMENT
Kemudian setelah adanya putusan MA, syarat usia tersebut mulai berlaku ketika pelantikan. Jadi, mereka yang baru berusia 30 tahun pada saat pelantikan dilakukan, bisa mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Putusan itu kemudian dikaitkan dengan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep.
Kaesang lahir di Solo, 25 Desember 1994. Artinya, saat penetapan calon kepala daerah, usia Kaesang masih 29 tahun, belum memenuhi syarat. Tetapi jika saat pelantikan, dia sudah memenuhi syarat.
Penafsiran itu yang kemudian ditegaskan oleh MK. Bahwa syarat usia minimal calon kepala daerah adalah saat pencalonan, bukan pada saat pelantikan.
Dalam gugatan ini, para pemohon meminta agar Anwar Usman tak dilibatkan dalam memutus perkara. Karena Anwar Usman merupakan paman dari Kaesang.
ADVERTISEMENT
"Itu menyebabkan kedudukan Hakim Konstitusi Anwar Usman berada dalam konflik kepentingan dan benturan kepentingan sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 17 ayat (3), ayat (4), ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," kata pihak pemohon, Selasa (20/8).
Keberadaan Anwar Usman dalam pemeriksaan dan pengambilan putusan terhadap perkara tersebut dinilai bertentangan dengan salah satu Prinsip Ketakberpihakan sebagaimana diatur secara eksplisit dan ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama).
Khususnya pada penerapan angka 5 b, yang menyatakan:
Hakim Konstitusi—kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan—harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:
ADVERTISEMENT
a. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau
b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan. Bahwa Hakim Konstitusi Anwar Usman pernah diputus dalam Putusan MKMK 02/MKMK/L/11/2023, terbukti melanggar kode etik berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, yang salah satunya adalah prinsip Ketakberpihakan karena tidak mengundurkan diri dalam perkara proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan terhadap perkara uji materi yang memiliki tipologi yang sama dengan permohonan a quo, yaitu Nomor 90/PUUXXl/2023.
Pemohon menyebut, keberadaan Anwar Usman dalam pemeriksaan dan pengambilan putusan hanya akan menimbulkan satwa sangka dan kecurigaan dalam benak masyarakat luas.
Hal itu karena melanggar prinsip nemojudexin causa sua sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (3), ayat (4), ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan diatur juga dalam Prinsip Ketakberpihakan Penerapan angka 5 b, Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama), yang pada akhirnya juga akan berdampak pada rusaknya wibawa dan marwah MK.
ADVERTISEMENT
"Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, Pemohon mengajukan hak ingkar terhadap Hakim Konstitusi Anwar Usman dan meminta dengan hormat agar Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan kesadaran diri memundurkan diri atau tidak diikutsertakan dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusan terhadap perkara a quo," demikian keterangan MK.
Dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, Anwar Usman menyatakan tidak akan ikut memutus permohonan tersebut.
"Mahkamah dalam Persidangan Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda perbaikan permohonan tanggal 25 Juli 2024 menyampaikan bahwa dalam Rapat Permusyawaratan Hakim sebelumnya yang berkaitan dengan isu persyaratan usia minimum calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu pada tanggal 17 Juli 2024 telah mendengar langsung dari Hakim Konstitusi Anwar Usman untuk tidak akan ikut memutus permohonan yang berkaitan dengan syarat usia dimaksud. Hal demikian disampaikan Mahkamah agar semua pihak tidak menaruh rasa curiga terhadap proses pemeriksaan perkara berkenaan dengan norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016. Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan para Pemohon ihwal hak ingkar Hakim Konstitusi Anwar Usman dimaksud menjadi tidak relevan lagi dipertimbangkan sehingga harus pula dinyatakan tidak beralasan menurut hukum," kata hakim MK.
Putusan Nomor 60
Sementara, Anwar Usman ikut memutus dalam perkara nomor 60 soal penghitungan parpol untuk mengusung kepala daerah. Gugatan ini diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.
ADVERTISEMENT
Aturan mengenai hal tersebut termuat dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 atau UU Pilkada.
Dalam aturan lama, perhitungan mengacu pada jumlah kursi DPRD di daerah yang terkait. Kini, MK mengubah aturan tersebut. Acuannya kini kepada jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk calon independen atau perseorangan.
MK mengeluarkan keputusan tersebut dengan pertimbangan aturan sebelumnya membatasi pemenuhan hak konstitusional dari partai politik yang telah mendapat suara sah tapi tidak memiliki kursi di DPRD. Akibatnya, mengurangi nilai pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
"Sebab, suara sah hasil pemilu menjadi hilang karena tidak dapat digunakan oleh partai politik untuk menyalurkan aspirasinya memperjuangkan hak-haknya melalui bakal calon kepala daerah yang akan diusungnya," kata Hakim MK.
ADVERTISEMENT
MK menyebut bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis. Salah satunya dengan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon.
"Sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal yang jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat," ujar Hakim MK.
Putusan ini juga yang membuka peluang partai-partai kecil, atau partai yang ditinggal koalisi oleh partai lain macam PDIP di Jakarta, bisa mencalonkan calon sendiri.
Terkait putusan ini, Anwar Usman turut menjadi hakim konstitusi yang mengabulkan. Hal tersebut diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Sembilan Hakim Konstitusi.
ADVERTISEMENT
"Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Anwar Usman, M. Guntur Hamzah, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, Arsul Sani, dan Ridwan Mansyur, masing-masing sebagai Anggota," demikian dikutip dari putusan MK.