Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Dalam rangka Hari Pers Nasional 2021 yang jatuh pada 9 Februari 2021, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengangkat tantangan pers masa kini. Ia menunjuk buzzer sebagai pihak yang jadi musuh pers.
ADVERTISEMENT
"Musuh terbesar dunia pers saat ini, khususnya pers online melalui jalur media sosial, ialah para buzzer yang minim tanggung jawab kebangsaan, etika cover both sides, dan keadaban mulia," kata Haedar dalam publikasi di situs Muhammadiyah, Rabu (10/2).
Pernyataan dari Muhammadiyah ini berselang sehari setelah Presiden Jokowi menyatakan masyarakat turut aktif mengkritik pemerintahannya. Setelahnya, sejumlah pihak malah khawatir terhadap buzzer yang acapkali menjadi benteng kritik yang dialamatkan ke pemerintah.
Ramainya wacana mengenai buzzer di jagat medsos Indonesia bukan kali pertama terjadi. Menarik garis 2 tahun ke belakang, pada 2019 isu adanya 'Buzzer Istana' dan 'Kakak Pembina' para buzzer muncul. Namun, pihak istana sendiri menyebut tak lagi memerlukan buzzer.
"Ya justru itu buzzer ini kan muncul karena perjuangan apa itu menjaga marwah pemimpinnya. Tetapi sekali lagi bahwa dalam situasi ini bahwa relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran," kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
ADVERTISEMENT
Mengenal Buzzer
Istilah buzzer berasal dari bahasa Inggris yang berarti lonceng, bel, atau alarm. Dalam Oxford Dictionaries, buzzer berarti perangkat elektronik yang menghasilkan suara berdengung sebagai sinyal.
Centre for Innovation Policy and Governance (2017) mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
Dengan definisi tersebut CIPG memberi 4 karakteristik pada buzzer:
Awalnya, buzzer digunakan di dunia marketing atau branding sebuah produk. Bahkan ada istilah buzz marketing yang merupakan teknik pemasaran suatu produk atau jasa untuk menghasilkan bisnis melalui informasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth).
ADVERTISEMENT
"Adapun ‘mulut’ yang ‘dipinjam’ untuk memasarkan produk atau jasa adalah ‘mulut’ orang-orang yang penting, populer atau memiliki pengaruh. Pesan yang disampaikan oleh orang-orang berpengaruh ini membuat produk atau jasa tertentu menjadi dikenal publik secara luas," tulis peneliti Kominfo, Rieka Mustika, dalam artikel yang diterbitkan di Jurnal Diakom (2019).
Dalam perjalanannya, terdapat pergeseran penggunaan jasa buzzer. Baik CIPG maupun Rieka melihat tahun 2012 sebagai awal keterlibatan buzzer dalam peristiwa politik. Saat itu, buzzer digunakan pada Pilgub DKI Jakarta.
"(Setelahnya) buzzer dimanfaatkan secara luas dalam dunia politik ketika adanya Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 dan jasa buzzer mulai dilirik oleh aktor-aktor politik," tulis riset Rieka berjudul "Pergeseran Peran Buzzer ke Dunia Politik di Media Sosial" itu.
ADVERTISEMENT
Pola rekrutmen buzzer juga beragam. Mulai dari scouting melalui seleksi berjenjang dan pendekatan langsung hingga pembukaan lowongan pekerjaan sebagai buzzer.
Strategi Buzzer
Menurut CIPG, ada 3 strategi yang digunakan buzzer untuk mengamplifikasikan pesan. Pertama, dia bisa berkicau di Twitter menggunakan tagar untuk untuk membangun percakapan.
Kedua, buzzer juga bisa membuat atau memanfaatkan situs berita untuk meningkatan kredibilitas konten. Terakhir, buzzer dapat memanfaatkan jaringan tertentu dan aplikasi chat seperti WA atau Telegram untuk menyebarkan konten.
Tak hanya riset CIPG, pada 2019 Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford juga merilis riset tentang penggunaan buzzer di dunia. Riset itu berjudul "The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation".
ADVERTISEMENT
Bradshaw dan Howard menemukan fakta bahwa politikus, partai politik, dan kontraktor swasta di Indonesia terlibat dalam manipulasi media sosial lewat aktivitas pasukan siber (buzzer). Mereka menjelma di berbagai organisasi untuk menyebarkan ide, agenda politik, hingga membentuk opini publik.
Fakta lain yang diungkap dalam riset itu, Indonesia merupakan 1 dari 45 negara yang partai politiknya teridentifikasi menggunakan propaganda komputasional selama pemilihan umum. Menurut riset tersebut, akun palsu digunakan oleh para pasukan siber untuk menyebarkan propaganda itu.
Ada tiga kategori akun palsu yakni bot, manusia, dan cyborg. Di Indonesia, akun bot dan manusia digunakan, sedangkan cyborg yang merupakan gabungan bot dan kurasi manusia tak ditemukan.
“Bot adalah akun yang sangat otomatis didesain untuk meniru perilaku manusia secara online. Mereka kerap digunakan untuk memperkuat narasi atau menghilangkan perbedaan pendapat politik,” terang Bradshaw dan Howard.
ADVERTISEMENT
Cara yang digunakan para pasukan siber tersebut di antaranya menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik, menyerang oposisi dan menyebarkan kampanye kotor, serta mendorong perpecahan dan polarisasi.
Sementara, penyebaran disinformasi, manipulasi media, serta mengamplifikasi tagar juga digunakan sebagai strategi komunikasi para buzzer. Mereka menggunakan meme, video, portal berita hoaks atau media yang dimanipulasi untuk membuat para pengguna medsos salah paham akan suatu hal.
ADVERTISEMENT
Ancam Demokrasi
Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Komunikasi Universitas Indonesia, menyebut buzzer berbahaya apabila sampai digunakan oleh negara otoritarian. Di rezim otoriter, media sosial dapat digunakan untuk menekan perbedaan dalam opini publik demi melanggengkan kekuasaannya.
“Kebebasan berekspresi juga terancam karena pendapat yang berlawanan dengan pemerintah diserang balik dengan disinformasi dan akun media sosialnya diretas dan disebar,” tulis Whisnu yang terbit di The Conversation.
Dengan adanya buzzer Whisnu melihat teknologi digital yang seyogianya digunakan untuk emansipasi praktik berdemokrasi justru mendegradasi. Ia bisa menciptakan polarisasi dan perpecahan publik dengan.
“Hal ini membuat publik kehilangan kerangka acuan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, terutama terkait pemilihan pemimpin dan pengawasan kebijakan publik,” paparnya.
ADVERTISEMENT