Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Apa itu Mubahalah, Sumpah yang Diucapkan Habib Rizieq?
30 Mei 2017 13:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Kasus pornografi yang menyeret nama Imam Besar FPI, Habib Rizieq Syihab menuai banyak respons. Tak terlepas dari diri Habib Rizieq sendiri, berkali-kali ia menegaskan bahwa semua yang dituduhkan padanya merupakan kebohongan dan fitnah semata.
ADVERTISEMENT
Pun dengan kuasa hukum Habib Rizieq, Eggi Sudjana menegaskan bahwa kliennya tidak melakukan seperti yang dituduhkan melakukan chat dengan Firza Husein.
Habib Rizieq pun sudah melakukan sumpah mubahalah.
"Bahkan sudah bersumpah mubahalah, itu dalam Islam sudah sangat keras. Itu kalau Habib Rizieq bohong dia akan dilaknat oleh Allah tapi siapa yang menuduh zhabib Rizieq maka dialah yang dilaknat. Azab Allah sangat pedih," tegas Eggi di kediaman Habib Rizieq di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Senin (29/5).
Terkait mubahalah yang dikabarkan telah dilakukan oleh Habib Rizieq, muncul pertanyaan soal boleh apa tidak dan bagaimana syarat untuk melakukan sumpah mubahalah.
Dirangkum dari berbagai sumber, mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang bermakna kutukan atau melaknat.
ADVERTISEMENT
Mubahalah secara sederhana diartikan sebagai saling melaknat. Pengertiannya adalah dua orang saling melaknat yang disaksikan oleh orang banyak untuk meyakinkan pendapatnya benar, sementara pendapat lawan salah.
Dasar hukum Islam soal mubahalah ini salah satunya terdapat dalam Al-Quran tepatnya di surat Ali Imran ayat 61 yang memiliki arti sebagai berikut:
“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali ‘Imran [3]: 61).
Adapun sebab turunnya ayat ini, bahwa utusan orang nashrani dari Najran ketika mereka mendatangi Madinah mereka mendebat tentang masalah Nabi Isa AS. Mereka mengklaim sebagaimana keyakinan mereka bahwa Isa adalah seorang Nabi dan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Keyakinan yang bathil tersebut terbantahkan setelah kehadiran Nabi SAW dan menjelaskan kepada mereka yang sebenarnya dengan bukti-bukti yang nyata, bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya.
Maka Allah memerintahkan untuk bermubahalah dengan mereka.
Sedangkan, dalam kitab Zad al-ma'ad, Ibnu al-Qayyim menjelaskan, mubahalah disunahkan ketika beragumentasi dan berdebat dengan kelompok batil atau orang-orang sesat. Apabila mereka tetap tidak mau kembali kepada kebenaran dan tetap keras kepala meskipun sudah dijelaskan tentang kebenaran dan hujah-hujahnya.
Menurut para ulama, ayat ini erat dengan kisah 60 orang utusan dari suku Najran yang beragama Nasrani mendatangi Nabi Muhammad. Ketua dari suku itu melakukan debat panjang dengan Rasulullah terkait tentang ketuhanan, kenabian dan Nabi Isa.
Dalil-dalil Illahi yang diajukan Nabi selalu ditentang sehingga Nabi kemudian mengajak dilakukan mubahalah sesuai dengan perintah Allah. Namun kaum Nasrani tersebut menolak ajakan itu
ADVERTISEMENT
Mubahalah baru dibolehkan dalam perkara yang memang sangat penting. Para ulama menyatakan mubahalah dengan sesama muslim sebaiknya dihindari. Dalam bermubahalah, para ulama memberi syarat sebagai berikut :
Namun, tidak dianjurkan kepada seorang Muslim untuk ber-mubahalah setiap berbeda pendapat dengan orang atau kelompok lain. Karena, sebagaimana yang ditegaskan di atas, mubahalah itu bertujuan untuk membuktikan kebenaran yang jelas kebenarannya dan mematahkan kesesatan dan kebatilan yang jelas kebatilannya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara syarat dibolehkannya mubahalah adalah: