Apa Sih Sulitnya Redenominasi Rupiah?

20 Juli 2017 16:49 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Uang Rupiah (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Uang Rupiah (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Rencana penyederhanaan mata uang rupiah atau redenominasi kembali mencuat setelah ada dukungan dari DPR untuk memasukkannya sebagai salah satu program legislasi nasional (proglenas) 2017. Perlu diketahui, redenominasi adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, uang Rp 1.000 setelah diredenominasi menjadi Rp 1. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Lantas apa sulitnya meredenominasi rupiah?
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono menilai, ada banyak faktor yang harus diperhatikan pemerintah sebelum meredenominasi rupiah. Yang pertama adalah menyangkut kondisi ekonomi saat ini. Selain itu faktor lain yang harus diperhatikan adalah inflasi dan cadangan devisa yang dimiliki Indonesia. Sehingga dia menegaskan redenominasi bukan hanya memotong 3 digit nol pada uang rupiah tetapi lebih dari itu.
"Ya memang akan membuat kredibilitas rupiah naik, karena memotong 3 angka dari Rp 13.000 per dolar bisa jadi Rp 13. Tapi rupiah juga harus dijaga daya saingnya. Karena kalau terlalu kuat, nanti jatuhnya produk kita jadi mahal di pasar internasional," kata Tony saat ditemui di Kantor Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (20/7).
ADVERTISEMENT
Untuk itu, dia menyarankan kepada pemerintah Indonesia agar mencontoh negara lain yang sukses melakukan redenominasi pada mata uang yang digunakannya, misalnya negara Turki. Pada tahun 2005, Turki mengurangi 6 angka nol. Redenominasi yang dilakukan Turki saat itu adalah mengubah 1.000.000 lira menjadi 1 lira.
"Bedanya Turki dengan Indonesia, dia hanya satu daratan sedangkan kita kepulauan, banyak yang di remote areas, level of education, income juga beda. Tapi, Turki sukses dengan pariwisata, sehingga cadangan devisanya meningkat. Ini kan semacam penahan atau bumper untuk redenominasi," papar Tony.
Uang rupiah desain baru yang diterbitkan BI (Foto:  Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Uang rupiah desain baru yang diterbitkan BI (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Menurut Komisaris Independen Bank Permata ini, memang tidak mudah melakukan sosialisasi yang menyeluruh jika redenominasi jadi terlaksana. Namun, Indonesia bisa mencontoh Turki melalui penguatan pariwisata, yang tentunya akan mengerek jumlah cadangan devisa.
ADVERTISEMENT
"Turki itu hebat lho, wisatawan mancanegaranya bisa 30 juta setahun. Kita sekarang masih 11-12 juta. Nah Presiden Jokowi kan target bisa 20 juta sebelum masa jabatannya habis di 2019," kata Tony.
Komisaris Independen Bank Permata  (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Komisaris Independen Bank Permata (Foto: Edy Sofyan/kumparan)
Oleh karena itu, Tony menilai, rupiah harus kuat jika memang mau meredenominasi. Pemerintah juga perlu menyiapkan penahan atau bumper-nya yaitu cadangan devisa.
Saat ini dia menilai, cadangan devisa yang dimiliki Indonesia sudah bagus yaitu 123 miliar dolar AS. Tapi yang ideal menurut dia harusnya 150 dolar AS baru dikatakan kuat. Karena bila cadangan devisa tidak kuat maka rupiah bisa dihajar spekulan dan melemahkan nilainya.
"Rupiah harus kuat jika memang mau redenominasi. Dan penahan atau bumper-nya ini cadangan devisa. Saat ini sudah bagus di Rp 123 triliun, tapi menurut saya harus minimal Rp 150 triliun baru kuat. Karena kalau tidak kuat, rupiah bisa dihajar spekulan," sebutnya.
ADVERTISEMENT