Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Apa yang Harus Kita Lakukan Kalau Jadi Korban Deepfake?
21 Februari 2025 10:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Seiring berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (AI), produksi konten deepfake pun semakin mudah. Deepfake merujuk pada manipulasi audio, foto, atau video yang dapat mengubah atau meniru suara, wajah, maupun tubuh seseorang.
ADVERTISEMENT
Meski tujuannya beragam, deepfake sering kali digunakan untuk kepentingan tertentu, yang pada akhirnya merugikan seseorang. Mulai dari scam atau penipuan hingga pornografi.
Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), kasus deepfake atau morphing di Indonesia sepanjang 2024 mencapai 40 kasus. Naik signifikan dari tahun sebelumnya yang ada di angka belasan. Kasus deepfake yang dicatat SAFEnet mengacu pada kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Lantas, Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat Bila Jadi Korban Deepfake?
Lapor ke Polisi
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Trunoyudo menyebut langkah pertama yang dapat dilakukan korban adalah dengan mengumpulkan barang bukti. Lalu, melakukan autentitikasi ke sumber penyebar konten atau dapat melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
ADVERTISEMENT
“Langkah awal bisa melaporkan ke platform di mana konten itu ditayangkan. Karena Sebagian besar platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, memiliki kebijakan terhadap konten deepfake. Laporkan agar segera dihapus,” tulis Trunoyodo kepada kumparan, Selasa (18/02).
Jika konten deepfake digunakan untuk pencemaran nama baik, lanjut Trunoyudo, dapat langsung dilaporkan ke polisi dengan dengan membawa bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh korban.
“Jika deepfake digunakan untuk fitnah, pemerasan, atau pencemaran nama baik, segera laporkan ke polisi lewat Direktorat Siber Polri dengan membawa bukti-bukti seperti bukti transfer jika ada, rekam layer percakapan platform pesan singkat seperti Whatsapp dan sebagainya,” lanjut Trunoyudo.
Ancaman 12 Tahun Penjara
Polri mengacu pada peraturan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta KUHP. Setidaknya ada empat pasal yang bisa didapatkan oleh terduga pelaku.
ADVERTISEMENT
“Terduga pelaku bisa dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun penjara atau denda maksimal Rp750 juta, pasal 310 & 311 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun penjara atau denda maksimal Rp750 juta,” ujar Turnoyudo.
“Juga bisa dijerat dengan Pasal Penyebaran Berita Bohong atau Hoaks sesuai Pasal 28 ayat (1) UU ITE di mana ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara atau denda maksimal Rp1 miliar. Bisa juga dikenakan Pasal Pemalsuan atau Manipulasi Data sesuai Pasal 35 UU ITE dengan Ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara atau denda maksimal Rp12 miliar,” lanjutnya.
Untuk menangani kasus terkait deepfake, Polri terus berkoordinasi dan berkolaborasi dengan Komdigi untuk terus menindak akun-akun penyebar deepfake. Polri mengupayakan teknologi Scientific Crime Investigation dan teknologi alat forensik digital.
ADVERTISEMENT
“Teknologi deepfake semakin canggih. Beberapa deepfake sulit dideteksi dengan mata telanjang. Untuk itu, Polri dengan upaya Scientific Crime Investigation dan teknologi seperti alat forensik digital,” jelas Trunoyudo.
Trunoyudo lalu mengajak masyarakat untuk tidak terpengaruh terhadap sesuatu yang belum dapat dipastikan kebenarannya.
“Kami mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya terhadap video atau informasi yang mengatasnamakan pejabat negara, terutama jika meminta transfer uang. Pastikan informasi diverifikasi melalui kanal resmi pemerintah,” tutupnya.
Reporter: Aliya R Putri