Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Apakah Direksi BUMN Bisa Dipidana Korupsi karena Keputusan Bisnis yang Diambil?
10 Oktober 2024 15:26 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Apakah direksi atau komisaris BUMN bisa dipidana korupsi karena keputusan bisnis atau corporate action yang diambil? Pertanyaan ini mengemuka sekarang ini.
ADVERTISEMENT
Lebih lagi ada uji materi (judicial review) terhadap UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Alasan uji materi yang dilakukan karena pasal ini memiliki tafsiran luas dalam aspek kerugian negara dan menjerat direksi serta komisaris BUMN, termasuk dalam melakukan corporate action.
"Di beberapa perkara, ini jadi diskusi di praktisi dan akademisi begitu ya, di beberapa perkara yang menggunakan pasal 2 soal kerugian keuangan negara," kata praktisi hukum Febri Diansyah dalam diskusi yang digelar LITERASI Indonesia dan INTRINSICS di Dago, Bandung, Kamis (10/10).
Hadir dalam diskusi ini juga mantan Kepala PPATK Yunus Husein serta beberapa ahli lainnya.
ADVERTISEMENT
Febri lalu menerangkan, di beberapa kasus, seorang direksi atau pejabat BUMN, ada yang dihukum karena dianggap tidak hati-hati, tidak cermat, serta tidak melakukan pengecekan dalam corporate action.
"Kalau direksi kan enggak mungkin baca seluruh berkas ya, itu pasti. Enggak mungkin baca seluruh berkas pengadaan itu dari awal, enggak mungkin. Makanya ada mekanisme berjenjang paraf. Dari legal sudah paraf, dari compliance sudah paraf, dari unit teknis sudah paraf, maka direksi kemudian membaca itu dan yakin bahwa anggotanya berjalan dengan benar gitu ya," beber Febri.
Febri sendiri menegaskan, seorang direksi BUMN, ketika melihat unit-unit di bawahnya sudah melakukan semua sesuai prosedur kemudian dia melakukan tanda tangan persetujuan, semestinya tidak bisa dipidana apabila belakangan ada kerugian dalam corporate action itu.
ADVERTISEMENT
"Maksudnya begini, seorang direksi itu mengira yang dia lakukan itu sudah benar. Bagaimana membuktikan mengira dia sudah melakukan dengan benar? Sudah ada approval dari bagian legal bahwa ini sudah sesuai dengan prosedur, dan dia sudah baca itu, dan direksi itu tidak mendapatkan informasi yang lain, yang disembunyikan. Tapi kalau terbukti ada informasi lain yang disembunyikan itu lain hal, itu persekongkolan ya," urai dia.
Dalam perkara hukum, ujar Febri, direksi atau pejabat BUMN tersebut bisa menggunakan defense itu, bahwa dia sudah beritikad baik, memerintahkan anggotanya, menyuruh anggotanya untuk melakukan review dan segala macam, dan hasilnya sudah cukup baik.
Febri melanjutkan, kemudian prosedur pengambilan keputusan sudah dilakukan, misalnya harus persetujuan komisaris, komisaris semua sudah setuju, dan semua persyaratan sudah dipenuhi semua.
ADVERTISEMENT
"Kemudian direksi itu tanda tangan dan ternyata di kemudian hari dia nggak tahu ada anggotanya yang main belakang. Bukan berarti anggotanya yang main belakang kemudian terjadi kerugian, maka direksi juga harus tanggung jawab, enggak," ujarnya.
Karena itu, ujar Febri, Itu yang tadi disebut siapa yang melakukan, dia yang bertanggung jawab. Makanya ketika ada review terkait dengan sebuah persoalan, yang pertama kali harus direview adalah dari mana dan di mana ranah tugas dan fungsi dari direksi itu. Itu yang harus dipastikan terlebih dahulu.
Tapi kata Febri, lain soal apabila direksi ini ikut terlibat cawe-cawe dalam sebuah corporate action.
Dalam menyebut adanya korupsi yang dilakukan direksi yang mengambil keputusan, tegas Febri, tidak bisa hanya dengan bilang ada kerugian negara pasti ada korupsi.
ADVERTISEMENT
"Ada actus reus itu physical action-nya. Jadi perbuatan real yang dilakukan pembentukan unsur-unsur deliknya, mensrea, state of mind-nya, apa yang ada dalam pikiran, niat jahat dari seorang pelaku tersebut. Jadi semuanya harus terpenuhi," ujar dia.
"Enggak bisa cukup, oh ada kerugian negara pasti korupsi, itu jauh banget Bapak dan Ibu. Ada unsur-unsur lain yang harus dipenuhi, ada juga aspek kesalahan yang harus dipenuhi," urai dia.
Aspek Pidana dalam Perkara
Febri melanjutkan, untuk dapat dipidana, salah satu syaratnya adalah semua unsur ini terbukti. Salah satu saja tidak terbukti Bebas.
"Lalu setelah semua unsur ini terbukti cukupkah seseorang kemudian bisa langsung dipidana? Enggak cukup ternyata, ada hal kedua yang juga harus dibuktikan yakni kesalahannya. Mungkin bapak dan ibu pernah dengar istilah mens rea, niat jahat," urai dia.
ADVERTISEMENT
Febri lalu menyoroti soal mens rea, perlu dilihat apakah seseorang punya niat jahat dalam mengambil keputusan.
"Kalau anda sebagai direksi Anda mengambil keputusan Tapi ketika Anda mengambil keputusan itu Anda tahu itu salah, mengetahui, Anda tahu itu salah tapi masih diambil keputusan tersebut maka itu memenuhi salah satu poin dari kesengajaan yaitu aspek pengetahuan," urai dia.
Kemudian juga ada teori kehendak, selain dari aspek pengetahuan.
"Teorinya dua ya teori pengetahuan dan teori kehendak. Di teori kehendak gimana? Anda direksi, Anda mengambil keputusan, Anda memang punya kehendak sejak awal untuk memperkaya diri sendiri," ujar dia.
Jadi kata Febri, apabila direksinya salah tetap harus diproses. Namun, apabila dalam proses corporate action sudah memenuhi business judgement rule, maka semestinya tak bisa diproses hukum.
ADVERTISEMENT
Febri menuturkan, apabila dalam mengambil keputusan sudah benar-benar mempertimbangkan berbagai hal, dan direksi itu tidak melanggar aturan, maka sudah sewajarnya harus diberikan impunitas.
Febri menggarisbawahi sejumlah syarat sebuah corporate action memenuhi business judgement rule.
"Tidak ada konflik kepentingan, jadi pengambilan keputusan itu bukan karena dia punya kepentingan pribadi, tapi perusahaan. Kalau BUMN kan ujungnya kepentingan publik yang luas," ujar Febri.
"Itikad baik. Itikad baik itu ada beberapa indikator dia sudah menilai sejak awal mengkaji sejak awal rencana proyek itu. Kan enggak putusan tiba-tiba. Proyek besar putusan tiba-tiba, uang negara digunakan sangat banyak itu kan teledor. Jadi kalau sudah dikaji lebih dulu, dilihat potensi rugi potensi untung, dan lain-lain, itu mestinya dihargai ya secara hukum," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Kata Febri, apabila keputusan bisnis sudah memenuhi syarat business judgement rule, sudah menerapkan good corporate government, maka isunya lebih pada kerugian pada bisnis sebagai bagian dari risiko.
"Apa itu berarti direksi lepas tangan? Engga juga. Cuma pertanggungjawabannya berbeda, bukan pidana, lebih ke perkara kinerja, atau ranah perdata," tutup dia.
Live Update