Apakah Kata 'Stampede' Sesuai untuk Menggambarkan Peristiwa Kanjuruhan?

7 Oktober 2022 16:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pegiat HAM bersama mahasiswa menggelar aksi kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (6/10/2022). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pegiat HAM bersama mahasiswa menggelar aksi kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (6/10/2022). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Mata dunia tengah tertuju pada kejadian yang terjadi seusai laga Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10). Peristiwa yang menewaskan 131 orang itu hingga kini menjadi tajuk utama media-media dunia.
ADVERTISEMENT
Ada yang menarik dari pemberitaan media-media asing mengenai tragedi di Kanjuruhan. Mayoritas media berbahasa Inggris memutuskan menggunakan diksi 'stampede' untuk menggambarkan tragedi di Kanjuruhan itu.
Reuters merilis berita berjudul 'Indonesia soccer stampede kills 125 after police use tear gas in stadium'. 'Stampede' juga muncul dalam judul-judul berita oleh New York Times, Bloomberg, Al Jazeera, dan Politico.
Menariknya, kata benda 'stampede' dalam konteks ini tidak memiliki ekuivalensi atau padanan dalam bahasa Indonesia. Lantas, kata apakah stampede adalah kata yang tepat digunakan untuk mewakili apa yang terjadi di Kanjuruhan?

Komponen Makna

Ivan Lanin, pegiat Bahasa Indonesia. Foto: Instagram/@ivanlanin
Bahasa Inggris mengambil 'stampede' dari 'estampida' dalam bahasa Spanyol. Oxford Learner’s Dictionaries mendefinisikannya sebagai "situasi di mana sekelompok orang atau hewan besar tiba-tiba mulai berlari ke arah yang sama, terutama karena mereka ketakutan."
ADVERTISEMENT
Disadur dari Merriam Webster, bahasa Inggris pertama kali mengadopsi kata benda 'stampede' pada 1828 untuk menggambarkan kawanan ternak yang panik sehingga melarikan diri.
Kata seperti 'kerusuhan' maupun 'insiden' tidak melukiskan penggambaran eksplisit seperti 'stampede'.
Aparat kepolisian menembakkan proyektil di antaranya diduga gas air mata ke arah tribun 11-13 Stadion Kanjuruhan. Foto: Dok. RCBFM Malang
Menurut Ivan, 'stampede' memiliki komponen makna 'injak- menginjak', kerusuhan yang disebabkan oleh 'kepanikan', dan menyebabkan 'korban'. Seluruh komponen ini mencerminkan fakta di lapangan. Sehingga, 'stampede' tepat digunakan untuk apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.
Ada aksi 'melarikan diri' dan 'menginjak' dalam 'stampede'. Berbicara perihal penyebab, 'stampede' juga mengindikasikan adanya pemicu. 'Kawanan' yang merasa 'panik' sehingga 'melarikan diri'. Apa yang membuat kerumunan 'panik' sampai melarikan diri dan akhirnya 'saling menginjak'?
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk lapangan usai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022). Foto: Ari Bowo Sucipto/ANTARA FOTO
'Massa' dan 'kekacauan' melekat sebagai komponen makna 'kerusuhan'. Keduanya memang ada saat kejadian di Stadion Kanjuruhan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan 'tragedi' menggambarkan sesuatu yang menyedihkan. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa peristiwa Kanjuruhan menyebabkan duka mendalam.
'Kerusuhan', 'tragedi', dan 'insiden' sayangnya tidak memiliki komponen makna yang mengindikasikan aksi maupun aktor. Misalnya saja, kerusuhan bisa melibatkan perampokan alih-alih penginjakan. Pun keduanya tidak menekankan komponen makna utama: kepanikan.
"Komponen makna kata 'kerusuhan' itu melibatkan orang banyak, melibatkan kekacauan. Tidak ada komponen makna penyebabnya apa," terang Ivan saat dihubungi kumparan pada Kamis (6/10).
"Tragedi itu sesuatu yang menyedihkan. Kalau mengambil dari definisi ini, kejadian ini menyedihkan. Kemudian apa yang menyebabkan kesedihan tersebut? Ini yang menjadi masalah," tambah penulis buku Recehan Bahasa: Baku Tak Mesti Kaku ini.
Sejumlah suporter klub sepak bola berkumpul saat doa bersama tragedi Kanjuruhan di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Selasa (4/10/2022) malam. Foto: Andreas Fitri Atmoko/ANTARA FOTO
'Stampede' menggambarkan aksi secara akurat, serta mengisyaratkan adanya aktor. Pemilihan kata 'kerusuhan' dan 'insiden' seolah mengizinkan ambiguitas dan mengecilkan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT

Keterbasan Bahasa Indonesia

Media massa Indonesia mungkin berusaha lebih berhati-hati dalam memberitakan apa yang terjadi di Kanjuruhan. Tetapi, Ivan Lanin menggarisbawahi keterbatasan dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia belum memiliki hiponim atau kata yang bermakna spesifik untuk jenis insiden seperti yang terjadi di Kanjuruhan. Dengan demikian, pemilihan istilah-istilah tertentu oleh media setempat tidak selalu berarti adanya kesengajaan.
"Ini memang sesuatu yang nyata dan sebuah fenomena budaya jadinya. Menurut saya, ini terjadi karena kita belum punya kata yang spesifik. Jadi ini bukan sebuah peristiwa yang disengaja," jelas Ivan.
Walau begitu, apakah 'stampede' sebagai 'insiden saling injak' bahkan mewakili apa yang terjadi di Kanjuruhan? Media asing menggambarkan situasi seperti yang terjadi di Kanjuruhan sebagai 'stampede', namun ada juga media yang lebih memilih istilah yang bisa jadi lebih tepat, yaitu 'crush' atau 'crowd collapse'.
Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Foto: Putri/AFP
Crowd collapse merujuk pada bencana yang dapat terjadi dengan adanya situasi penuh sesak. Istilah 'crowd collapse' menegaskan bahwa bencana ini tanpa terkecuali adalah produk dari kesalahan organisasi, sehingga bisa dicegah dengan strategi manajemen kerumunan.
ADVERTISEMENT
Sebagian media asing berbahasa Inggris memilih menuliskan 'crush' dalam pemberitaan tentang situasi di Kanjuruhan. Judul BBC dan CNN menggunakan istilah 'stadium crush' tanpa menyebutkan subjek.
Sementara itu, The Washington Post membingkai judul mereka dengan lebih eksplisit, 'How police action in Indonesia led to a deadly crush in the soccer stadium' yang berarti 'Bagaimana tindakan polisi di Indonesia menyebabkan crush mematikan di stadion sepak bola'.