Apakah Klaim Kemenangan 54 Persen Prabowo Melalui Cherry Picking?

16 Mei 2019 11:18 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto memberikan pidato dalam acara "Mengungkapkan Fakta-fakta Kecurangan Pilpres 2019". Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto memberikan pidato dalam acara "Mengungkapkan Fakta-fakta Kecurangan Pilpres 2019". Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Klaim kemenangan Prabowo-Sandi yang diumumkan Badan Pemenangan Nasional (BPN) menuai polemik. Sebabnya, persentase data masuk C1 yang jadi klaim kemenangan itu baru 54,91 persen. Apakah itu valid atau sebenarnya memakai teori cherry picking?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dalam klaim tersebut, baru 444.976 C1 yang terhitung dari keseluruhan 813.350 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia. Meski data yang masuk baru mencapai setengahnya, BPN yakin hasilnya tak akan berbeda saat data masuk sudah 100 persen.
Rilis data BPN dalam acara pemaparan fakta-fakta kecurangan Pemilu 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Berdasarkan C1 yang dimiliki BPN, Prabowo - Sandi memperoleh 54,24 persen suara. Sedangkan, pasangan Jokowi - Ma’ruf memperoleh 44,14 persen. Ada suara tidak sah sebesar 1,62 persen.
“Data tanpa kecurangan yang kita miliki pada pukul 12.00 WIB hari ini, posisi kita 54,24 persen (48 juta suara), Jokowi 44,24 persen (39 juta suara). Posisi ini diambil dari total TPS 51 persen lebih,” kata Anggota BPN, Laode Masihu, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa, (14/5).
ADVERTISEMENT
Klaim BPN itu berbeda dengan hasil Sistem Penghitungan Suara (Situng) KPU. Pada Rabu (15/5) pukul 22.15 WIB, data C1 masuk sudah mencapai 83,72 persen. Dengan data masuk C1 yang lebih banyak dari BPN, Jokowi-Ma’ruf unggul dengan perolehan 56,23 persen suara, sedangkan Prabowo-Sandi memperoleh 43,77 persen suara.
Suasana acara pemaparan fakta-fakta kecurangan Pemilu 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Klaim kemenangan itu pun dipertanyakan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya. Yunarto menilai, data masuk yang baru 54,91 persen tidak bisa dijadikan kesimpulan Prabowo menang.
"Seharusnya kalau hanya setengah dari jumlah TPS, menurut saya, belum bisa disimpulkan. Itu data bukan yang bisa menyimpulkan. Apa lagi sampai kesimpulan data lain salah," kata Yunarto, Selasa (14/5).
Lantas, mungkinkah Prabowo-Sandi menang?
Yunarto yang juga merupakan Sekjen Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) menganggap ekspose data yang dilakukan BPN hanya jargon. Sebab menurutnya, kegiatan itu lebih dominan sebagai acara orasi politik.
ADVERTISEMENT
"Banyak data yang dibuka setengah-setengah dan dibungkus orasi politik sehingga sulit dibaca secara akademis. Contoh hari pertama 62 persen real count, exit poll 55 persen, quick count 52 persen, selisihnya kok jauh-jauh semua. Jangan-jangan pas 100 persen mirip data situng KPU," ucap Yunarto
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya saat melaporkan sejumlah akun dan pembuatan chat palsu di Bareskrim Polri. Foto: Raga Imam/kumparan
Pernyataan Yunarto itu mengingatkan publik bahwa di balik data C1 masuk sebesar 54,91 persen yang ditunjukkan BPN, masih ada data C1 45,09 persen lainnya yang belum ditunjukkan. Tentu butuh waktu bagi BPN untuk merampungkan hasil penghitungan C1 agar bisa selesai.
Meski demikian, dalam jumpa pers di Hotel Grand Sahid Jaya, Laode tak merinci apakah BPN akan melakukan jumpa pers lagi atau tidak bila ada update data C1. Dia juga tak menjelaskan apakah pihaknya akan terus menghitung suara C1 hingga 100 persen. Yang jelas, dia optimistis bahwa Prabowo-Sandi akan menjadi presiden.
ADVERTISEMENT
“Bagi ahli statistik angka ini (Prabowo-Sandi 54,24 persen) sudah valid dan angka ini hanya bisa berubah kalau betul-betul dirampok. Dan ini yang perlu kita jaga,” kata Laode.
Rilis data BPN dalam acara pemaparan fakta-fakta kecurangan Pemilu 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Di atas kertas, jika KPU, saksi Jokowi, dan saksi Prabowo, merekap seluruh C1 yang tersebar di 813.350 TPS, hasilnya pasti hanya akan ada satu pemenang, dengan jumlah suara dan persentase yang sama. Tidak mungkin tidak.
Maka, kumparan mencoba menghitung suara Prabowo-Sandi dengan bermodalkan 444.976 C1. Angka itu merupakan jumlah C1 yang sama dengan yang dirilis BPN sebagai bukti kemenangan Prabowo. Penghitungan ini dilakukan untuk menguji, apakah mungkin dengan jumlah C1 yang sama, Prabowo-Sandi benar-benar dapat mengungguli Jokowi-Ma’ruf.
Untuk menghitungnya, kumparan meminjam data C1 yang di-input kawalpemilu. Kumparan mengambil data C1 yang telah diunggah per Kamis, 9 Mei 2019 pukul 07.00 WIB. Pada saat itu, ada 575.850 C1 yang telah terunggah. Data tersebut dapat kamu lihat di sini
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kumparan mengambil 444.976 dari 575.850 C1 tersebut. Lantaran C1 itu tersebar di berbagai macam TPS, kumparan akhirnya menggunakan cara ‘cherry picking’. Cambridge Dictionary mendefinisikan, cherry picking sebagai cara memilih yang terbaik di antara satu kelompok (to pick only the best people or things from a group).
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Dengan cara seperti itu, kumparan hanya memilih C1 yang rasio suara Prabowo-Sandi tinggi di setiap TPS. Daftarnya lalu disusun dari angka terbesar ke yang terkecil. Artinya, jika ada satu TPS rasio suara Prabowo-Sandi lebih tinggi, akan ditempatkan lebih di atas. Datanya akan berurut hingga menyentuh 444.976 baris.
Meski demikian, rasio suara Prabowo-Sandi yang tinggi bukan berarti pasangan tersebut harus menang di 444.976 TPS. Itu karena, akan ada satu titik manakala Prabowo-Sandi kalah terhadap Jokowi-Ma’ruf di sejumlah TPS. Namun kekalahan tersebut memiliki selisih yang tipis.
ADVERTISEMENT
Setelah dijumlahkan, kumparan mencatat bahwa suara Prabowo-Sandi mencapai 54,21 persen (45.894.180 suara). Sementara itu, suara Jokowi-Ma’ruf memperoleh 45,79 persen (38.772.723 suara). Ini bisa terjadi lantaran C1 yang masuk memang dipilih berdasarkan lumbung TPS Prabowo-Sandi yang rasio kemenangannya tinggi.
Paslon nomor urut 02, Prabowo-Sandi mengangkat tangan saat mendeklarasikan kemenangannya di kediaman Kertanegara. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Sampai di sini, klaim kemenangan Prabowo-Sandi sebesar 54,24 persen tampak tak jauh beda dengan hitungan yang kumparan lakukan. Sejauh cara memilah datanya melalui cherry picking, maka data 54,91 persen suara masuk bisa diterjemahkan sebagai kemenangan Prabowo-Sandi. Meski tentu saja, itu hanya dapat dilakukan dengan mengambil TPS yang rasio kemenangannya tinggi.
Menariknya, cara yang sama pun sebetulnya bisa diterapkan terhadap Jokowi-Ma’ruf. Dengan cherry picking, suara Jokowi-Ma’ruf pun kemungkinan besar bisa terkatrol kala data C1 masuk ada di angka 444.976 C1.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, ada yang jauh lebih menarik ketimbang menghitung suara Jokowi-Ma’ruf di angka 54,91 persen. Yakni, bagaimana nasib 130.874 C1 sisa sisa yang belum terhitung di Prabowo-Sandi?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penghitungan kumparan, jika skenarionya ada pada C1 sisa, maka suara Jokowi-Ma’ruf akan tembus 89,91 persen. Sementara itu, Prabowo-Sandi 10,09 persen. Itu karena, rasio suara Jokowi-Ma’ruf yang tinggi memang berada di C1 sisa, akibat tersisih dari cherry picking untuk Prabowo-Sandi sebelumnya.
Cherry Picking dan Perkara Persebaran Data
Dalam filsafat, istilah cherry picking menggambarkan seseorang yang berargumen dengan bersandar pada data yang tidak lengkap. Sederhananya, ada data yang disembunyikan agar argumennya tampak meyakinkan. Cherry picking lalu diklasifikasikan sebagai kesesatan dalam berlogika.
Ilustrasi Filsuf di Yunani. Foto: Dok. NYPL Digital Collections
Di Yunani, pada abad ke-5 SM, seorang filsuf bernama Diagoras menunjukkan bagaimana cherry picking itu terjadi. Kala itu, Diagoras mempertanyakan klaim sebagian orang yang meyakini bahwa para dewa itu mahabaik
ADVERTISEMENT
“Kamu pikir para dewa tidak peduli dengan manusia? Kamu bisa menyaksikan bahwa para dewa mahabaik melalui seluruh foto di sini. Bahwa ada berapa banyak orang yang selamat dari badai laut dengan berdoa kepada para dewa,” kata seseorang kepada Diagoras.
Diagoras lantas menjawab, "Ya, itu benar. Tetapi di mana foto orang-orang yang mengalami kecelakaan kapal dan tewas kala badai ombak terjadi?”
Dalam ilmu statistika, praktik cherry picking jelas merupakan tindakan yang keliru. Janice M. Morse dalam “Cherry Picking”: Writing From Thin Data, memaparkan bahwa cherry picking tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Lebih dari itu, seseorang yang melakukan chery picking hanya akan ‘mengarahkan’ analisis.
Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) melakukan rekapitulasi surat suara di tingkat Kecamatan di GOR Kelapa Gading. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Alih-alih cherry picking, ilmu statistika menawarkan sampling yang ketat untuk menyimpulkan sesuatu. Hal inilah yang kemudian diterapkan sejumlah lembaga survei kala menyelenggarakan quick count.
ADVERTISEMENT
Sampling merupakan metode statistik mengambil beberapa contoh dari populasi yang ingin diteliti. Sederhananya, kita tidak butuh meminum satu gelas teh untuk membuktikan bahwa teh itu manis atau tidak. Satu sendok teh sudah lebih dari cukup. Yang terpenting, teh dalam gelas itu teraduk secara merata.
Maka, sejumlah lembaga survei menggunakan random sampling, systematic sampling, hingga cluster sampling. Kala quick count dihelat, sejumlah lembaga survei mengambil sampel sekitar 2000-4000 TPS.
Meski demikian, sebaran data juga menjadi salah satu faktor penting dalam sampling. Jika jumlah sampel banyak tapi hanya terpusat di satu daerah saja, bisa saja tidak mewakilkan kondisi seluruh Indonesia.
Surat suara yang sudah dicoblos, dimasukan ke dalam kotak suara pada simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2019 di halaman Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/3). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Pada Pemilu 2014 lalu, hasil quick count Litbang Kompas misalnya, menunjukkan Prabowo-Hatta memperoleh 47,66 persen, sedangkan Jokowi-JK memperoleh 52,33 persen. Kala itu, sampel Litbang Kompas mencapai 2.000 TPS.
ADVERTISEMENT
Sekitar satu bulan setelahnya, hasil resmi KPU menunjukkan bahwa Jokowi-JK memperoleh 53,15 persen, sedangkan Prabowo-Hatta 46,85 persen. Angka yang dihasilkan lembaga survei tersebut tak jauh berbeda dengan hasil penghitungan resmi.
Bagaimana pendapatmu?