Apakah Lie Detector Akurat? Ini Sejarah dan Cara Kerjanya

7 September 2022 8:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi lie detector atau pendeteksi kebohongan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lie detector atau pendeteksi kebohongan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Polri akhirnya memutuskan menggunakan lie detector dalam pemeriksaan tersangka kasus pembunuhan Brigadir Yosua pada Selasa (6/9) dan Rabu (7/9). Hal ini menjadi upaya dari pihak kepolisian untuk menguji kebenaran informasi selama pemeriksaan terhadap Richard Eliezer, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal, hingga Ferdy Sambo berlangsung.
ADVERTISEMENT
Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian juga meyakini bahwa pemeriksaan dengan menggunakan lie detector dapat menguji tingkat kejujuran tersangka.
“Rencananya seperti itu (pemeriksaan Ferdy Sambo menggunakan lie detector),” ungkapnya saat dikonfirmasi, Selasa (6/9).
“Hanya untuk menguji tingkat kejujuran tersangka dalam memberikan keterangan,” sambungnya.
Lantas, apakah lie detector benar-benar efektif untuk mengungkapkan sebuah kasus kejahatan? Bagaimana sejarah di balik penemuan metode ini?

Sejarah Penggunaan Metode Lie Detector

Teknologi lie detector merupakan sebuah program komputer yang biasanya digunakan untuk membantu pihak kepolisian dalam mencari informasi atau keterangan dari pelaku kejahatan. Metode pendeteksian kebohongan ini awalnya pertama kali dilakukan di China pada tahun 1000 SM.
Saat itu, teknologi jelas belum berkembang. Penggunaan metode pendeteksi kebohongan ini masih dilakukan secara manual dengan memanfaatkan reaksi biologis dari manusia.
ADVERTISEMENT
Nantinya, tersangka harus mengisi mulut mereka dengan beras selama proses tanya jawab berlangsung. Ketika proses selesai, beras tersebut akan diperiksa, apakah beras masih dalam keadaan kering atau tidak. Jika beras menunjukkan keadaan sebaliknya, maka bisa dikatakan tersangka telah melakukan bentuk kebohongan.
Bukan tanpa alasan, kesimpulan tersebut didapat mereka lantaran merujuk pada keadaan psikologis manusia yang menyatakan ketika seseorang dalam keadaan gugup atau takut, terjadi penurunan produksi air liur. Saat beras dalam mulut tersebut masih dalam kondisi kering, hal itu lah yang mengindikasikan seseorang tengah merasakan tingkat kegugupan yang cukup tinggi.
Asumsi itu juga dikuatkan oleh Lombroso di akhir abad ke-19. Selain dibuktikan dengan metode ‘old school’ ala China, Lombroso juga melakukan metode pengukuran volume darah ketika melakukan proses kesaksian terhadap pelaku kejahatan.
Ilustrasi lie detector atau pendeteksi kebohongan. Foto: Shutterstock
Seiring berkembangnya teknologi, lie detector atau biasa dikenal juga dengan mesin polygraph kembali dikembangkan oleh James Mackenzie pada tahun 1902. Kebutuhan tersebut dimanfaatkaan untuk studi sirkulasi yang dibuat oleh Cambridge dan Paul Instrumen dari perusahaan Inggris. Hasil pemeriksaan polygraph tersebut akan menghasilkan deteksi psychophysiological.
ADVERTISEMENT
Untuk meningkatkan akurasi yang semakin tinggi dari lie detector, tahun 1921 John Larson seorang mahasiswa University of California menciptakan alat pendeteksi kebohongan yang lebih modern. Dari berbagai jenis instrumen, John Larson menggunakan Sphygmomanometer erlanger.
Instrumen ini mengukur tekanan darah secara manual, kemudian diubah untuk menghasilkan rekaman permanen dari tekanan darah dengan cara menggunakan drum dan kymograph. Nantinya kymograph akan mencatat atau melukiskan variasi tekanan atau gerakan, seperti gerak gelombang denyut nadi dan tekanan darah.
Selang 3 tahun tepatnya pada 1924, Leonarde Keeler membuat instrumen lie detector yang semakin maju. Ia menyebut instrumennya itu sebagai Emotograph. Emotograph merupakan instrumen pelengkap dengan membangun penanda yang secara otomatis menangkap data dan informasi melalui sensor pada tubuh untuk mengukur denyut nadi, kulit, suhu hingga konduktivitas listrik.
ADVERTISEMENT
Hasil penemuan Leonarde Keeler kemudian dimodifikasi oleh Chester W. Darrow dari Institute for Juvenile Research. Modifikasi Larson disebut Cardio Pneumo Psikografi dengan menambahkan sebuah galvanometer.
Instrumen galvanometer ini nantinya akan mencatat elektroda di telapak tangan dan punggung, catatan tekanan darah dan catatan pneumographic tersebut akan merekam kekuatan gerakan pada dada. Sementara, elektroda nantinya dipasangkan di bagian kepala dan dikaitkan dengan kabel pada komputer, lalu komputer akan merekam aktivitas elektrik otak di layar.

Seberapa Akuratkah Lie Detector?

Ilustrasi lie detector atau pendeteksi kebohongan. Foto: Shutterstock
Namun belakangan juga muncul kekhawatiran mengenai tingkat akurasi metode dari lie detector. Seringkali teknologi ini diragukan, karena kemungkinan-kemungkinan seperti alat ini rentan hanya sebagai penipu bagi penggunanya sendiri. Tak heran berbagai penelitian terus dilakukan terkait pengembangan sistem poligraf yang teknologinya makin tinggi.
ADVERTISEMENT
Seorang ahli forensik psikologi, Dr Sophie van der Zee, menyampaikan bahwa poligraf memang bekerja dengan cara mengukur efek tidak langsung dari munculnya kebohongan. Keakuratan lie detector ini tidak dapat dinyatakan benar 100 persen, lantaran sistem tersebut hanya memetakan ciri-ciri kebohongan yang bisa dilihat dari sisi biologis dan psikologis manusia.
Sejauh ini sistem bernama EyeDetect yang ada pada lie detector disebut memiliki keakuratan lebih tinggi dibandingkan dengan sistem lainnya. EyeDetect berasal dari perusahaan Converus yang berbasis di Utah, Amerika Serikat.
Sistem tersebut berfokus pada gerakan mata yang tidak disengaja. Tujuannya untuk mendeteksi kebohongan melalui pengamatan respons dari sasarannya dengan mengikuti pergerakan bola mata.
Perusahaan Converus mengklaim sistem perangkat lunak pelacak mata miliknya itu akurat hingga 86 sampai 88 persen. Setidaknya, sistem mereka disebut sudah digunakan oleh lebih dari 600 pelanggan di 50 negara, termasuk lebih dari 65 lembaga penegak hukum AS dan hampir 100 negara di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri baru mengenal alat pendeteksi kebohongan atau lie detector ini pada tahun 1994. Keberadaan alat tersebut menjadi salah satu mekanisme legal yang digunakan di Kepolisian RI sebagai upaya dalam mengungkapkan sebuah kasus kejahatan.
Hingga saat ini belum ada informasi akurat mengenai sistem pada lie detector apa yang digunakan oleh pihak Kepolisian. Namun, cara kerjanya disebut mengandalkan respons fisik tubuh manusia yang terjadi pada umumnya, mulai dari tekanan darah, denyut jantung, penambahan keringat, hingga helaan napas.
Reporter: Trivosa Ginting