Apakah Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor Perlu Dihapus? Ini Pendapat Prof Romli

14 November 2024 17:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
romli atmasasmita di kpk Foto: Iqra Ardini/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
romli atmasasmita di kpk Foto: Iqra Ardini/kumparan
ADVERTISEMENT
Pasal 2 dan 3 UU Tipikor seringkali menjadi perdebatan karena dipandang rawan menjadi alat kriminalisasi. Kedua pasal itu mengatur soal pidana terkait kasus korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah Pasal 2 dan 3 UU Tipikor itu perlu dihapus atau direvisi?
Guru Besar Unpad Prof Romli Atmasasmita bercerita awal mula terbentuknya UU Tipikor. Ia merupakan salah satu anggota dalam tim perumus UU tersebut.
"Tadinya terpikir dengan UU baru tersebut apalagi KPK kita dirikan sama-sama itu semuanya beres, korupsinya hilang. Kenyataannya setelah 25 tahun itu UU Tipikor, itu korupsi makin banyak, yang terlibat makin banyak, bukan hanya eselon yang paling bawah, menteri, hanya presiden saja belum," kata Romli dalam seminar Lembaga Kajian Keilmuan FHUI bersama Katadata Insight Center bertajuk ‘Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi’ di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11).
Acara Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11/2024). Foto: Alya Zahra/kumparan
Romli mengaku selalu memantau perkembangan bagaimana pelaksanaan UU Tipikor tersebut. Ada dua pasal yang menjadi sorotannya.
ADVERTISEMENT
"Yang paling parah, Pasal 2 dan 3 yang tadinya merupakan senjata pamungkas," ucap dia.
Berikut bunyi kedua pasal tersebut:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
ADVERTISEMENT
Menurut Romli, pasal itu mengatur soal unsur kerugian negara karena memang perekonomian negara Indonesia sempat parah. Seperti banyaknya tindak penyelundupan.
Sementara, dengan aturan yang kala itu berlaku, penegak hukum harus membuktikan penyelewengan itu termasuk kejahatan atau pelanggaran. Sebelum masuk ke ranah korupsi. Lantaran adanya kesulitan teknis tersebut, maka kemudian diatur soal unsur kerugian keuangan negara.
Romli pun mengaku pernah menjadi instruktur Hakim Tipikor. Menurut dia, banyak Hakim yang masih belum paham mengenai kedua pasal tersebut.
Bahkan, menurut Romli, masih ada perbedaan penafsiran di kalangan Hakim tingkat Mahkamah Agung.
"Kalau gini masalahnya dua, Pasal 2 dan 3 dibuang begitu saja, hapus, hanya [menyisakan pasal] suap saja. Kembalikan ke KUHP yang lama," ujar Romli.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Romli mengakui bahwa penghapusan pasal merupakan langkah yang tidak populer. Oleh karenanya, cukup dilakukan revisi.
"Kalau misalnya kita cut Pasal 2-3, akan menimbulkan masalah dan menjadi bumerang kepada Presiden Prabowo. Kan Beliau juga ingin menerima dukungan rakyat, tapi kalau dihapus balik lagi juga ke Beliau juga dan kawan-kawan, makanya saya usulkan revisi," pungkas Romli.