Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Apical Wujudkan Sustainable Aviation Fuel, Menuju Penerbangan Ramah Lingkungan
29 Februari 2024 7:00 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 1 Juli 2024 16:11 WIB
Proyek dengan fasilitas senilai 1,2 miliar euro atau sekitar Rp 20,2 triliun (kurs Rp 16.910,38) di Spanyol tersebut merupakan kerja sama Apical dengan perusahaan minyak dan gas multinasional Spanyol, Cepsa.
Pabrik yang berlokasi di Huelva, Spanyol ini dijadwalkan mulai berproduksi pada 2026 dan akan menghasilkan 500 ribu ton sustainable aviation fuel (SAF) dan renewable diesel per tahunnya. Jumlah tersebut, menurut Apical, setara dengan jumlah bahan bakar yang cukup untuk jet agar dapat terbang mengelilingi planet sebanyak 1.300 kali.
Pabrik SAF ini diharapkan bisa mencegah emisi CO2 sebesar 3 juta ton per tahunnya. Angka tersebut setara dengan pengurangan emisi lebih dari 600 ribu kendaraan berpenumpang keluar dari jalan raya tiap tahunnya.
Direktur Eksekutif Apical Pratheepan Karunagaran menjelaskan, akses terhadap bahan baku berkelanjutan masih menjadi tantangan di banyak negara. Menurutnya, seiring dengan berkembangnya jaringan global Apical, ketersediaan limbah dan sisa minyak goreng juga terus tumbuh.
“Hal ini memungkinkan kemitraan yang dapat memaksimalkan nilai tambah, agar limbah kami dapat membantu produksi dan penggunaan SAF. Pabrik biofuel 2G kami dengan Cepsa, yang akan jadi fasilitas pengolahan bahan bakar penerbangan terbesar di selatan Eropa. Ini adalah contoh yang sangat baik bagaimana pemain industri dapat bersatu untuk memaksimalkan potensi SAF,” jelas Karunagaran.
Senada dengan Karunagaran, CEO Cepsa Maarten Wetselaar menyebut proyek ini menjadi benchmark atau tolok ukur di Eropa dalam bidang molekul hijau sekaligus memfasilitasi dekarbonasi dari industri penerbangan.
“Ini merupakan awal dari babak baru untuk Cepsa dan wilayah ini yang akan membuka lapangan kerja serta era baru industrialisasi,” ujar Wetselaar.
Pabrik baru Apical ini memiliki dampak lingkungan yang lebih minim. Fasilitas dilengkapi dengan 100% penggunaan listrik terbarukan, konsumsi hidrogen terbarukan, serta sistem efisiensi energi. Hal ini membuat pabrik mengeluarkan CO2 lebih sedikit daripada pabrik biofuel tradisional.
Pabrik juga tak menggunakan air bersih, melainkan hanya memakai air yang direklamasi. Selain itu, pabrik biofuel 2G ini diperkaya dengan kecerdasan buatan, termasuk Internet of Things (IoT).
Sebagai pengolah minyak nabati terintegrasi global yang besar, Apical akan menyediakan limbah dan residu untuk digunakan sebagai bahan baku yang dikelola pabrik SAF ini.
Sementara, Cepsa akan berkontribusi pada keahlian dan pengalaman teknisnya dalam pengembangan proyek industri besar dan produksi bahan bakar, serta pengetahuan pasar Eropa dan tujuan dekarbonisasi pelanggannya di sektor transportasi.
Selain mengatasi masalah lingkungan, pabrik SAF ini juga diyakini dapat mengatasi masalah lapangan pekerjaan. Menurut Wetselaar, bakal ada 2.000 lapangan pekerjaan yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung.
“Langkah pertama ini adalah langkah besar, namun ini hanyalah permulaan; masih banyak lagi pencapaian yang sedang diraih sehingga bersama-sama kita dapat membangun masa depan yang berkelanjutan dan terdekarbonisasi untuk semua orang,” kata dia.
Biofuel, Solusi Ubah Minyak Jelantah Jadi BBM Pesawat
Industri penerbangan dikenal memicu emisi karbon tinggi, terlebih jika mengangkut penumpang yang lebih sedikit.
Koalisi Langit Bersih untuk Masa Depan, sebuah badan kerja di bawah World Economic Forum (WEF) menyebut, dalam sekali terbang selama beberapa jam, pesawat jet mampu menghasilkan emisi yang jauh lebih besar dibandingkan rata-rata emisi yang dihasilkan penduduk di 56 negara berbeda.
Data WEF juga menunjukkan emisi karbon dari industri penerbangan terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2018, emisi karbon mencapai 1,4 miliar ton CO2. Angka ini naik sebanyak 5 persen per tahun sejak 2010.
Nah, sustainable aviation fuel (SAF) diklaim ramah lingkungan karena dibuat dari bahan baku nabati atau hewani, bukan fosil. Hal ini membuat SAF dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 80 persen, dibandingkan dengan penggunaan avtur.
Bahan pembuat SAF bisa dari minyak jelantah yang merupakan minyak kelapa sawit, seperti yang dilakukan Apical. Saat ini, peraturan di industri penerbangan baru mengizinkan campuran SAF maksimal 50 persen dalam bioavtur. Namun, riset kini sedang dijalankan agar bisa menggunakan 100 persen SAF pada 2030.
Menurut WEF, penggunaan SAF baru mencapai 0,1 persen dari total konsumsi bahan bakar penerbangan dunia. Hambatannya adalah karena biaya produksinya yang lebih mahal.
Sejumlah negara pun mendukung penggunaan SAF. Korea Selatan sudah menyatakan komitmennya untuk menggunakan marine biofuel pada 2025 dan SAF pada 2026. Sama seperti Korea Selatan, Jepang turut menyatakan komitmennya menggunakan SAF, salah satunya dilakukan oleh lini penerbangan ANA Group.
Sementara negara tetangga, Singapura, berencana menggunakan SAF untuk seluruh penerbangan dari negara tersebut sebesar 1% mulai 2026 dan meningkat menjadi 3-5% pada 2030, tergantung pada perkembangan global dan ketersediaan serta penerapan SAF yang lebih luas.
Singapura melihat penggunaan SAF merupakan langkah penting untuk dekarbonisasi penerbangan dan diharapkan dapat berkontribusi sekitar 65% pengurangan emisi karbon yang diperlukan untuk mencapai net zero pada 2050.
Bagaimana dengan Indonesia? Bioenergi, termasuk biofuel, memegang peran penting dalam usaha Indonesia untuk mencapai zero emission.
Per 2023, target emisi sudah mencapai 30 persen dan bioenergi merupakan kontributor utama dalam mencapai target tersebut. Indonesia kini juga telah mengembangankan penggunaan energi terbarukan berbahan kelapa sawit untuk jadi bioavtur.
Sementara itu, General Manager Green Energy Apical Group Aika Yuri Winata menyatakan, pentingnya peran perusahaan dalam memperkenalkan pengembangan minyak nabati kepada dunia.
Dia menjelaskan, untuk mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonasi perjalanan udara, penting untuk memanfaatkan kekuatan ASEAN yang punya lebih dari 16 juta metrik ton minyak limbah, termasuk minyak jelantah dan limbah pabrik kelapa sawit.
“Saat ini ada tiga hal yang masih menjadi tantangan bagi implementasi SAF di Indonesia dan juga di dunia. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dituntut untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit,” jelas Aika dalam Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2023, 21 November 2023.
"Biaya produksi bioavtur yang masih tinggi dibandingkan dengan fosil serta kebijakan pemerintah yang saling terintegrasi dalam mendukung kebijakan bioenergi khususnya bioavtur sangat diperlukan," imbuhnya.
Asosiasi penerbangan nasional yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) sudah mendorong pemerintah untuk menggunakan SAF di industri penerbangan Indonesia untuk menghasilkan energi bersih.
INACA menyebut, sustainable aviation fuel merupakan hal penting dan menjadi perhatian semua pihak.