Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Arab Saudi: Misi Menjadi Islam Moderat dan Masa Depan dengan Syiah
28 Oktober 2017 14:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB

ADVERTISEMENT
Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Muhammad bin Salman al-Saud (MbS), menyatakan akan mengembalikan Kerajaan Saudi menjadi Islam moderat, dan meminta dukungan global untuk mengubah wajah kaku Saudi menjadi masyarakat terbuka yang mendorong pemberdayaan manusia dan menjanjikan kestabilan bagi investor.
ADVERTISEMENT
Pangeran MbS, seperti dilansir The Guardian, mengatakan hal itu pada satu acara konferensi investasi, Rabu (25/10), di mana ia mengumumkan peluncuran zona ekonomi independen senilai 500 miliar AS yang membentang sepanjang Saudi, Yordania, dan Mesir.
Ucapan sang putra mahkota berusia 31 tahun itu jelas menunjukkan niatnya untuk mengakhiri rezim konservatif Saudi demi meraih kepercayaan dunia.
Di sisi lain, MbS selama ini dikenal sebagai pangeran tradisional Saudi. Dan Arab Saudi, dengan ideologi Wahabisme-nya--mazhab yang mengusung kemurnian Islam, dipandang sebagai negara yang canggung dalam melihat dan menyikapi perbedaan.
Dalam upacannya, Pangeran MbS juga menyinggung Iran, menyiratkan negara itu sebagai biang kerok, dengan mengatakan, “(Radikalisme) yang terjadi selama 30 tahun terakhir bukan Arab Saudi. Yang terjadi di kawasan ini selama 30 tahun terakhir juga bukan Timur Tengah. Setelah Revolusi Iran pada 1979, orang-orang ingin menyalin model ini di negara-negara lain, dan Arab Saudi salah satunya. Kami tidak tahu bagaimana menghadapinya. Dan masalah ini menyebar ke berbagai tempat lain di seluruh dunia.”
ADVERTISEMENT
Jadi, kata sang Pangeran, “Kami cuma akan mengembalikan (Saudi) seperti dulu--Islam moderat yang terbuka terhadap seluruh dunia dan semua agama.”
Sindiran Pangeran MbS untuk Iran itu tak mengherankan, sebab Iran selama ini menjadi musuh tradisional Saudi. Iran, yang dihuni mayoritas Syiah (berbeda dengan Saudi yang dominan Sunni), telah beberapa kali terlibat konflik sejak diduduki Islamis Revolusioner pada 1979.
Mei 2017, Pangeran MbS yang saat itu masih menjabat Menteri Pertahanan, menegaskan akan melawan penyebaran pengaruh Iran di Timur Tengah.
“Kami tidak ingin menunggu pertarungan terjadi di Arab Saudi. Justru kami akan berusaha untuk mengobarkan pertarungan tersebut di Iran,” kata MbS dikutip dari New York Times.
Perang sipil di Yaman dan Suriah ikut mengipasi api permusuhan antara dua poros kekuatan di Timur Tengah itu--Arab Saudi dan Iran. Dalam pertempuran yang masih berlangsung di Yaman dan Suriah, Saudi dan Iran mengambil sisi berlawanan.
ADVERTISEMENT
Kerajaan Saudi memberi bantuan militer guna mendukung penguasa lawas Yaman, Abd Rabbuh Mansur Hadi, yang tengah kesulitan melawan gerakan pemberontak Houthi sejak 2011. Saudi menuduh Iran telah memberi bantuan militer kepada Houthi yang berhasil menguasai hampir separuh negara termiskin di Jazirah Arab tersebut.

Konflik Suriah sebagai salah satu perang sipil paling mengerikan pasca-Perang Dunia II juga tak lepas dari campur tangan kedua patron Timur Tengah tersebut. Presiden Suriah Bashar al-Assad merupakan mitra strategis sekaligus kawan ideologis Iran.
Sementara pemimpin Iran Ayatullah Ali Khamenei yang pernah mendukung revolusi sipil Arab Spring di Mesir dan Tunisia, menerapkan standar ganda menghadapi revolusi yang tengah berkobar di Suriah.
Khamenei dan pemerintah Iran adalah pelindung utama Suriah selain Rusia, ketika Assad ditekan habis-habisan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara Barat.

Ucapan Pangeran MbS pada Mei 2017 yang menegaskan akan melawan penyebaran pengaruh Iran di Timur Tengah, tak bisa dipandang sebelah mata. Ia bukan hanya seorang Menteri Pertahanan yang memegang kendali angkatan perang, tapi juga pemimpin masa depan Kerajaan Saudi.
ADVERTISEMENT
Posisi sang Pangeran menguat setelah diangkat resmi menjadi Putra Mahkota, menyingkirkan sepupunya Muhammad bin Nayef pada Juni 2017. Peran MbS makin luas sekaligus mempertegas posisinya sebagai orang terkuat nomor dua di Kerajaan Saudi.
MbS sudah pasti tahu betul soal permusuhan tradisional antara Saudi dan Iran. Hubungan kedua negara lebih dari sekadar soal politik. Keduanya mewakili dua mazhab yang dianggap antagonis satu sama lain--Sunni dan Syiah.
“Perbedaan mereka (Syaih) adalah kepercayaan bahwa Imam Mahdi akan datang. Untuk itu mereka mempersiapkan tanah subur untuk menyambut Imam Mahdi, sehingga mereka perlu mengambil alih dunia Islam,” kata MbS.
“Jadi pada bagian mana kami (Saudi-Iran) bisa mencapai kesepahaman dengan perbedaan yang demikian lebar?” imbuh MbS.
ADVERTISEMENT
MbS mewarisi sikap anti-Iran yang menancap kuat di lingkungan Kerajaan Saudi. Konflik dua wajah Islam ini dimulai sejak 1979, saat revolusi tengah berlangsung di Iran. Padahal, Kerajaan Saudi dan Iran sebelum revolusi adalah mitra strategis.

Prinsip Wahabi di Saudi yang memperjuangkan kemurnian Islam Sunni, cenderung menolak mazhab lain, apalagi Syiah. Ketidaksetujuan berubah menjadi kebencian tatkala Iran mulai dipandang sebagai tetangga yang agresif dan mengancam.
Insiden demi insiden antara Iran dan Saudi seolah tak lepas dari bumbu Sunni melawan Syiah. Konflik ini begitu mengakar hingga tak jarang melibatkan masyarakat sipil.
Satu noda yang cukup pelik dalam hubungan kedua negara misalnya terjadi pada pelaksanaan ibadah haji tahun 2015. Sebanyak 464 jemaah haji asal Iran tewas ketika sedang menjalani sesi ibadah di Mina. Riyadh menolak memberikan kompensasi, dan hubungan kedua negara sontak memanas.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pada Januari 2016, pemerintah Saudi memenggal Syaikh Nimr al-Nimr, warga Saudi sekaligus ulama Syiah yang vokal mengritik pemerintah.
Kasus ini membawa hubungan Saudi dan Iran menuju titik nadir. Pada 4 Januari 2016, Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Dan di tahun yang sama, tidak ada umat Syiah dari Iran yang menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Memasuki tahun 2017, Saudi secara mengejutkan memutus hubungan diplomatik dengan negara kecil nan kaya, Qatar. Pun hal tersebut tak lepas dari faktor Iran.

Namun, seiring posisi di pemerintahan yang kian kuat, sikap Pangeran MbS terhadap Teheran justru semakin lunak. Makin masuk ke dalam kekuasaan, ia seperti kian mengerti betapa kompleksnya situasi yang dihadapi Kerajaan Saudi.
ADVERTISEMENT
Ian Black, jurnalis The Guardian dalam kolom opininya, menyebut MbS mendapat warisan citra buruk dari dunia internasional yang berpotensi menghalangi usaha Kerajaan Saudi mereformasi ekonomi negara.
Maka, MbS kini cenderung menghindari konfontrasi langsung dengan negara-negara Syiah, dan memupuk hubungan baik dengan sejumlah negara di kawasan yang memiliki sejarah buruk dengan Saudi.
September 2017 misalnya, MbS memutuskan untuk membuka perbatasan Saudi-Irak yang tertutup selama 27 tahun. Perbatasan itu ditutup bagi keluar masuk orang dan barang sejak tahun 1990 karena invasi Saddam Hussein terhadap Kuwait dalam Perang Teluk.
Pejabat Riyadh dan Bagdad pun saling kunjung. Kerja sama berlangsung antara rezim Sunni dan Syiah di bidang perdagangan dan intelijen. Sebelumnya, Perdana Menteri Irak Haidar al-Abadi (yang penganut Syiah) dengan Pangeran MbS juga menggelar pertemuan politik pada 31 Juli 2017.

Saat berkunjung ke Saudi, Haidar al-Abadi turut mengajak ulama sohor Muqtada al-Sadr, putra Imam Syiah Irak Ayatullah Agung Muhammad Sadiq al-Sadr. Keduanya disambut hangat di Jeddah, pusat bisnis Saudi.
ADVERTISEMENT
Pertemuan MbS dan Haidar ini tentu memicu beragam respons karena mengusik logika umum terkait kebencian terhadap Syiah. Namun nyatanya, internal pemerintahan Saudi sepertinya cukup banyak memiliki orang-orang berpemikiran maju ketimbang para penganut konservatisme.
Menteri Kerajaan Saudi untuk Urusan Teluk Arab, Thamel al Subhan, mengapresiasi tinggi langkah MbS. Ia berujar, “Sunni garis keras dan Syiah garis keras tidak membangun bangsa dan masyarakat. Bahasa yang moderat, sikap memaafkan, dan dialog bersama adalah prinsip yang harus dipegang untuk memenuhi kepentingan bersama.”
Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir juga mengutarakan pendapat serupa. “Sektarianisme telah menyusut. Kawasan Timur Tengah sudah mulai tenang,” ucapnya menanggapi penurunan level pertempuran di Suriah dan rentetan kekalahan ISIS.
ADVERTISEMENT
Saudi juga tampak melunakkan tekanan terhadap rezim Assad di Suriah. Bahkan, Pangeran MbS pernah berkata kepada para pemimpin Sunni Suriah yang berada dalam pengasingan di Riyadh, untuk mulai berkompromi dengan rezim Assad.
Lebih jauh lagi, Saudi hendak mengedepankan rekonsiliasi hubungan dengan Iran. Dalam pertemuan kedua Saudi-Irak pada Agustus 2017, MbS meminta PM Haidar untuk membantu proses normalisasi hubungan antara Riyadh dan Teheran.
Dalam laporan yang dikutip dari Al Jazeera, Menteri Dalam Negeri Irak Qasim al-Araji tengah mengupayakan menjadi jembatan dialog bagi Saudi dan Iran. “Mereka meminta kami untuk melakukan dialog dengan Iran. Dan Iran tampak menyambut positif.
Hal tersebut terlihat dari pelaksanaan haji tahun 2017 pada September-Oktober. Sebanyak 86 ribu muslim Iran terbang ke Saudi untuk menjalankan ibadah haji. Padahal sebelumnya mereka memboikot pelaksanaan haji.
ADVERTISEMENT
Mekkah pun mempersiapkan petugas keamanan untuk menjaga jemaah haji Iran. Tidak ada lagi kisah keributan antara Saudi dan Iran selama ibadah haji berlangsung.
Pada akhirnya, sampai sejauh mana dan kapan Saudi benar-benar dapat mewujudkan mimpi menjadi negara Islam moderat, masih harus dinanti.