Arah Kebijakan Keluarga Berencana: Orde Lama, Orde Baru, dan Saat Ini

4 Juli 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cek data: ilustrasi keluarga berencana. Foto: shisu_ka/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Cek data: ilustrasi keluarga berencana. Foto: shisu_ka/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Slogan Keluarga Berencana (KB) seperti "2 anak lebih baik" hingga "2 anak cukup" kerap didengungkan di tengah masyarakat Indonesia, Ternyata, gagasan pengaturan kelahiran ini sudah dicanangkan sejak zaman orde baru.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Indonesia di era Presiden Soeharto sangat gencar menekan laju pertumbuhan penduduk. Tak hanya sibuk menekan populasi, Soeharto juga tengah gempur melakukan pembangunan Indonesia.
Persoalannya, kebijakan tersebut kini berdampak pada turunnya jumlah kelahiran. Dalam sensus 2020, BPS mencatat bahwa tingkat kelahiran total di angka 2,18. Sementara pada sensus 1971, tingkat kelahiran ada di angka 5,6.
Terkait data tersebut, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI Hasto Wardoyo meminta setiap pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia memiliki 1 anak perempuan.
Hal tersebut dikatakan Hasto dalam acara Media Briefing Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Hotel Santika Semarang pada Kamis (27/6). Hasto mengatakan, hal itu perlu dilakukan untuk memastikan regenerasi terus berjalan. Sebab, angka kelahiran atau fertility rate di Indonesia terus menurun.
ADVERTISEMENT
"Kami punya target 1 perempuan rata-rata melahirkan 1 anak perempuan. Oleh karena itu BKKBN menargetkan anaknya kalau bisa 2,1 jangan hanya 2. Karena kalau anaknya dua lebih dikit maka hampir dipastikan 1 perempuan akan melahirkan anak 1 perempuan," ujar Hasto.
Kebijakan Keluarga Bencana (KB) sendiri memiliki sejarah panjang. Hal itu bisa dilacak bahkan dari era Orde Lama dan Orde Baru.
Lantas, bagaimana sejarah KB dan tingkat fertilitas di Indonesia saat ini?

KB di Masa Orde Lama dan Orde Baru

Menurut penilaian pemerintah pada masa Orba, pertumbuhan penduduk yang signifikan bisa mengancam pertumbuhan ekonomi. Sebab, berdasarkan Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1996), pembangunan dinilai berhasil saat pertumbuhan ekonomi tinggi.
ADVERTISEMENT
Jika mengikuti teori ekonom Thomas Robert Malthus (1766-1834) dalam karyanya The Essay on The Principle of Population, pertumbuhan populasi penduduk akan selalu mengikuti deret ukur, sedangkan sumber daya pangan hingga produksi akan selalu mengikuti deret hitung.
Presiden kedua RI, Soeharto. Foto: Reuters
Negara pun memanfaatkan aktor-aktor pembangunan, seperti dokter, bidan, penyuluh KB, pegawai negeri hingga organisasi perempuan dalam memasarkan program keluarga berencana. Program ini juga didukung oleh ulama hingga ustaz untuk menyelaraskan ide 'pembatasan kelahiran' yang dahulu ditolak orde lama ini dengan ajaran agama Islam.
Bahkan, kedudukan program KB yang dicanangkan Orba semakin mengakar di masyarakat. Apalagi ada fatwa MUI yang mendukung program tersebut.
Pada 17 Oktober 1968, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat membentuk lembaga resmi pemerintahan yang bertanggung jawab mengelola pengaturan kelahiran dengan nama Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN).
ADVERTISEMENT
Pada 1970, LKBN menjadi Lembaga pemerintah non-departemen dengan nama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), hal ini diatur dalam Keputusan Presiden No. 8 Tahun 1970.
Presiden Indonesia pertama, Sukarno. Foto: wikimedia
Nah, apa yang terjadi di era Orba itu kontras dengan kebijakan Orla. Di era Sukarno, KB dipahami sebagai pembatasan kelahiran dan hal ini menuai penolakan keras di masyarakat. Bahkan, larangan pembahasan mengenai pembatasan kelahiran di tahun 1950-an juga diatur dalam UU No. 1 Tahun 1946 dalam pasal 534 KUHP.
ADVERTISEMENT
Di era Sukarno, pembatasan kelahiran sama saja dengan pembatasan terhadap perilaku manusia. Pembahasan ini pun hanya berputar dalam lingkungan dokter saja, tak ada yang berani untuk membahasnya di luar lingkungan itu.
Berdasarkan buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XI 1989, Gabungan Organisasi Wanita Yogyakarta (GOWY) menilai pembatasan kelahiran merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Menurut catatan GOWY, pembatasan kelahiran juga dikhawatirkan dapat meningkatkan pembunuhan terhadap janin bayi hingga merusak moral masyarakat. Selama masa orde lama praktik pembatasan kelahiran ini dilakukan para dokter secara "diam-diam" karena dianggap tabu.

Kondisi Fertilitas saat Ini

Menurut Hasto, penurunan angka kelahiran sudah mencapai angka ideal saat ini. Ia membandingkan dengan tahun 1970 di mana angka kelahiran sangat tinggi yakni 5,6 atau satu pasangan bisa melahirkan 6-9 anak.
ADVERTISEMENT
"Dulu angka kelahiran atau total fertility rate itu 5,6 di tahun 70. Karena waktu itu anaknya ya 6, 7, 8, 9. Nah sekarang ini 2,18," jelas dia.
Meski begitu, angka kelahiran di sejumlah provinsi seperti NTT, Papua, Papua Barat, dan Maluku masih sangat tinggi. Sementara di Pulau Jawa angka kelahiran hanya di angka 2,0.
"Di Jawa ini sudah 2,0 sekian ya, tadi di Jabar sudah 2,00 sekian, di Jawa Tengah 2,04, di DIY 1,9, di DKI juga 1,89. Jadi ya pembangunan yang sifatnya asimetris harus disikapi. Ada wilayah lain yang seperti NTT, Papua, anaknya masih banyak. Tapi di daerah Jawa ini kan tadi rendah sekali," imbuh dia.
Untuk itu, ia juga mendorong kebijakan tentang angka kelahiran disesuaikan dengan kebutuhan setiap daerah.
ADVERTISEMENT
"Lha ini membuat kebijakan yang tidak satu kebijakan untuk semua, jadi harus sesuai," kata Hasto.
Berdasarkan laporan BPS, rasio kelahiran tertinggi di Indonesia berada di provinsi NTT mencapai 2,79. Disusul dengan provinsi Papua mencapai 2,76. Urutan tertinggi ketiga berada di wilayah Papua Barat dengan rasio fertilitas mencapai 2,66.
Sementara, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan rasio kelahiran terendah hanya 1,75. Kemudian, kedua terendah ditempati Yogyakarta dengan rasio 1,89. Lalu, terdapat wilayah Jawa Timur dengan rasio kelahiran 1,98.
Sementara, Indonesia berada di urutan ke-5 dengan rasio kelahiran tertinggi di negara-negara Asia Tenggara, yaitu mencapai 2,15. Posisi tertinggi pertama ditempati Timor Leste dengan rasio kelahiran mencapai 3,05.
Filipina berada di urutan kedua dengan rasio kelahiran 2,73 dan Laos berada di urutan ketiga dengan rasio kelahiran mencapai 2,45.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat berdasarkan jenis KB yang digunakan, KB berjenis suntik paling banyak digunakan, yaitu mencapai 62,42 persen. Kemudian, penggunaan KB berjenis pil kedua terbanyak mencapai 13,09 persen.
Sementara jenis KB yang paling sedikit digunakan, yaitu sterilisasi pria atau vasektomi, yaitu hanya 0,04 persen. Dilansir ANTARA, Kepala KBBN Yogyakarta, Shodiqin pernah menyampaikan kontrasepsi pada pria lebih kecil risikonya dibandingkan pada perempuan.
​​​​​​"KB pria jauh lebih kecil risikonya. Seperti kondom, itu nyaris tidak berisiko, karena jarang ditemui pengguna yang menderita alergi lateks," katanya sebagaimana dikutip dalam siaran pers BKKBN di Jakarta, Minggu (7/5/2023).
Lebih lanjut, Shodiqin menjelaskan bahwa kontrasepsi dengan Metode Operasi Pria (MOP) seperti vasektomi juga hanya meliputi operasi ringan dengan pembiusan lokal yang bisa selesai dalam waktu kurang dari 20 menit jika tidak ada faktor penyulit.
ADVERTISEMENT
"Dalam vasektomi tidak ada organ yang diambil atau dibuang, yang dilakukan adalah memotong dan mengikat saluran sperma agar air mani yang dikeluarkan tidak lagi mengandung sperma," katanya.
Menurut laporan Susenas, perempuan di Indonesia yang pernah menggunakan KB tercatat ada 12,43 persen. Sementara, perempuan yang masih menggunakan KB hingga saat ini mencapai 53,61 persen.
Meski begitu, perempuan yang tidak pernah menggunakan KB tembus sebanyak 33,96 persen atau hampir 40 persen.