Asa Ponpes Darut Taubah, Jadi Rumah Pertobatan di Distrik Merah Saritem Bandung

16 Maret 2024 21:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Ponpes Darut Taubah di Kota Bandung.  Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Ponpes Darut Taubah di Kota Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Allahuakbar Allahuakbar. Laa illaha illallah."
Begitu mendengar azan berkumandang, santri Pondok Pesantren Darut Taubah Bandung bergegas ke lantai dua dan berebut mengambil wudu sebelum menunaikan Salat Ashar. Suasana yang tadinya ramai canda tawa, kini berubah khidmat, siap menghadap Allah SWT dengan khusyuk.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, beberapa meter dari sana, seorang perempuan pekerja seks di Jalan Saritem duduk bersolek. Pada salah satu tangannya, terselip sebatang rokok yang menyala. Sesekali mereka menoleh, mencoba menawarkan jasa pada pejalan kaki yang melintas.
Kawasan merah Jalan Saritem memang tak pernah berhenti berdenyut meski bulan Ramadan tiba. Konon, sejak tahun 1830-an, sudah banyak perempuan yang terpaksa menggantungkan hidupnya di tempat itu.
Suasana Ponpes Darut Taubah di Kota Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Hingga tahun 2000-an, KH Raden Imam Sonhaji mencoba membangun sebuah 'oase' untuk mengikis stigma negatif Jalan Saritem yang ia namakan "Darut Taubah". Nama yang berarti "rumah untuk bertaubat".
"Dari itu [artinya] rumah. Taubah itu ya tobat. Berarti rumah pertobatan. Kenapa rumahnya Darut Taubah? Karena kita berdampingan dengan tempat prostitusi," jelas staf pengajar Ponpes Darut Taubah, Zainal Arifin, kepada kumparan, Sabtu (16/3).
ADVERTISEMENT
Di awal-awal berdiri, Zainal bercerita, jalan Ponpes Darut Taubah tak semulus itu. Mereka sempat ditentang masyarakat setempat, diprotes pemabuk, bahkan sempat ada teror santet yang dikirimkan ke sana. Santri yang awalnya bergabung pun banyak yang memutuskan pergi.
"Bukan hanya sekadar fisik, tapi psikis pun luar biasa. Ada yang mabuk, 'Mana kiai di sini? Saya tantang!' dan lain sebagainya. Terus banyak buhul (makhluk halus/jin), dan begitulah. Santet juga banyak. Itu di awal," ungkap Zainal.
Suasana Ponpes Darut Taubah di Kota Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Namun Ponpes Darut Taubah tetap berdiri. Setelah tujuh tahun beroperasi, teror kepada mereka mulai menurun. Bahkan ada beberapa pekerja seks di sekitar sana yang mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar agama.
Jumlah santri pun bertambah. Dari yang awalnya hanya puluhan, menjadi sekitar 200-an dan berasal dari berbagai wilayah di Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
"Ada anak-anak mereka (pekerja seks) belajar di sini. TK dan Diniyah ikut ke sini. Mungkin secara hati nuraninya, jangan sampai anak ikut [ke kehidupan malam] seperti itu," tutur Zainal.
Ponpes Darut Taubah juga tak memungut uang sepeser pun dari para santrinya. Siapa pun bisa belajar agama di sana, asalkan punya niat yang kuat.
"Gratis. Amanat dari pendiri enggak boleh bayar. Sepeser pun," tutup Zainal.