Asa Proklamasi: di Bawah Pohon Pisang, Pemuda Menunggu Sukarno Pulang

16 Agustus 2018 11:07 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi Bandara Kemayoran. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi Bandara Kemayoran. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
ADVERTISEMENT
Di antara lima pemuda yang meriung di bawah pohon pisang dekat Bandara Kemayoran Jakarta, AM Hanafi tiba paling bontot. Chaerul Saleh yang geregetan dengan ulah kawannya, sedikit merajuk seraya meledek.
ADVERTISEMENT
“Paling dekat (rumahnya), tapi terlambat juga!”
“Saya punya dua anak kecil. (Dias dan Nurjaya), yang satu masih bayi pula, yang mesti saya beri makan. Antre pula. Yang penting saya tidak absen, ‘kan!” celetuk Hanafi.
Di kebon pisang itu, sekitar pukul tiga sore, tepat 14 Agustus 1945, Chaerul Saleh, Hanafi dan tiga pentolan golongan muda lainnya: Asmara Hadi, SK Trimurti, Sajuti Melok (Melik), cemas menunggu kedatangan Sukarno-Hatta dari Dalat, Saigon, Vietnam. Mereka sudah tahu desas-desus kemerdekaan yang dihadiahkan Jepang untuk Indonesia.
Kepergian Sukarno ke Saigon memang untuk memenuhi undangan Panglima Tentara Jepang se-Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Maka benar saja, saat mendengar kabar ‘kemerdekaan hadiah’, gerombolan Chaerul Saleh mendesak Sukarno untuk memproklamirkan Indonesia: segera.
ADVERTISEMENT
“Kami, pemuda radikal seluruh Indonesia, jijik dan malu mendengarnya. Kami tidak mau ‘kemerdekaan hadiah’. Jangankan di kelak kemudian hari, janji besok pun kami tidak sudi menerimanya,” ucap Hanafi jengkel.
Chaerul Saleh. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Chaerul Saleh. (Foto: Wikimedia Commons)
Dia luapkan seluruh emosinya dalam Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan. Hanafi, menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah dalam pertemuan di kebon pisang yang menjadi cikal-bakal terjadinya peristiwa Rengasdengklok yang tersohor itu.
Ibarat kata, mau tunggu apalagi, sih, Bung? Toh, Jepang sudah benar-benar kalah dalam Perang Pasifik. Dua kota mereka, Hiroshima dan Nagasaki, habis diluluhlantakkan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya oleh bom atom mahadahsyat.
Janji ‘kemerdekaan di kelak kemudian hari’ seperti yang dituliskan Benedict Anderson dalam Some Aspects of Indonesian Politics under Japanese Occupation 1944-1945, dilontarkan oleh Perdana Menteri Jepang, Kunaiki Koiso, dalam Sidang Parlemen Jepang atau Teikoku Ginkai pada 7 September 1944. Tahun-tahun segitu Jepang memang sudah terdesak.
ADVERTISEMENT
Serangan demi serangan yang dilancarkan AS sejak akhir 1942, kian masif sampai pertengahan 1945, membuat Jepang kehilangan taring serta kaki untuk berdiri.
Dengan iming-iming seperti itu, Indonesia dimanfaatkan membantu Jepang mengadang sekutu melalui laskar-laskar militer yang dibentuknya, sekaligus menjamin tak ada pemberontakan apapun. Seperti yang diungkapkan Saiko Shikikan, atau Panglima Tentara ke-16 Letnan Jenderal Kumakici Harada.
“Andaikata kemenangan akhir tidak tercapai, andaikata Asia Timur Raya tidak menjadi kenyataan, maka Kepulauan Indonesia pun tidak akan memperoleh kemerdekaan mereka,” ujarnya, yang dimuat dalam koran Asia Raya, 8 September 2604 kalender Jepang. (Diambil dari buku Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan karya Bernhard Dahm).
Sukarno-Hatta. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Sukarno-Hatta. (Foto: kitlv.nl)
Namun demikian, golongan muda kala mendengar fakta Jepang melemah dan tinggal menunggu waktu kalah --tak seperti awal-awal kedatangannya-- justru berpikir, apa salahnya merebut kemerdekaan dengan perjuangan dari bangsa sendiri?
ADVERTISEMENT
***
Setelah cukup lama menikmati suhu udara panas sembari digigiti nyamuk kebon, pesawat yang membawa Sukarno-Hatta mendarat juga di landasan Kemayoran. Chaerul Saleh memberanikan diri menembus penjagaan kempeitai (polisi militer Jepang) di dekat bandara itu, lalu menghampiri Sukarno yang turun dari pesawat didampingi Hatta kala keduanya hendak menuju mobil.
“Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung-Bung bawa dari Saigon,” sapa Chaerul Saleh.
Sukarno mencoba meyakinkan Chaerul Saleh. Dia menyebut, Indonesia akan segera merdeka. “Pokoknya, kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap,” tegas Sukarno.
Tentu, ucapan Sukarno langsung mendapat balasan. “Tapi kami tidak mau kemerdekaan hadiah. Kami tak mau janji-janji Jepang itu. Proklamirkan kemerdekaan bangsa kita sekarang juga! Jepang sudah kalah, Jepang sudah dibom! Jenderal Terauchi tentu tidak bilang itu kepada Bung Karno!”
ADVERTISEMENT
Mata Sukarno membelalak. Nada bicaranya meninggi karena didesak. Sebelum ia bergegas meninggalkan Chaerul Saleh, Sukarno berpesan, “Kita tidak bisa bicara soal itu di sini. Lihat itu, Kempeitai mengawasi kita. Bubarlah! Nanti kita bicara lagi,” tegasnya, berlalu menyusul Hatta yang sudah duduk menunggunya di dalam mobil.
Kejengkelan pemuda lantaran keraguan Sukarno menjadi bola api keresahan. Jika tidak segera, maka kesempatan ini sulit terjadi dua kali, bahkan mustahil diraih lagi.
Chaerul Saleh dan ‘kawan-kawan pohon pisang’ lalu pulang, merancang rapat gelap bersama pemuda-pemuda lainnya di hari dan malam itu juga.
Kelak, rapat itu menjadi penentu bagi ruang kontemplasi Sukarno-Hatta dalam menghadapkan bangsa Indonesia pada pilihan yang luhur: Merdeka atau Mati!
***
ADVERTISEMENT
Kabar kekalahan Jepang juga telah sampai ke telinga golongan muda lainnya, Sutan Sjahrir dan Soebadio Sastrosatomo. Menurut Sjahrir, di hari itu, ia menemui Hatta.
"Bagaimana soal kemerdekaan kita?" tanya Sjahrir, seperti dikutip dari Autobiografi Hatta, Untuk Negeriku.
Sjahrir kala itu sudah menjelaskan bahwa Jepang telah mengakui kekalahannya. Berita tersebar luas melalui radio. Kepada Hatta, Sjahrir juga menentang ucapan ‘Indonesia akan merdeka dengan bantuan atau bentukan PPKI’.
Sebetulnya, Hatta cukup terkejut mendengar kabar kekalahan Jepang. Meski ia setuju kemerdekaan Indonesia harus diumumkan secepatnya, namun, di satu sisi, Sukarno adalah Ketua PPKI yang tidak bisa bertindak sendiri.
Hatta lalu menelepon Sukarno, meminta izin untuk menemuinya bersama Sjahrir.
Wikana. (Foto: Dok. Kemdikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Wikana. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Setiba di Pegangsaan 56, Sukarno membawa Hatta dan Sjahrir duduk di kursi yang mengelilingi meja bundar kecil. "Soal apa yang saudara-saudara bawa kemari?" tanya Sukarno.
ADVERTISEMENT
Sjahrir menjelaskan dan kembali mengulangi permintaannya seperti yang ia sampaikan ke Hatta beberapa jam sebelumnya. Tapi, sikap Sukarno tetap tak berubah.
"Memang di Saigon kami menduga, setelah Letnan Kolonel Nomura melaporkan bahwa tentara Rusia telah menyerbu Mancuko, Jepang pasti akan bertekuk lutut. Akan tetapi, bahwa begitu lekas terjadinya aku belum percaya sekalipun Saudara Sjahrir mendengarkan berita dari siaran radio luar negeri yang kebanyakan dikuasai oleh Sekutu. Oleh karena itu, aku ingin mengecek dahulu dari Gunseikanbu. Besok kami berdua, Bung Hatta dan aku, akan pergi ke sana," ucap Sukarno.
Soebadio dalam bukunya, Perjuangan Revolusi, menyebut, Sukarno betul-betul masih tak percaya Jepang telah bertekuk lutut. Dia lebih memilih untuk meraih kemerdekaan berdasarkan kesepakatannya dengan Jepang.
ADVERTISEMENT
Soebadio dan kelompok pemuda lain tak patah semangat. Mereka berniat kembali menemui Hatta.
Tetapi, sama saja seperti Sukarno, Hatta tetap pada pendiriannya, meski pada dasarnya tidak menolak usulan para pemuda itu.
Hatta, sembari mengantar pulang mereka ke tempat parkir sepeda, terus meyakinkan bahwa apa yang ia putuskan bersama Sukarno adalah yang sebaik-baiknya untuk Indonesia.
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta  (Foto: Dok. Kemdikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta (Foto: Dok. Kemdikbud)
“Tapi belum jauh berjalan dari rumah Bung Hatta di Jalan Diponegoro, aku bertemu Chaerul Saleh yang mengajakku serta teman-teman untuk berkumpul di laboratorium bakteriologi di Pegangsaan Timur 16 sehabis buka puasa,” tulis Soebadio.
Usai rapat di bawah pohon pisang sore itu, Chaerul Saleh memang kembali menggelar rapat gelap. Kali ini, bertempat di Gedung Eijkman Instituut Jakarta (laboratorium bakteriologi), keputusan berhasil dirembuk: mengirim utusan ke Sukarno-Hatta, mendesak (lagi) agar proklamasi kemerdekaan segera dibacakan.
ADVERTISEMENT
Di rapat itu, bukan hanya lima orang pemuda di kebon pisang tadi saja yang berkumpul. Ada yang lain, seperti Kaigun pimpinan Wikana yang tiba bersama Dipa Nusantara Aidit, Pardjono, Djohar Nur, Abu Bakar Lubis, Eri Sudewo, Armansyah, Subadio Sastrosatomo, dan Yusuf Kunto. Seluruhnya adalah pemuda-pemuda yang tergabung dalam mahasiswa Ika Daigaku dari Prapatan 10 hingga mahasiswa Baperpi Cikini 71.
Yusuf Kunto, Subandio, Aidit, Wikana dan Chaerul Saleh, menjadi utusan yang dipilih untuk bertolak ke Pegangsaan Timur 56 --rumah yang ditinggali Sukarno.
Tiba di kediaman Sukarno, Wikana, yang didaulat menjadi juru bicara, kembali meyakinkan.
“Maksud kedatangan kami ialah meminta supaya Bung Karno dan Bung Hatta segera menyatakan kemerdekaan, lepas dari Panitia Persiapan Kemerdekaan maupun dari janji -janji Jepang.”
ADVERTISEMENT
Dalam perdebatannya dengan Wikana, Sukarno sebetulnya mengetahui kegiatan para pemuda yang kerap membicarakannya dalam rapat-rapat gelap, dan merancang cara agar ia bisa segera membacakan teks Proklamasi. Tetapi, Sukarno menyayangkan.
“Tidak ada persatuan di antara kalian semua. Ada golongan kiri, ada golongan Sjahrir, golongan intelektual. Semua membikin keputusan sendiri-sendiri terlepas dari yang lain. Masalah kemerdekaan adalah masalah besar, karena itu kita harus menyediakan waktu untuk mendapatkan jalan keluar menurut pertimbangan akal.” tegas Sukarno.
Perdebatan kian sengit dan memanas. Hatta, yang belakangan hadir, ikut menimpali.
“Saya juga pernah muda. Juga pernah berkepala panas dan berhati panas. Setelah tua, hati panas dulu itu tetap saja panas, hanya saja dikawal oleh kepala dingin. Karena itu kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan saudara - saudara,” begitu kata Hatta, yang ditulis Hanafi dalam bukunya.
ADVERTISEMENT
“Kalau Bung Karno tidak bersedia menyatakan kemerdekaan Indonesia, malam ini juga maka darah akan mengalir dan massa akan bertindak,” ucap Wikana, dengan nada mengancam.
Sukarno, mendengar ancaman itu, tetap tenang dan langsung berdiri.
Keteguhan Sukarno-Hatta membuat para utusan pemuda itu memutar otak. Satu-satunya jalan terakhir pun dilancarkan: Membawa dua tokoh PPKI itu ke Rengasdengklok!
Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi. Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8).
ADVERTISEMENT