Asal Usul Istilah 'Jin Buang Anak', Begini Makna Aslinya

28 Januari 2022 15:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Edy Mulyadi. Foto: Dok. Youtube Edy Mulyadi
zoom-in-whitePerbesar
Edy Mulyadi. Foto: Dok. Youtube Edy Mulyadi
ADVERTISEMENT
Ungkapan ‘jin buang anak’ kembali populer sejak Youtuber Edy Mulyadi menyebutnya untuk merujuk tempat calon ibu kota baru Indonesia di daerah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pernyataan Edy yang dinilai menghina Kalimantan itu pun kini tengah diusut polisi.
ADVERTISEMENT
Belakangan, eks caleg PKS itu melakukan klarifikasi. Edy mengatakan, pernyataan tersebut untuk menggambarkan lokasi yang sangat jauh. Dia mengeklaim pernyataan itu tak bermaksud menghina Kalimantan.
"Tempat jin buang anak untuk menggambarkan jauh. Jangankan Kalimantan, kita mohon maaf, ya. Monas itu tempat jin buang anak. BSD juga tahun 80-an tempat jin buang anak," kata Edy saat dihubungi, Senin (24/1).

Lantas, bagaimana asal usul istilah 'jin buang anak' itu?

Penggunaan istilah tersebut sudah populer di Indonesia, tepatnya pada era 60 hingga 70-an. Istilah tersebut bahkan muncul di sejumlah film dengan celotehan khas Betawi yang dibintangi Benyamin Sueb.
Ilustrasi Benyamin Sueb Foto: Bagus Permadi/kumparan
Sejarawan Rd. Muhammad Ikhsan dalam bukunya berjudul 'Palembang dari Waktu ke Waktu' (2018) mengungkapkan, istilah ‘jin buang anak’ juga disematkan pada tempat-tempat di daerah Palembang. Khususnya mengacu pada tempat-tempat sepi pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1980-an, kawasan Perumnas Sako, Palembang, pernah disebut sebagai tempat jin buang anak. Tempat tersebut pada awal pembukaannya tidak direspons oleh orang Palembang.
Foto udara suasana lalu lintas pada pagi hari Idul Fitri di Bundaran Air Mancur (BAM) Masjid Agung Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (13/5/2021). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Tempat itu dianggap 'jin buang anak' karena belum ada transportasi umum dan baru ada di jam-jam tertentu saja. Tidak hanya itu, kawasan Perumnas Pulo juga awalnya belum ada ledeng air, jadi warga di sana banyak yang memakai air sumur.
Kawasan KM 12 di daerah Palembang juga pernah mendapatkan julukan yang sama. Itu karena daerah ini merupakan hasil pemekaran kawasan Palembang yang dahulunya berada di KM 5. Saat itu, KM 5 lokasinya sudah cukup jauh dan ditambah KM 12 yang jaraknya semakin jauh dari pusat kota Palembang.
ADVERTISEMENT
Belum berkembangnya kawasan ini seperti kawasan Perumnas Sako, KM 12 juga ikut mendapatkan sebutan 'jin buang anak' karena akses angkutan umum yang terbatas.

Pendapat Ahli Linguistik Forensik UI

Sementara itu, ahli Linguistik Forensik Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang, menilai istilah itu memang umumnya digunakan atas ketidaksukaan atau penolakan terhadap suatu tempat.
“Ungkapan ‘jin buang anak’ adalah ungkapan ketidaksetujuan, ketidaksukaan atas suatu tempat dan penolakan seperti itu. Dalam sejarahnya, ungkapan tersebut memang sering digunakan untuk hal-hal seperti itu, ” jelas Frans kepada kumparan, Kamis (27/1).
Jalan Raya Margonda, Depok. Foto: Dok. Istimewa
Frans menambahkan penggunaan ungkapan ‘jin buang anak’ juga pernah dilabelkan pada daerah-daerah sekitar ibu kota Jakarta seperti Depok. Pada waktu itu, daerah Depok dianggap sebagai lokasi yang tidak diinginkan warga untuk menjadi tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
“Jin itu kan setan. Kalau dia buang anak lagi, berarti lebih jahat lagi. Jadi setan saja tidak suka sama anaknya sampai dia buang anaknya. Setan aja kan kita tidak suka, ya. Apalagi setan yang membuang anaknya. Tempat itu berarti tempat yang terkutuk, tempat yang tidak disukai," katanya.
Menurut Frans, dahulu orang Jakarta melihat orang-orang yang mendiami daerah Depok itu sebagai tempat jin buang anak. Alasannya sederhana saja karena Depok saat itu dianggap jauh dari Jakarta.
"Kalau melihat dari sejarah gitu, dahulu orang Jakarta menuju ke Depok jauh dan harus menggunakan mobil. Naik kereta pun sama sulitnya, jadi banyak orang Jakarta yang enggan untuk pindah ke sana atau ditempatkan di daerah Depok,” jelas Frans.
com-Ilustrasi berpikir Foto: Shutterstock
Akan tetapi, dari segi linguistik, kata dia, penempatan istilah ‘jin buang anak’ untuk merujuk sebuah lokasi yang tidak disukai sangat tergantung pada konteks dan fungsinya.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, misalnya, istilah tersebut dapat digunakan sebagai ungkapan kelakar. Namun itu hanya berlaku ketika ketika diucapkan di kalangan teman-teman saja.
“Sebenarnya ungkapan-ungkapan itu merupakan ungkapan kelakar, bukan ungkapan yang menunjukkan suatu hal yang serius. Saat saya bilang ‘Aduh tempat itu kaya tempat jin buang anak, ya’ sebenarnya itu kan ungkapan saya yang tidak suka terhadap suatu tempat, itu sebenarnya ungkapan kelakar. Ungkapan 'jin buang anak' bisa saja diungkapkan pada saat situasinya sedang ceria. Jadi hanya untuk ejekan antarteman,” jelas Frans.
Dosen Linguistik UI Frans Asisi Datang. Foto: Dok. Pribadi
Di sisi lain, penggunaan ungkapan ‘jin buang anak’ yang diungkapkan Edy tidak disampaikan pada tempatnya. Sebab, kata Frans, konteks yang digunakan Edy bukanlah ditujukan kepada temannya, sehingga rentan memancing amarah masyarakat yang tinggal di Kalimantan.
ADVERTISEMENT
“Kalau dilihat dari ekspresi, konteks, dan percakapan orang itu pasti menunjukkan ketidaksukaan dia terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah, yakni program pemerintah. Tetapi justru orang yang merasa tersinggung adalah orang yang tinggal di tempat itu sebagai warga," tutup Frans.