Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hal ini juga diamini oleh antropolog Richard Wrangham. Dalam bukunya yang berjudul Catching Fire: How Cooking Made Us Human (2000), ia menelusuri jejak manusia dalam memasak.
Menurutnya, penemuan api menjadi permulaan peradaban manusia. Langkah evolusi ini berdampak besar bagi kehidupan manusia yang kini mampu menyediakan tak hanya makanan penuh rasa dan enak, tetapi juga nutrisi ekstra dan energi surplus yang diperlukan untuk menghasilkan otak besar dan mumpuni.
Elemen api untuk memasak memang menjadi unsur penting dalam evolusi sosial dan biologi. Hal itu terjadi sekitar 400.000 sampai 2 Juta tahun yang lalu, lebih tepatnya pada era Paleolitikum.
Fase Pertama dalam Memasak: Penemuan Api di Era Paleolitikum
Periode Paleolitikum ini dikenal juga dengan sebutan zaman batu tua atau masa peradaban yang terjadi sebelum zaman logam. Era batu tua ditandai dengan penggunaan alat perkakas yang masih kasar dan sederhana. Mata pencaharian manusia purba pada zaman itu masih berada dalam fase mengumpulkan makanan (food gathering). Kala itu, manusia belum mengenal istilah bercocok tanam.
ADVERTISEMENT
Namun, peninggalan fisik manusia purba saat menggunakan api pada zaman itu sangat sedikit. Padahal mereka sudah mulai mengembangkan alat berburu yang cukup rumit. Manusia juga sudah mulai membuat ukiran-ukiran seni di gua dengan cara memahat pada 64.000 tahun yang lalu.
Saat menemukan api, asumsi Wrangham, manusia hanya melemparkan sesuatu yang mentah ke dalam api dan melihatnya mendesis. Kemudian, berkembang dengan memanggang di atas batu panas sebagai fase pertama adaptasi manusia dalam melakukan metode memasak.
Meski begitu, tidak ada yang data yang dapat memastikan apakah saat itu perempuan menjadi manusia pertama dan paling banyak yang memasak atau bukan.
Awal Narasi Perempuan Harus Bisa Memasak
Perempuan yang selalu disematkan dengan urusan dapur berkembang di awal abad ke-20, Saat itu, di tahun 1966 terdapat simposium "Man the Hunter" di University of Chicago yang mencoba menjawab pertanyaan tentang "Bagaimana kehidupan manusia sebelum masa pertanian?"
ADVERTISEMENT
Para antropolog pun sudah meneliti beberapa orang-orang di seluruh dunia dari hutan hingga tundra. Penelitian itu terkait pembagian tugas antara berburu dan mengumpulkan (hunting and gather).
Mereka yang didominasi laki-laki itu mengembangkan narasi asal-usul manusia bahwa laki-laki adalah pemburu (hunting). Pemburu selalu disematkan dengan laki-laki yang dilihat sebagai pendorong utama evolusi manusia, memiliki otak yang besar, mengurus peralatan dan kekerasan.
Sementara, perempuan dekat dengan urusan mengumpulkan makanan (hunting). Narasi ini yang kemudian berkembang bahwa dalam sebuah keluarga inti (nuclear family), perempuan menunggu di rumah mengolah makanan dari laki-laki yang akan membawakan daging hasil berburu.
Hal ini yang mempertegas pemisahan peran antara laki-laki yang seringkali diasosiasikan bertugas di luar rumah. Sementara, perempuan memiliki tanggungjawab di dalam rumah, salah satunya seperti mengolah makanan atau memasak.
Meski begitu, penemuan ini dikritik oleh seorang antropolog dan arkeolog perempuan, Vivek Venkataraman dari University of Calgary. Kajian Vivek mengenai orang Batek, salah satu suku di Malaysia memiliki karakteristik masyarakat yang paling egaliter soal gender di dunia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pria Batek biasanya akan berburu monyet sendirian. Sementara, para wanita mengumpulkan umbi-umbian atau buah-buahan dalam kelompok-kelompok kecil. Tidak ada yang melarang perempuan untuk berburu, seperti halnya beberapa pemburu-pengumpul (hunting and gather) yang masih dilarang di kelompok masyarakat lain.
Mereka percaya bahwa pria dan perempuan Batek hidup sebagai kelompok yang kooperatif dan saling bergantung, di mana setiap orang memberikan kontribusi yang unik dan penting menuju tujuan komunal. Namun, masih ada perbedaaan pembagian tanggungjawab, lantaran perempuan harus melalui fase melahirkan anak dan mengasuh anak.
Pergeseran Asosiasi Perempuan dan Memasak Saat Ini
Di era kontemporer, narasi soal perempuan harus bisa memasak berusaha dibantah keras oleh sebagian masyarakat, terutama perempuan. Hal ini diikuti dengan penuntutan kesetaraan bagi perempuan terhadap laki-laki saat budaya patriarki terlalu dominan dalam mengkonstruksikan gender.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, masih banyak juga yang percaya bahwa perempuan harus bisa memasak adalah perlu. Namun, tak sedikit juga yang melihat bahwa kemampuan memasak merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki keduanya untuk bertahan hidup.
Pengasosiasian perempuan dengan memasak ini intensitasnya semakin berkurang, terlebih di negara-negara maju di Amerika Serikat. Peran perempuan di negara maju banyak mengalami perubahan, mengikuti arus pergeseran peluang ekonomi dan struktur keluarga.
Seorang pebisnis yang ahli dalam bidang kuliner dari Amerika Serikat, Martha Stewart melihat fenomena pada abad ke-21 saat ini merupakan implikasi dari kemajuan ekonomi. Kemajuan itu melemahkan asosiasi antara gender dan masakan serta hubungan antara perempuan dan makanan.
Hal tersebut, kata Martha, membuat masyarakat kini lebih merenungkan konsekuensi pengasosiasian perempuan dan memasak yang sudah lama berkembang.
ADVERTISEMENT
Nah, menurut kamu, apakah perempuan memang harus bisa memasak?