Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mei 2013, Paus Fransiskus pernah mengeluarkan pendapat yang cukup menghebohkan. Ia dengan lantang mengatakan, “Tuhan telah menebus dosa kita semua, termasuk mereka yang ateis.”
ADVERTISEMENT
Seruan itu dibuatnya, agar para pemeluk Katolik tidak menghakimi orang-orang yang berada di luar agama mereka. Baginya, membangun tembok di antara Katolik dan non-Katolik hanya akan memunculkan “pembunuhan atas nama Tuhan”.
“Dan itu jelas-jelas penghinaan terhadap Tuhan,” ucapnya, menekankan kasih-Nya tak hanya sebatas untuk mereka yang Katolik, tapi juga pemeluk agama lain, dan bahkan mereka yang ateis.
Masalahnya, pernyataan Paus tersebut justru menimbulkan polemik tersendiri. Meski fokus argumennya terletak pada dorongan agar pemeluk Katolik menghilangkan tembok pemisah dengan kelompok agama lain, kata-katanya justru diterjemahkan telah mempromosikan ateisme.
Ini menjadi perhatian lebih, mengingat demografi mereka yang tak mau diafiliasikan terhadap agama tertentu (religious nones) dan ateis di dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Ateisme Global
ADVERTISEMENT
Studi National Geographic , misalnya, menunjukkan hal tersebut. Jumlah mereka yang religious nones, terutama mereka yang berada di Amerika Utara, Eropa, dan Australia, terus mengalami peningkatan.
Di Amerika Serikat pada 2012, religious nones mencapai 22,8 persen, atau mencapai 71 juta orang. Di Belanda, pemeluk Kristen memiliki persentase 44 persen, sedangkan mereka yang religious nones mencapai 41 persen. Angka tersebut terus meningkat, dan negara macam Inggris dan Australia diprediksi mengikuti dua negara tersebut.
Sedangkan, banyaknya mereka yang ateis terekam dalam hasil survei WIN/Gallup International . Di tahun 2012, firma survei internasional itu menanyakan kepada lebih dari 50.000 responden dengan rincian sampel sedikitnya 1.000 orang di 57 negara berbeda.
Mereka menemukan bahwa sebanyak 13 persen dari responden global menyatakan dirinya sebagai ateis. Adapun responden diwawancara secara tatap muka di 35 negara, via telepon di 11 negara dan secara online di 11 negara. Margin eror pada survei diklaim sebesar 3 hingga 5 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
ADVERTISEMENT
Ateisme di Timur Tengah?
Ternyata, data yang WIN/Gallup Internasional itu juga menyibak realita lain.
Di Arab Saudi, sebanyak 5 persen dari penduduknya menyatakan bahwa dirinya adalah ateis. Ini berarti jumlah penduduk ateis di negara yang menjadikan Alquran dan sunnah Rasul sebagai konstitusinya itu mencapai 1,4 juta orang.
Data Global Index of Religiosity and Atheism itu juga menyibak keberadaan ateis di negara macam Irak dan Afghanistan, meski jumlahnya tak lebih dari 1 persen. Di teritori Palestina, seperti Tepi Barat dan Gaza, persentase ateis malah cukup tinggi, yaitu mencapai 4 persen.
Bukan angka yang terlalu tinggi, memang. Namun yang menarik, persentase populasi ateis di Arab Saudi sama dengan di Amerika Serikat, negara yang jauh lebih sekuler dan tidak mendudukkan agama sebagai hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Selain Saudi, Palestina, dan Irak, fenomena ateisme di Timur Tengah juga terdapat di Mesir. Dilansir BBC , sebuah surat kabar bernama al-Sabah yang berbasis di Kairo pernah mengklaim bahwa terdapat 3 juta penduduk Mesir yang merupakan ateis. Media tersebut menyebut, para pengkhotbah ekstrem justru “membuat orang-orang takut dan membuat mereka kabur dari agama”.
Sedangkan, data Pengadilan Keluarga dan Mahkamah Agung Mesir pada 2015 menunjukkan dimensi lain soal ateisme. Dalam satu tahun tersebut, ada 6.500 perempuan Mesir yang menggugat cerai suaminya dengan alasan suaminya menjadi ateis atau pindah agama.
Di bawah hukum Mesir, perempuan muslim baru bisa mengajukan gugatan perceraian --salah satunya-- apabila suami mereka pindah agama atau menjadi ateis.
Angka ini cukup mencengangkan, mengingat Mesir adalah salah satu negara yang dianggap paling konservatif soal agama. Di Mesir, hukuman penjara enam tahun menanti siapapun yang terbukti melecehkan agama dalam bentuk apapun. Seorang mahasiswa di Ismailia bahkan ditangkap polisi karena membuat sebuah laman di Facebook yang mempromosikan ateisme.
Sembunyi-sembunyi
ADVERTISEMENT
Mencari tahu keberadaan ateisme di Timur Tengah merupakan perihal yang tak mudah. Seringkali survei dan sensus tak mencerminkan keadaan asli di lapangan.
Sebagian besar ateis di Timur Tengah seringkali menggunakan nama samaran atau berpura-pura tetap menganut agama agar terhindar dari persekusi masyarakat maupun hukuman lainnya.
Di antara 13 negara yang memberlakukan hukuman mati kepada para ateis, enam di antaranya merupakan negara Timur Tengah. Mereka adalah Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Sudan, Uni Emirat Arab, dan Yaman.
Belum lagi dengan adanya alasan ateisme dan meninggalkan agama sebagai salah satu syarat untuk seorang perempuan Muslim di Mesir menggugat cerai suaminya. Ketimbang menunjukkan banyaknya ateis di Mesir, angka itu justru rawan digelembungkan angkanya secara tak tepat karena sulitnya seorang perempuan menuntut cerai suaminya.
Aktif di Jagat Maya
ADVERTISEMENT
Meski begitu, perkembangan dan upaya keterbukaan soal isu ateisme di negara Timur Tengah dapat terlihat di jagat maya.
Di Arab Saudi, misalnya, terdapat beberapa laman internet yang membuka peluang soal kemungkinan menjadi ateis di negara mereka. Laman seperti “Saudis without Religion” , “Spreading Ateism in Saudi” , dan “Saudi Secular” menjadi penanda bahwa gerakan kelompok ateis tetap eksis meski dengan ancaman hukuman mati dan persekusi yang ada.
Aktivitas pro-ateisme yang sama terjadi pula di Mesir. The Black Ducks menjadi salah satu kanal Youtube dan Facebook bagi para ateis Mesir berdiskusi. The Black Ducks sendiri digagas oleh Ismail Mohammed, orang Mesir pertama yang mengumumkan keateisan dirinya secara publik di televisi nasional.
ADVERTISEMENT
Meski laman dan tayangannya sudah dicekal oleh internet, kanal media yang lahir tahun 2013 ini pernah menjadi alat politik dan berkumpul bagi kaum ateis di Arab dan negara Timur Tengah untuk saling berbagi kisah dan membuka forum untuk berdebat terkait agama. Belakangan, kanal tersebut muncul kembali dengan judul The Black Ducks in English.
Ada banyak penyebab mengapa fenomena ateisme meningkat di Timur Tengah.
Meningat politik dan agama erat bersinggungan, mempertanyakan agama juga berarti mempertanyakan politik. Dalam diskusi di banyak laman tersebut, muncul anggapan bahwa sebagian besar rezim di Arab menggunakan dalih agama untuk memperkuat posisi mereka di sektor politik. Ini menjadi salah satu alasan mengapa fenomena ateisme terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Alasan lain diungkapkan oleh Brian Whitaker. Ia menolak anggapan sebelumnya, yang menyebut meningkatnya aktivitas terorisme --yang menjadikan agama untuk berbuat biadab-- sebagai alasan meningkatnya ateisme di Timur Tengah.
Penulis buku Arab Without God (2014) itu menganggap penolakan terhadap agama di Timur Tengah lainnya disebabkan meningkatnya keraguan atas prinsip dasar dari agama yang formal diajarkan di sekolah dan institusi pemerintah.
Urusan agama memang tak pernah mudah.