Aturan MA soal Foto dan Rekam Sidang Harus Seizin Hakim Dinilai Mengekang Pers

22 Desember 2020 9:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Audiens memotret suasana sidang korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Audiens memotret suasana sidang korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2020 yang mengatur tata tertib di persidangan. PERMA yang diteken Ketua MA, M Syarifuddin, pada 4 Desember itu berisi ketentuan dan larangan yang harus dipatuhi pengunjung sidang. Jika tidak, akan dianggap penghinaan pengadilan atau contempt of court.
ADVERTISEMENT
Salah satu aturan yang harus dipatuhi pengunjung sidang yakni memfoto dan merekam sidang harus seizin hakim serta dilakukan sebelum sidang dimulai. Aturan itu termaktub dalam Pasal 4 ayat (6) PERMA 5/2020 yang berbunyi:
Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Berlakunya aturan tersebut menuai kritikan dari Pewarta Foto Indonesia (PFI). PFI menilai aturan tersebut menghambat pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik.
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor. Foto: Soejono Eben/kumparan
Ketua Umum PFI, Reno Esnir, menyatakan kehadiran jurnalis dalam persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan.
"Sehingga semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui PERMA. MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio, dan/atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan," ujar Reno dalam keterangannya, Selasa (22/12).
ADVERTISEMENT
Reno mengatakan peran dan fungsi jurnalis justru dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus.
"Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan. Sebab dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis," jelasnya.
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Reno juga menyayangkan MA kembali menerbitkan aturan serupa yang sebelumnya telah dicabut. Aturan yang dimaksud Reno yakni Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 2 tahun 2020 yang diterbitkan pada 7 Februari 2020.
Isinya hampir serupa di mana salah satunya mengatur ketentuan pengambilan foto, rekaman suara, hingga rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun SE itu dicabut setelah menuai kritikan dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
"Sehingga berdasarkan uraian di atas, PFI mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut Perma No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkup Pengadilan karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi," ucap Reno.
Ilustrasi pers Foto: Nunki Pangaribuan
"Selain itu, PFI Pusat juga meminta MA agar memperhatikan peran jurnalis sebagai perwakilan mata dan telinga publik. Jika semua dibatasi dan ditutupi, publik akan bisa membuat opini-opini liar terkait peraturan ini," tutupnya.
Secara terpisah, juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, menegaskan tidak ada upaya menghalangi kerja jurnalis. Menurutnya, pedoman itu untuk mengatur keamanan selama proses persidangan berlangsung.