Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pemenang Kejuaraan Karate Magetan Itu Juga Berjilbab
6 Januari 2017 13:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Kasus Aulia Siva Real Tyassis, siswi Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Harapan Umat Ngawi yang mundur dari pertandingan karate di Magetan karena jilbabnya, kini telah rampung.
ADVERTISEMENT
Aulia bukannya diminta melepas jilbab seperti informasi yang viral beredar di media sosial, tapi karena jilbab yang ia kenakan tak sesuai standar World Karate Federation (WKF).
Seluruh pihak terkait --sekolah Aulia, Institusi Karate-Do Nasional (Inkanas) Ngawi, dan Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI) Magetan-- sudah berdamai, mengakui telah terjadi kesalahpahaman, dan sepakat tak akan memperpanjang kasus tersebut.
FORKI Magetan menegaskan, akar persoalan bukan terletak pada jilbab, tapi jenis jilbab yang digunakan. Sebab jilbab karateka memang memiliki kriteria khusus, yakni terbuka pada telinga dan leher, agar juri mengetahui jika sang karateka terluka pada dua bagian tubuh itu.
Sejumlah pemenang Kejuaraan Karate Junior Piala Bupati Magetan 2016 pun ternyata karateka berjilbab. Salah satunya bahkan dari tempat Aulia bersekolah, SMPIT Harapan Umat Ngawi. Mereka berhasil memenangkan salah satu nomor yakni, nomor kata beregu putri.
ADVERTISEMENT
Tak hanya dari Ngawi, beberapa kontingen dari wilayah lain pun ada yang mengantarkan karateka berhijabnya meraih medali. Mereka antara lain berasal dari Kontingen Mojokerto.
“Ada beberapa kategori yang kami menangkan, misalnya Krisnarini di Kelas Senior 48 Kg meraih medali emas, Nabilla Firyal di Kelas 35 Kg tingkat SMP juara dua, dan tingkat SD dari Pondok Pesantren Dar'el Hikam juara tiga,” kata Senpai Seprianos, pelatih Kontingen Mojokerto kepada kumparan, Selasa (3/1).
Krisnarini merupakan mahasiswi berjilbab dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat Persatuan Perawat Nasional Indonesia Mojokerto. Ia menjadi murid Seprianos sejak SMA.
Seprianos mengatakan, tak ada bedanya melatih atlet berjilbab atau tidak. Meski, ujarnya, ada sedikit hal yang perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
“Kami tidak membeda-bedakan. Itu akan menimbulkan kecemburuan sosial. Soal syariat jangan dibenturkan,” kata dia.
Namun, imbuhnya, jika karateka berjilbab ini bertarung berpasangan, mereka tidak berpasangan dengan karateka putra.
Seprianos menyatakan, selama puluhan tahun dia melatih karate, cukup banyak karateka berjilbab yang menuai prestasi. Yang penting, ujarnya, memberikan pengertian tentang aturan-aturan karate yang menjadi standar internasional.
“Aturan soal hijab karate jelas. Tidak pernah ada masalah sebelumnya. Itu sudah dijelaskan dalam aturan perwasitan, juga dalam proposal pertandingan,” kata Seprianos.
Bab 2 Pasal 7 pada Aturan Kompetisi Kata (jurus) dan Kumite (tanding satu lawan satu) berbunyi, “Petarung wanita boleh mengenakan hijab sesuai keyakinan agamanya, dengan jenis yang disetujui oleh WKF: jilbab kain hitam polos yang menutupi rambut, tapi tidak leher.”
ADVERTISEMENT
Jilbab standar WKF itu bagaimanapun, menurut sekolah Aulia, tak sesuai syar’i. Pengertian jilbab sendiri secara harfiah ialah “Kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala, leher sampai dada.”
Itu sebabnya SMPIT Harapan Umat Ngawi berharap suatu hari nanti aturan standar jilbab karateka dapat diubah dengan mengakomodasi jenis jilbab syar’i.
Soal aturan standar jilbab karateka yang mengharuskan bagian leher terbuka, Seprianos menegaskan itu semata-mata demi keselamatan si atlet.
“Misal dalam aturan perkaratean, manik-manik dilarang demi faktor keselamatan. Lalu soal leher, di bagian leher (perempuan berjilbab) biasanya ada jarum atau peniti. Itu berbahaya untuk seorang atlet. Nomor satu adalah keselamatan,” kata dia.
Ketua Dewan Wasit Pengurus Besar FORKI, Donald Kolopita, memberikan contoh lain kenapa leher menjadi area vital.
ADVERTISEMENT
“Tenggorokan tidak boleh tertutup, dan setengah kuping harus terbuka. Sebab kalau terkena tendangan tapi tertutup kemudian darah keluar, bisa meninggal,” ujarnya kepada kumparan, Senin (26/12).
Ketua FORKI Magetan, dr. Pengayoman, menyarankan agar pihak yang keberatan dengan jilbab karateka yang dianggap tidak syar’i tersebut, untuk mengajukan protes atau usul resmi kepada FORKI Pusat.
Dalam beberapa kasus, pengecualian diterapkan. Kejuaraan Bandung Karate Club misalnya menyepakati mengizinkan peserta menggunakan jilbab yang menutupi seluruh bagian kepala, kecuali wajah. Sementara ujung jilbab ditaruh di dalam baju karate, bukan di luar, sehingga jilbab tak terlihat menutupi dada.
Pengayoman mengatakan, aturan kerap bersifat dinamis. Maka, bukan tak mungkin solusi lebih memuaskan dicapai di masa depan dengan saling berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
"Semua itu ada salurannya. Kami yang di daerah tak punya kewenangan, silahkan mengadu ke FORKI pusat. Kalau ngadu ke kami, kami bisa apa? Sebab, ini kan juga aturannya dinamis," kata Pengayoman saat berbincang terpisah.