Awal Mula Konflik Pulau Rempang Versi Mahfud: LHK Salah Beri Izin

11 September 2023 10:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 25 September 2023 16:57 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Polhukam, Mahfud MD Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menko Polhukam, Mahfud MD Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Mahfud MD menjelaskan soal awal mula konflik tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang hendak dibangun proyek Rempang Eco City.
ADVERTISEMENT
Menurut Mahfud, masalah ini berawal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang salah memberikan izin.
Dia mengatakan pada 2001 dan 2002, negara telah memberikan hak atas tanah kepada perusahaan lewat surat keputusan (SK).
“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu tahun 2001, 2002,” kata Mahfud kepada wartawan dikutip dari Antara, Senin (11/9).
Anggota Brimob Polda Kepri yang tergabung dalam Tim Terpadu membersihkan pemblokiran jalan yang dilakukan oleh warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Jumat (8/9/2023). Foto: Teguh Prihatna/Antara Foto
Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain karena tanah tersebut kosong. Saat itu investor belum masuk ke Pulau Rempang.
"2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD.
ADVERTISEMENT
Situasi kemudian menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022.
“Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Mahfud MD.
Sejumlah warga terlibat aksi saling dorong saat berunjuk rasa terkait rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang menjadi kawasan ekonomi baru di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (23/8/2023). Foto: ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
Oleh karena itu, kata Mahfud, kekeliruan tersebut perlu diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.
“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” katanya.
Sejumlah petugas yang tergabung dalam Tim Terpadu membersihkan pemblokiran jalan yang dilakukan oleh warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Jumat (8/9/2023). Foto: Teguh Prihatna/Antara Foto
Sementara itu, saat ditanya mengenai status tanah yang kemungkinan merupakan tanah ulayat, Mahfud mengaku tidak mengetahui itu.
ADVERTISEMENT
“Nggak tahu saya. Nggak tahu. Pokoknya proses itu secara sah sudah dikeluarkan oleh pemerintah,” kata Mahfud MD.
Jika memang ada tanah ulayat di Pulau Rempang, Mahfud menyebut kemungkinan datanya ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Badan Pengusahaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) menandatangani perjanjian pengembangan Rempang Eco-City di Kantor Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 12 April 2023. Foto: HO/BP Batam/Antara
Terkait kekeliruan yang diduga dilakukan KLHK, Mahfud menjelaskan ada 5–6 surat keputusan yang dikeluarkan pihak kementerian tetapi itu telah dibatalkan.
“Kalau tidak salah 5–6 keputusan dibatalkan semua, karena memang salah sesudah dilihat dasar hukumnya. Itu lebih tepat dilakukan daripada misalnya dibiarkan berlarut-larut karena haknya itu ada dan mau investasi orang sekarang, banyak investor mau masuk, ternyata tanahnya nggak ada sehingga harus dikosongkan dulu. Itu saja masalahnya sebenarnya,” kata Mahfud MD.
ADVERTISEMENT

Rempang Eco City

ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana melakukan pengukuran dan mematok lahan yang akan digunakan untuk investasi di Pulang Rempang dan Galang.
Ribuan rumah warga yang terkena proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City rencananya akan direlokasi ke sebuah lokasi di Sijantung.
Pemerintah akan membuatkan warga terdampak rumah permanen di lokasi yang baru serta diberi lahan. Namun, warga setempat masih keberatan atas rencana tersebut.
Alhasil, bentrokan antara polisi dan warga pecah pada Kamis (7/9/2023). Bentrokan tidak dapat dihindari ketika polisi berusaha menerobos barikade warga. Aparat membawa water canon dan gas air mata untuk membubarkan massa.
Aksi sejumlah masyarakat yang mencoba menghalangi jalannya personel keamanan gabungan di Pulau Rempang Foto: HO-BP Batam/Antara
Proyek Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Proyek yang dibangun oleh PT Makmur Elok Graha (anak usaha Artha Graha Group) ini masuk dalam Program Strategis Nasional 2023. Pembangunan ini diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus.
Dengan nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 triliun hingga tahun 2080, pengembangan Pulau Rempang diharapkan dapat memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi (spillover effect) bagi Kota Batam serta kabupaten/kota lain di Provinsi Kepri.