Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ayah Prabowo dan Ayah Maher Dekat Sejak di Partai Sosialis Indonesia
1 Agustus 2018 18:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Ketum Gerindra Prabowo Subianto menggelar pertemuan dengan elite PAN dan PKS di kediaman konglomerat Maher Algadri, kawasan Prapanca Dalam, Kemang, Jaksel. Posisi Maher yang bukan merupakan kader partai kemudian menimbulkan tanda tanya. Sebab, biasanya pertemuan antar ketum parpol dilakukan di kantor DPP atau kediaman masing-masing.
ADVERTISEMENT
"Karena tadinya mau menghindari kalian (wartawan). Saya mau cek, kamu tahu dari mana. Wartawan ini gawat, ya," canda Prabowo saat tiba di kediaman Maher, Selasa (31/7) malam.
Kedekatan Maher dengan Prabowo sebenarnya bukan hal baru. Keduanya sudah saling mengenal bahkan sejak Prabowo masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak Sumbangsih, sedangkan Maher yang lima tahun lebih tua sudah duduk di bangku SD.
Bukan tanpa sebab, kedekatan keduanya sebenarnya dimulai dari persahabatan ayah mereka. Ayah Maher, Hamid Algadri, dan ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo, sama-sama tercatat aktif di Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Soemitro, selain dikenal sebagai pakar ekonomi juga dikenal sebagai pentolan PSI. Bahkan, di mata orang-orang PKI, ia kerap dijuluki 'Sosialis Kanan' atau 'Sosialis Salon'.
ADVERTISEMENT
Hingga suatu hari, saat menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Burhanuddin Harahap, keloyalannya terhadap PSI membuatnya terganjal kasus korupsi. Ia dituduh menyumbangkan sejumlah dana kepada partai berlambang bintang merah itu.
"Waktu itu memang ada isu bahwa Soemitro melakukan korupsi, memberikan dana kepada Partai Sosialis Indonesia," ujar Rosihan Anwar yang tercatat dalam buku 'Syahrir: Peran Besar Bung Kecil', terbitan tahun 2010.
Koran-koran kiri seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur sejak awal 1957 mulai merilis soal dugaan korupsi tersebut. Soemitro segera diperiksa Corps Polisi Militer (CPM), namun menolak untuk ditahan karena merasa sebagai korban konspirasi politik. Ia lalu meninggalkan Jakarta dan bergabung dengan aktivis-aktivis daerah di Sumatera.
Sebenarnya, pendiri PSI Sutan Syahrir sempat mengutus beberapa kader partai untuk membujuk Soemitro kembali ke Jakarta. Namun, usaha tersebut sia-sia. Soemitro yang telah membulatkan tekad untuk melawan pemerintahan Presiden Sukarno, justru melanglang buana ke Singapura, Saigon, dan Manila.
ADVERTISEMENT
PSI kemudian menjadi serba salah karena Soemitro adalah kader penting partai tersebut. Puncaknya, Sukarno lalu membubarkan PSI dan Masyumi karena dianggap terlibat pemberontakan.
Namun, Sukarno sempat memberi syarat akan memberikan pengampunan, asal para 'pemberontak' mengakui dirinya sebagai pemimpin besar. Soemitro yang menolak lalu melanjutkan pengembaraannya bersama istri dan anak-anaknya, dan baru kembali setelah Sukarno jatuh.
Sama halnya dengan Soemitro, peran Hamid di PSI juga cukup besar. Hamid bahkan disebut sebagai de jongens van Syahrir atau anak-anak Syahrir karena kedekatannya dengan pendiri PSI itu.
Usai proklamasi, parpol-parpol mulai didirikan kembali. Hamid, yang merupakan keturunan Arab memilih untuk bergabung dengan partai demokrat sosial milik Sutan Syahrir yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri.
ADVERTISEMENT
"Sekarang Indonesia keturunan Arab bisa memilih pihak mana pun, sehingga tidak perlu lagi untuk PAI. Saya bergabung dengan partai demokrat sosial Syahrir, Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan menjadi aktif di parlemen baru," ujar Hamid dalam wawancaranya dengan Cynthia Myntti di Jakarta, Maret dan April 1993.
Hamid tercatat sebagai delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949 yang menghasilkan keputusan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Ia kemudian menjadi anggota Komisi Luar Negeri di parlemen dan sering berkunjung ke berbagai negara di Asia dan Eropa.
Di PSI, Hamid tercatat sebagai anggota biro pusat. Di sana, ia pertama kali berpartisipasi dalam parlemen para tahun 1950 dan baru terpilih sebagai anggota dalam Pemilu 1955.
Setelah Pemilu 1955, dalam konstituen untuk menyusun konstitusi baru di Bandung, ia terpilih sebagai ketua Fraksi PSI. Di sana, ia gencar menyuarakan sikap politik PSI yang menolak pembentukan negara Islam di Indonesia. Sidang konstituen tersebut lalu diibubarkan dan Presiden Sukarno mendekritkan kembali ke UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Partai kami percaya pada demokrasi multi-partai, sangat mendukung gagasan hak asasi manusia yang kemudian dideklarasikan di PBB, dan mendorong ekonomi terencana dengan gabungan publik dan sektor swasta," ujar dia dalam wawancara yang sama.
Baru pada tahun 1958, sebagai ketua fraksi dari partai PSI, ia menggelorakan pidato mengenai advokasi hak asasi manusia yang berjudul 'Perjuangan Manusia Terhadap Alam dan Pengikutnya Selama Berabad-abad'.
Sepak terjang Soemitro dan Hamid di PSI membuat keduanya menjadi dekat, bahkan menularkan persahabatan keduanya kepada anak-naka mereka, Prabowo dan Maher. Bahkan, dalam wawancara Majalah Tempo papda 30 Juni 2014, Maher menyebut sejak dulu keluarganya kerap berkumpul dengan keluarga besar Prabowo.
"Tapi, karena sejak kecil bergaul dengan para pemikir negara, kami (Prabowo dan Maher) sudah terbiasa dengan kehidupan politik," ujar Maher dalam wawancara itu.
ADVERTISEMENT
Live Update