Bagaimana Fasisme Bangkit di Italia di Tangan Calon PM Baru Giorgia Meloni

26 September 2022 15:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Giorgia Meloni, calon kuat PM Italia. Foto: Instagram/@giorgiameloni
zoom-in-whitePerbesar
Giorgia Meloni, calon kuat PM Italia. Foto: Instagram/@giorgiameloni
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Giorgia Meloni pertama kali bersentuhan dengan dunia politik ketika dia masih menjadi seorang remaja yang mengagumi diktator fasis, Benito Mussolini. Selang beberapa dekade kemudian, Meloni menuntun kaum sayap kanan kembali mendominasi Italia.
ADVERTISEMENT
Meloni berhasil merombak Partai Brothers of Italy (Fdl) yang sebelumnya terpojokkan dalam politik hingga menempati posisi teratas dalam jajak pendapat pemilu.
Koalisi sayap kanannya diprediksi akan meraih mayoritas kursi di kedua majelis parlemen pula. Dengan demikian, Meloni akan segera menggenggam negara itu dalam tangannya.
Meloni akan menjadi perdana menteri perempuan pertama di Italia, serta pemimpin sayap kanan pertama sejak Perang Dunia II. Dia menyimpulkan identitasnya dalam sebuah pidato yang kemudian menjadi viral sebagai lelucon di internet:
"Saya Giorgia, saya seorang wanita, saya seorang ibu, saya orang Italia, saya orang Kristen," ujar Meloni dalam sebuah rapat umum pada 2019, dikutip dari AFP, Senin (26/9).
Pernyataan itu kembali disorot dalam pemilu pada Minggu (25/9). Sebagaimana kelompok sayap kanan lainnya, Fdl menyerukan pesan-pesan nasionalis. Pihaknya menyokong nilai konservatif dan keluarga tradisional, serta menentang imigrasi dan pasangan sesama jenis.
Giorgia Meloni, calon kuat PM Italia. Foto: Instagram/@giorgiameloni
Mengusung moto 'Tuhan, Tanah Air, Keluarga', Meloni mempertahankan akarnya. Dia mengaku menjauhi fasisme, tetapi enggan melepaskan slogan yang digunakan selama era fasis tersebut.
ADVERTISEMENT
Logo Fdl pun menirukan Italian Social Movement (MSI). Partai neo-fasis itu dibentuk oleh para pendukung rezim Mussolini pada 1946.
Bagaimanapun juga, Meloni hanya mengadopsi pendekatan yang lebih 'halus' dibandingkan dengan para pendahulunya. Dia bersikeras tidak akan menghapus undang-undang aborsi, tetapi menekankan perlunya meningkatkan tingkat kelahiran di Italia.
Pejabat partainya bahkan turut menyinggung teori 'Great Replacement'. Para pendukung teori itu meyakini adanya elite global yang berniat membawa imigran untuk menggantikan orang Eropa.
Berbagai kontroversi tersebut lantas membuat orang-orang di luar Italia mempertanyakan bagaimana Meloni bisa mengambil kendali di negara yang pernah menderita di bawah kediktatoran Mussolini.
"Italia adalah negara yang tidak pernah berdamai dengan masa lalu fasisnya," ungkap jurnalis dan kritikus sayap kanan ekstrem di Italia, Paolo Berizzi, dikutip dari The Guardian.
ADVERTISEMENT
"Fasis tidak mati pada 1945; mereka selalu ada," lanjut dia.

Era Pascaperang

Diktator fasis Italia, Benito Mussolini. Foto: AFP/Publifoto
Menjawab pertanyaan seputar popularitas fasisme berarti menjelajahi masa setelah Perang Dunia II. Disadur dari The Guardian, perang saudara antara kelompok yang didukung Nazi dan pejuang Italia meletus menyusul penggulingan Mussolini pada 1943.
Akibatnya, pembersihan pengaruh fasis dari institusi-institusi dikesampingkan di Italia. Negara tersebut kemudian menjalankan program amnesti untuk membebaskan ribuan fasis dari penjara.
Banyak dari mereka mengambil pekerjaan dalam struktur pemerintahan pascaperang. Misalnya saja, Ettore Messana diangkat sebagai inspektur jenderal untuk keamanan publik di Sisilia. Padahal, namanya muncul dalam daftar kejahatan perang PBB.
"Setelah perang, ada banyak orang Italia yang berpikir bahwa, terlepas dari konflik, Mussolini tidak memerintah dengan begitu buruk," terang profesor sejarah di Universitas Palermo, Salvatore Lupo.
Mantan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi. Foto: Yara Nardi/REUTERS
Seorang menteri kebudayaan di negara boneka Nazi, Giorgio Almirante, memanfaatkan situasi untuk mendirikan MSI bersama para mantan anggota Partai Fasis Nasional (PFN) Mussolini. Tiga politikus neo-fasis lantas duduk di Parlemen Italia pada 1948.
ADVERTISEMENT
MSI masih dikesampingkan dari politik arus utama sampai awal 1990-an. Setelah pembubarannya, mereka membentuk Partai National Alliance (AN) pada 1995. AN pun kemudian dibubarkan.
Sejumlah mantan anggota membentuk Fdl, sedangkan yang lainnya membangun Partai Forza Italia (FI). Pemimpin FI, Silvio Berlusconi, masih membanggakan keterlibatannya pada 2019. Dia mengatakan, merekalah yang pertama kali mendukung kaum neo-fasis di Italia.
"Pada tahun-tahun itulah revisionisme kriminal fasisme, sebagaimana saya menyebutnya, dimulai, didorong oleh talkshow dan banyak surat kabar. Berita palsu mulai beredar seputar fasisme, yang hingga saat ini masih ditampilkan sebagai rezim yang 'melakukan banyak hal hebat'," papar Berizzi.
Banyak masyarakat masih meyakini bahwa Mussolini memperkenalkan kebijakan-kebijakan penting, seperti perumahan umum di Italia. Nyatanya, kebijakan itu telah berlaku hampir 20 tahun sebelum pemerintahannya, yakni sejak 1903.
Menteri Dalam Negeri Italia, Matteo Salvini. Foto: REUTERS/Stefano Rellandini
Bahkan lebih dari 70 tahun setelah kematiannya, ribuan orang bergabung dengan kelompok-kelompok fasis. Mereka menyalahkan arus pengungsi atas gejolak ekonomi dan politik. Dengan latar belakang itu, Fdl bangkit dari abu MSI dan AN pada 2012. Selang dua tahun kemudian, Meloni naik menjadi pemimpinnya.
ADVERTISEMENT
"Meloni menjadi pemimpin partainya dalam periode di mana fasisme di Italia hampir dinormalisasi dan menjadi populer di kalangan anak muda," jelas Berizzi.
Patung dan kalender yang menggambarkan Mussolini saat itu dijual di toko-toko, sementara hormat Nazi telah menjadi simbol rakyat di Italia. Pendapat serupa muncul dari seorang akademisi yang menulis buku tentang masa kekuasaan Mussolini, Antonio Scurati.
Scurati mengatakan, Italia memandang dirinya sebagai korban ketika membicarakan perang dan hukum rasial, sehingga tidak dapat mengakui bahwa dirinya sendiri bisa menjadi pendukung fasisme.
"Sementara di Jerman ada proses panjang untuk mengatasi masa lalu, yang memiliki prasyarat untuk membuat semua orang Jerman merenungkan tanggung jawab bersama atas kejahatan nazisme, di Italia proses ini tidak pernah terjadi," kata Scurati.
ADVERTISEMENT
"Bila Mussolini bangkit, orang Italia akan memilihnya kembali. Faktanya, orang Italia, Eropa, Amerika Utara, dan Brasil telah memilih beberapa neo-Mussolini," sambung dia.

Koalisi Sayap Kanan Meloni

Giorgia Meloni, calon kuat PM Italia. Foto: Instagram/@giorgiameloni
Dilansir The Conversation, Pemerintahan sayap kanan memiliki sejarah yang panjang di Italia. Aliansi 'kanan tengah' telah memerintah negara itu hingga empat kali antara 1994 dan 2011. Aliansi tersebut terdiri dari FI, AN, dan Partai Lega Nord (LN).
Keseimbangan kekuasaan dalam aliansi tersebut bergeser antara 2013-2017 ketika Matteo Salvini mengambil alih kendali LN. Dia meninggalkan regionalisme untuk nasionalisme, serta mendorong sayap kanan ekstrem dengan mengadopsi slogan 'Italia Pertama'.
Meloni memanfaatkan keberhasilan Salvini untuk membawa ide-ide sayap kanan ke dalam politik arus utama. Dia mengeklaim bahwa partainya sudah melepaskan masa lalunya. Nyatanya, Meloni masih menganut pandangan garis keras.
ADVERTISEMENT
Meloni menentang pernikahan sesama jenis, membatasi akses aborsi, dan mengungkapkan ucapan Islamofobia yang umum ditemukan dalam kaum sayap kanan Eropa. Dia menggambarkan imigrasi sebagai invasi dan menyebutnya sebagai siasat PBB.
Giorgia Meloni, calon kuat PM Italia. Foto: Instagram/@giorgiameloni
Keberhasilannya tidak mengejutkan bila mengingat jalur yang dibentuk oleh para tokoh-tokoh pendahulu Meloni. Kendati demikian, Meloni bersikeras bahwa partainya tidak memiliki ruang untuk bernostalgia dengan era fasis.
Meloni sering kali menggambarkan Fdl sebagai kaum konservatif. Dia memosisikan dirinya melawan 'ideologi kiri' dan menyamakan partainya dengan Partai Republik AS dan Partai Konservatif Inggris.
"Ya untuk keluarga alami, tidak untuk lobi LGBT, ya untuk identitas seksual, tidak untuk ideologi gender, ya untuk budaya kehidupan, tidak untuk jurang kematian," seru Meloni dalam pidato pada Juni, dikutip dari Reuters.
ADVERTISEMENT
"Tidak untuk kekerasan Islam, ya untuk perbatasan yang lebih aman, tidak untuk imigrasi massal, ya untuk bekerja untuk rakyat kita, tidak untuk keuangan internasional utama," lanjut dia seiring suaranya meninggi dan wajahnya memerah oleh amarah.