Bagaimana Idul Fitri Dirayakan pada Masa Kolonial?

24 Mei 2020 16:18 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Haji Muchtar Lutfi membuka upacara takbir besar-besaran di suatu alun-alun Makassar. Foto: Wikipedia/ Tropenmuseum
zoom-in-whitePerbesar
Haji Muchtar Lutfi membuka upacara takbir besar-besaran di suatu alun-alun Makassar. Foto: Wikipedia/ Tropenmuseum
Bagaimana masyarakat merayakan Idul Fitri dalam masa penjajahan?
Tidak banyak berbeda dari apa yang terjadi sekarang adalah jawabannya, apabila kita menengok apa yang dicatat oleh Snouck Hurgronje dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939.
Seperti dikutip dari Historia.id, Snouck mencatat bahwa kebiasaan saat Idul Fitri seperti menyediakan hidangan-hidangan khusus, saling bertandang ke rumah kerabat, dan membeli pakaian baru untuk digunakan di Idul Fitri sudah dilakukan sebelum 1904.
"Bahkan juga kebanyakan orang Jawa yang sama sekali tidak berpuasa, ikut pula merayakan pesta ini dengan tidak kurang gembiranya daripada orang-orang saleh," tulis Snouck, dikutip dari sumber yang sama. Bahkan, saking luasnya perayaan Idul Fitri, beberapa pejabat Hindia Belanda sampai agak risih dan menilai perayaan-perayaan tersebut sebagai sebuah langkah pemborosan.
Demi mengintip bagaimana Idul Fitri dirayakan saat Indonesia belum merdeka, kumparan mengumpulkan beberapa foto lebaran masa lampau dari koleksi Tropenmuseum, Belanda.
Pada foto pertama di atas, terlihat Haji Muchtar Lutfi membuka takbir saat salat Idul Fitri. Di Makassar Haji Muchtar Lutfi menjadi salah satu tokoh Islam yang lantang menyuarakan kemerdekaan.
Lahir di Agam, Sumatra Barat, Muchtar pernah mengarang sebuah buku yang menentang pemerintahan Kolonial Belanda. Dia kemudian menjadi buron dan akhirnya harus berpindah-pindah tempat persembunyian, bahkan hingga ke Malaysia, Arab, dan Mesir.
Para wanita telah menyiapkan pesta pada acara Idul Fitri setelah bulan puasa Ramadan di Sumatera Barat. Foto: Wikipedia/ Tropenmuseum
Sekalipun sedang dijajah Belanda, Idul Fitri tetap disambut meriah masyarakat di tanah Minang. Tua, muda, hingga anak-anak semua berkumpul di sekitar surau yang menjadi tempat masyarakat belajar agama.
Masyarakat Minang kemudian turut memegang peran penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Gerakan pembaharuan Islam yang dilantangkan oleh kelompok Padri lahir di daerah Sumatra Barat.
Gerakan ini menentang kebiasaan buruk masyarakat, seperti judi, sabung ayam, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya. Namun, lama-lama gerakan ini berubah menjadi perlawanan kepada Kolonial Belanda.
Salat Idul Fitri di bulan suci Syawal awal dari Suikerfeest setelah bulan puasa Ramadan. Foto: Wikipedia/ Tropenmuseum
Di era Kolonial, suasana mendadak berubah saat memasuki tanggal 1 Syawal. Orang-orang berpenampilan khusus dan berkumpul dalam tanah-tanah yang lapang. Mereka menggelar salat Idul Fitri sebagai momen kemenangan setelah berpuasa sebulan lamanya melawan hawa nafsu.
Terangkum dalam catatan Hurgronje yang dikutip Historia, momen Idul Fitri dirayakan begitu meriah. Pesta ada di mana-mana. Masyarakat pun memakai baju baru dan saling bertandang ke kerabat ataupun tetangga untuk bermaafan.
Kebiasaan saling berkunjung dan memakai baju baru itu menurut Snouck mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa. “Karena itu perayaan ini di kalangan bangsa Eropa seringkali keliru disebut ‘Tahun Baru Pribumi’,” tulis Snouck dalam Islam di Hindia Belanda.
Kolam ikan dikosongkan selama Lebaran (Suikerfeest setelah Ramadan). Foto: Wikipedia/ Tropenmuseum
Takbir, ketupat, dan THR menjadi tradisi tersendiri dalam perayaan Idul Fitri. Namun, di masa penjajahan Belanda, muncul tradisi mengosongkan isi dari kolam-kolam ikan oleh penduduk.
Hal itu tergambar dalam koleksi foto yang dihimpun oleh Museum Tropen Belanda. Tetapi tak disebutkan secara pasti di mana dan kapan tahun dari kebiasaan tersebut.
Kerbau-kerbau disiapkan untuk disembelih pada akhir bulan Ramadan di Masjid Raya Baiturrahman, Kuta Raja (sekarang Banda Aceh). Foto: Wikipedia/ Tropenmuseum
Kota Serambi Mekkah punya tradisi khusus dalam menyambut Idul Fitri saat era Kolonial. Di Masjid Baiturrahman, tempat ibadah yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda tahun 1612, masyarakat Banda Aceh biasa menyiapkan kawanan kerbau untuk disembelih jelang lebaran. Namun, tradisi tersebut tidak lagi ada saat ini.
“Paling kalau di Banda Aceh di masjid-masjid kecamatan atau desa yang ada. Itu juga waktu Idul Adha. Kalau Idul Fitri jarang. Karena di Aceh ada tradisi Makmeugang,” tutur Zuhri, seorang warga Aceh kepada kumparan.
Makmeugang bukanlah sebuah kewajiban. Namun, sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Aceh untuk membeli daging sapi atau kerbau jelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Daging itu kemudian dimasak menjadi dua jenis panganan, gulai kari dan rendang. Setelah itu disantap bersama keluarga di atas meja makan atau secara lesehan beralaskan tikar. Suasana ini menjadi momen terindah di hari meugang.
****
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.