Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang gugatan terhadap UU KPK yang baru, UU Nomor 19 Tahun 2019, pada Rabu (24/6).
ADVERTISEMENT
Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan ahli dari perkara nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diajukan eks Ketua KPK Agus Rahardjo dkk. Ahli yang diajukan yakni eks Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan dan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto.
Dalam keterangannya di sidang MK, Bagir menilai terdapat anomali dalam proses pengesahan revisi UU KPK menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019. Anomali yang dimaksud yakni tak adanya tanda tangan Presiden Jokowi dalam pengesahan revisi UU KPK. Padahal pemerintah telah memberi persetujuan revisi UU KPK sebelum disahkan dalam rapat paripurna DPR.
"Ada semacam anomali. RUU KPK baru adalah hasil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Tidak mungkin sampai kepada Presiden untuk disahkan, tanpa terlebih dahulu ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden," ujar Bagir saat memberi keterangan ahli via video conference.
ADVERTISEMENT
"Walau pun UUD 1945 memungkinkan suatu RUU menjadi UU tanpa pengesahan Presiden, tetapi apakah prosedur semacam itu tidak merupakan anomali praktik ketatanegaraan mengingat RUU yang disampaikan kepada Presiden untuk disahkan adalah hasil persetujuan bersama DPR dan Presiden," lanjut Bagir.
Bagir menilai adanya anomali itu menunjukkan proses pengesahan revisi UU KPK tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan UU yang baik. Terlebih hingga kini Presiden Jokowi belum memberi alasan mengapa tak meneken revisi UU KPK menjadi UU.
"Sebagai suatu beleid (diskresi) dalam tatanan demokrasi dan negara hukum, keputusan Presiden membiarkan RUU KPK menjadi UU tanpa pengesahan semestinya disertai alasan-alasan yang cukup yang dapat diketahui publik," ucapnya.
Selain itu, Bagir berpendapat proses revisi UU KPK tidak memperhatikan masukan publik yang menolak adanya perubahan. Padahal dalam demokrasi, memperhatikan pandangan atau pendapat publik merupakan suatu prosedur yang sama sekali tidak boleh diabaikan.
ADVERTISEMENT
"Cukup banyak pernyataan publik baik dari dalam kampus, publik di luar kampus, tulisan-tulisan di media massa, kumpulan-kumpulan ahli yang meminta agar UU KPK yang lama tetap dipertahankan dan menghentikan pembahasan RUU KPK yang baru," kata Bagir.
"Namun apa yang terjadi? DPR maupun Pemerintah sama sekali tidak (kurang) merespons atau sekurang-kurangnya kurang sekali mempertimbangkan (memperhatikan) pernyataan-pernyataan publik yang bersangkutan," lanjutnya.
Lebih lanjut, Bagir menganggap proses revisi UU KPK juga mengabaikan prinsip kehati-hatian. Sebab proses revisi UU KPK dilakukan dalam waktu yang singkat yakni 12 hari.
"Ada ketergesa-gesaan. Pembentuk UU kurang sekali merespons pendapat publik. Dalam negara demokrasi, mengabaikan pendapat publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik," tutupnya.
ADVERTISEMENT
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.