Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Balada Nazam Aceh yang Hilang Tergerus Zaman
24 Februari 2018 14:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Sebuah tradisi, kesenian dan kebudayaan menjadi jati diri bagi suatu daerah, sejatinya harus dijaga dan dilestarikan sehingga tak hilang meski zaman terus berganti. Tapi tidak dengan tradisi Aceh yang satu ini, riwayatnya nyaris ditelan bumi.
ADVERTISEMENT
Nazam Aceh, merupakan jenis puisi lama (sastra Arab) yang ditulis dengan tulisan Arab Jawi dan bahasa Aceh-Melayu tempo dulu. Di era modern, Nazam menyerupai nasyid, namun ia memiliki ciri khas sendiri. Nazam tidak lebih dari dua belas suku kata, dibacakan dengan irama tertentu.
Nazam mengandung nasihat sangat tinggi. Nilai dakwahnya tidak diragukan lagi. Dibuka dengan puji-pujian, ditutup dengan doa. Pada bagian penutup, juga menyinggung soal kepengarangan naskah, Teungku Dicucum dan keluarga Syeh Abdus Samad. Juga beberapa ulama besar Aceh dalam wasilah doa penutup.
Sabtu pagi pertengahan Februari kumparan (kumparan.com) menelusuri tentang histori, kisah dan pengalaman sosok pelantun di balik Nazam Aceh. Di depan rumah setengah papan, sosok lelaki paruh baya menebar senyum seakan ia telah mengetahui kedatangan kami pagi itu. Ia adalah Teungku Ismail atau akrap disapa Cut’E, merupakan salah seorang yang melestarikan Nazam Aceh.
Cut’E adalah warga Desa Tanjong Dayah, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Lelaki kelahiran 1951 itu sudah 45 tahun membaca Nazam. Baginya Nazam adalah ilmu yang sangat berguna karena banyak mengajarkan tentang ajaran agama. Di setiap kalimat Nazam tersirat berbagai sifat dan akhlak sesuai ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian ia mengeluhkan sejarah Nazam yang hari ini semakin terkikis bahkan hampir tidak ada yang mengetahui. Ia menceritakan Nazam yang sering ia bacakan ialah Nazam Syekh Abdussamad atau Teungku Di Cucum dengan judul asli “Akhbarul Na’im” (Kabar Yang Nikmat) yang ditulis pada tahun 1269 Hijriah.
“Sudah sangat sedikit bahkan nyaris punah keberadaan dan tidak ada penerus lagi,” katanya, mengawali cerita bersama kumparan, Sabtu (24/2).
Secara umum isi Nazam Teungku Di Cucum merupakan nasihat bagi umat Islam sepanjang hayatnya, misalnya sejak dalam kandungan, lahir ke dunia, usia anak-anak, remaja, menikah, beranak-cucu, berumur, hingga sampai meninggal dunia.
“Pembacaan Nazam berbeda dengan ceramah sebab ia kalau sudah dibaca pasti harus dihabiskan,” kata dia sambil memperlihatkan Nazam salinan Syekh Andid sebanyak 328 halaman.
Cut’E menilai generasi sekarang banyak yang tidak tertarik terhadap Nazam karena kurangnya pengenalan. Selain itu ia juga menyayangkan generasi sekarang yang tidak peka terhadap peninggalan sejarah Aceh khususnya Nazam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
“Walaupun sudah puluhan tahun menyelamatkan Nazam, sama saja kalau tidak ada perhatian dan dukungan dari Pemerintah. Sebab jika tidak diselamatkan maka Nazam ini akan punah dengan seiring waktu,” katanya.
Ahli Hikayat Aceh, Teuku Abdullah Sakti yang akrab disapa TA Sakti menjelaskan, di dalam Nazam ada syair-syair tentang agama Islam. Dalam Nazam, banyak hal yang diceritakan, ada tentang ajaran Fikah (Kitab) kemudian tentang hadis-hadis Nabi dan kisah perjalanan Nabi.
"Cerita agama itulah Nazam,” kata TA Sakti, saat ditemui kumparan di rumahnya.
TA mengatakan, dulu Nazam digunakan dalam kegiatan pengajian, pesta pernikahan dan maulid (tradisi keagamaan). Yang punya hajatan pasti akan mengundang para ahli untuk membaca Nazam. Tentunya dihadiri orang ramai.
TA Sakti mengisahkan, pada tahun 1960 para pembaca dan penyalin Nazam cukup sukses di Aceh. Mereka rela menempuh puluhan kilometer dari kota ke kota untuk membaca Nazam. Pembaca Nazam ialah orang-orang yang taat dengan agama.
ADVERTISEMENT
Namun perkembangan zaman tak bisa dielakkan. Ia menilai peminat Nazam Aceh saat ini sangat berkurang bahkan hilang. Hal ini disebabkan perkembangan zaman. Ia membandingkan Aceh tempo dulu dengan kondisi Aceh sekarang. Nazam di samping sebagai pembelajaran agama juga menjadi hiburan.
“Disini juga ada lucu-lucunya sedikit, tapi karena sekarang hiburan sudah banyak sekali, membuat orang membaca semakin sedikit. Kalau dulu orang Aceh hidup dengan hikayat, siang malam orang Aceh selalu membaca hikayat,” kata TA Sakti sembari menunjukan beberapa hikayat dan Nazam di tangannya.
Hikayat berbeda dengan Nazam, Nazam tersebut lebih dekat dengan ajaran agama. Orang yang belajar Nazam juga bukan orang sembarangan. Harus terlatih membaca huruf arab jawi.
“Masalahnya sekarang hingga kini belum ada penerus pembaca Nazam,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Nazam ini merupakan kumpulan dari berbagai kitab, baik itu Arab maupun kitab Jawi. “Intinya kita berpatokan sumbernya dari Alquran dan Hadits,” tambah TA Sakti, yang juga berprofesi sebagai dosen sejarah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.