Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Bamsoet Cecar Capim KPK Setyo soal Korupsi, Singgung 'NPWP' Nomor Piro Wani Piro
18 November 2024 18:57 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo atau Bamsoet, mencecar salah satu calon pimpinan (Capim) KPK, Setyo Budiyanto, terkait alasan sulitnya melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Terutama yang berkaitan dengan aktor politik.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikannya saat Setyo Budiyanto menjalani fit and proper test Capim KPK di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Senin (18/11). Setyo merupakan Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian (Kementan) RI.
Bamsoet pun menyoroti apakah kesulitan KPK dalam memberantas korupsi di sektor politik tersebut disebabkan karena sistem demokrasi yang dijalankan Indonesia.
"Nah menurut Saudara calon apa sebenarnya yang mendorong KPK atau korupsi ini sulit diberantas, baik oleh KPK, Kejaksaan, maupun Kepolisian?" cecar Bamsoet ke Setyo Budiyanto.
"Apakah pilihan sistem demokrasi yang kita anut hari ini yang memaksa, mendorong orang-orang yang memiliki jabatan publik itu melakukan tindak pidana korupsi?" lanjut dia.
Bamsoet pun membeberkan data ratusan anggota legislatif dan kepala daerah yang sempat ditersangkakan oleh KPK sepanjang 2004-2020.
ADVERTISEMENT
Ia juga mengakui bahwa untuk mendapatkan jabatan itu memang mengeluarkan modal yang tak sedikit.
Kemudian, Bamsoet menyinggung saat ini cenderung memilih calon legislatif maupun calon kepala daerah berdasarkan uang yang diberikan. Ia pun menggunakan istilah NPWP atau nomor piro wani piro.
"Artinya apa? Di satu sisi, sistem demokrasi makin lama makin lari dari substansinya, kita lebih daripada menjurus pada NPWP, nomor piro wani piro, dan ini juga mendorong meningkatnya tindak pidana korupsi," ungkapnya.
Menanggapi itu, Setyo menjelaskan bahwa mestinya para caleg maupun calon kepala daerah tersebut memahami privilege yang dimilikinya bisa terjun langsung dalam kontestasi politik.
"Jadi, kalau sudah masuk dalam lingkungan politik dia tidak boleh lagi kemudian nuntut, kemudian statusnya di situ minta kemudian disanjung, kemudian minta kemudian diberikan kelebihan fasilitas, kemudian diberikan hal-hal yang di luar daripada apa yang menjadi haknya," tutur Setyo.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, jika hal itu dilakukan oleh aktor politik, justru akan menjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
"Kalau dia minta yang seperti itu, maka yang terjadi adalah ini abuse of power," imbuh dia.
"Harusnya dia paham karena mendapatkan privilege, mendapatkan kekuasaan, mendapatkan kelebihan-kelebihan, nah dari situ maka harusnya dia paham," pungkasnya.