Bamsoet: Darurat Politik Jika Pemilu Molor, Tak Ada Presiden, DPR hingga Menteri

30 Agustus 2023 0:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bambang Soesatyo di Podcast Akbar Faizal Uncensored Spesial HUT ke-78 MPR RI. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Bambang Soesatyo di Podcast Akbar Faizal Uncensored Spesial HUT ke-78 MPR RI. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengungkapkan, konstitusi Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Meskipun sudah empat kali diamandemen, masih banyak ruang kosong yang tidak ter-cover oleh konstitusi. Konstitusi tidak memberikan 'pintu darurat' manakala terjadi kedaruratan.
ADVERTISEMENT
Misalnya, tidak ada ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui pemilu, seperti Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota.
Jabatan-jabatan itu akan kosong bila pemilu tidak bisa dilaksanakan. Bamsoet mencontohkan, kondisi tersebut bisa saja terjadi karena gempa bumi megathrust, perang, kerusuhan massal, maupun karena pandemi.
"Jika pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi, maka secara hukum tidak ada anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah maupun presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk pemilu. Menteri pun sudah berakhir masa jabatannya karena mengikuti masa jabatan presiden yang tersisa hanya Panglima TNI dan Kapolri," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Selasa (29/8).
ADVERTISEMENT
"Dalam keadaan tersebut timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan darurat politik tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilu? Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilu tertunda?" tambahnya.
Bambang Soesatyo di Podcast Akbar Faizal Uncensored Spesial HUT ke-78 MPR RI. Foto: Dok. Istimewa
Mantan Ketua DPR RI ini menjelaskan, di masa sebelum amandemen keempat konstitusi, MPR RI bisa mengeluarkan Ketetapan (TAP) yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi.
Namun, apakah MPR saat ini masih memiliki kewenangan mengeluarkan TAP, Bamsoet menilai itu masih menjadi perdebatan.
"Prof Yusril berpandangan, tanpa amandemen konstitusi maupun menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, MPR RI tetap bisa mengeluarkan TAP. Caranya yakni melalui Sidang Paripurna MPR RI yang memutuskan bahwa MPR RI bisa mengeluarkan TAP MPR RI," kata Bamsoet.
ADVERTISEMENT
"Pasal 7 UU Nomor 12/2011 menjelaskan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, UU/Perppu, dan seterusnya. Posisi TAP MPR yang lebih tinggi dari UU secara otomatis bisa menghapuskan ketentuan Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 12/2011 yang membatasi masa berlakunya TAP MPR RI," sambung mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan itu.
Bambang Soesatyo di Podcast Akbar Faizal Uncensored Spesial HUT ke-78 MPR RI. Foto: Dok. Istimewa
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menekankan pentingnya mengembalikan kewenangan subjektif superlatif MPR RI melalui Tap MPR RI. Hal itu seperti presiden yang memiliki kewenangan Perppu manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan memaksa.
TAP MPR RI, menurut Bamsoet, merupakan solusi dalam mengatasi berbagai persoalan negara tatkala dihadapkan pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan kahar fiskal dalam skala besar.
ADVERTISEMENT
"Misalnya, ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR RI, kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR RI dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK," tutur Bamsoet.
"Mengingat sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara," pungkas Bamsoet.