Banyak Daerah Sengaja Kecilkan Tes, Positivity Rate Kini Acuan Zonasi Corona

6 Juli 2021 10:47 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
300 santri di Pondok Pesantren di Depok jalani tes corona. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
300 santri di Pondok Pesantren di Depok jalani tes corona. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Kasus konfirmasi harian corona di Indonesia beberapa waktu ini selalu menyentuh angka di atas 20 ribu dan bahkan nyaris 30 ribu. Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan testing di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah menyampaikan langkah tersebut dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Senin (5/7). Saat ini testing sudah tak lagi menggunakan angka 1/1000 penduduk/minggu lantaran positivity rate di berbagai daerah sudah melampaui 5 persen.
"Beberapa provinsi yang sudah mencapai angka tersebut selalu menyampaikan ke saya kan kita sudah lewat. Kita sampaikan ke teman-teman angka 1 per 1000 itu untuk positivity rate di bawah 5 persen. Kalau itu artinya laju penularannya sudah sangat tinggi itu tesnya harus dibuat lebih kecil-kecil, lebih banyak, supaya tidak ada yang lolos tidak teridentifikasi," jelas Budi.
Saat ini menurut Budi, banyak daerah yang sengaja tidak memperbanyak testing lantaran ingin daerahnya terlihat baik-baik saja. Dalam kata lain berarti masuk dalam zonasi yang tergolong penularan COVID-19 yang berisiko rendah.
ADVERTISEMENT
"Saya mohon bantuan bapak ibu sekalian karena testing ini dipakai penilaian suatu daerah. Jadi seakan-akan semua daerah berebutan agar nilainya kelihatan baik dengan cara tidak membuka testing di sana atau tidak melakukan testing sebesar yang seharusnya," tambahnya.
Karena maraknya kejadian tersebut, kini penerapan zonasi risiko tidak lagi menggunakan kasus konfirmasi sebagai acuan, melainkan menggunakan positivity rate. Sehingga, jika positivity rate berada di atas 5 persen, harus ada peningkatan testing yang lebih massif di daerah tersebut.
"Oleh karena itu kita akan mengubah, kita tak akan melihat lagi merah kuning hijaunya berdasarkan kasus konfirmasi tapi berbasiskan positivity rate. Kalau testingnya sudah 1 kali WHO tapi masih tinggi, artinya testingnya kurang banyak. Masih banyak orang tertular dan tidak teridentifikasi dan berkeliaran ke mana-mana. berbahaya buat teman-teman kita yang lain," jelas Budi.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Budi juga menambahkan bahwa testing bisa 5 hingga 15 kali lebih banyak dari standar WHO seperti yang dilakukan India. Dengan cara itu, maka akan semakin banyak mengetahui pasien-pasien yang tertular dan bisa ditindaklanjuti.
"India saja sampai 10 kali dari standarnya WHO. Itu yang kita kejar sehingga untuk daerah yang positivity rate di atas 25 persen kita minta 15 kalinya WHO. Kalau 15-25 (persen) 10 kali WHO kalau bisa. Kalau 5-15 (persen) 5 kali WHO. Dengan demikian kita bisa tau siapa yang tertular lebih cepat. dan kita bisa tindakan isolasi atau di rawat di rumah sakit sehingga tidak menular," pungkas Budi.