LIPSUS Banjir Jabodetabek, Cover Story

Bappeda DKI Jakarta soal Banjir: Berbagai Cara Sudah Diupayakan

27 Januari 2020 14:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kalau Anda pikir banjir 2007, 2015, dan (Tahun Baru) 2020 adalah yang terburuk bagi Jakarta, hmm… belum tentu. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut bahwa risiko banjir saat ini meningkat 2-3 kali lipat dibanding pada masa lalu di awal tahun 1900-an.
Data BMKG menunjukkan, dalam satu abad terakhir, frekuensi banjir Jakarta meningkat di tiga dekade belakangan seiring peningkatan intensitas curah hujan harian. Berikutnya, meski curah hujan pada musim hujan tidak banyak berubah, namun jumlah hari hujan lebat meningkat. Artinya, potensi bencana hidrometeorologi meningkat.
Analisis itu tercantum dalam laporan Evaluasi Iklim Tahun 2019 dan Outlook Iklim Tahun 2020 yang disampaikan BMKG di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (13/1).
Itu jelas kabar buruk bagi Jakarta, yang kini masih tertatih-tatih mengatasi banjir. Dr. Nasruddin Djoko Surjono, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta sekaligus mantan pejabat Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, berbincang secara tertulis dengan kumparan soal banjir Jakarta di sela kesibukannya, Jumat (24/1).
Petugas Sudin Sumber Daya Air Jakarta Selatan membongkar tanggul Kali Pesanggrahan yang jebol, di Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta, Jumat (3/1/2020). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Seperti apa rencana jangka pendek Jakarta untuk mengatasi banjir dan genangan yang selalu muncul tiap musim hujan? Pemprov DKI Jakarta melalui berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) melakukan pendekatan struktural maupun nonstruktural.
Pendekatan struktural yang dimaksud di antaranya pengurasan saluran dan tali air, pengadaan dan pemeliharaan pompa pengendali banjir, pengerukan badan air baik waduk/sungai guna meningkatkan kapasitas tampungan badan air, penanganan sampah badan air, pembuatan drainase vertikal, dan pembangunan serta optimasi ruang terbuka hijau untuk peningkatan serapan air.
Pendekatan nonstruktural di antaranya penguatan SOP (standar operasional prosedur) penanganan bencana, pemasangan Disaster Early Warning System (DEWS) di titik rawan banjir, serta peningkatan kerja sama dengan daerah sekitar.
Suasana di kawasan Apartemen Shangri-La yang tetap asri meski daerah sekitarnya terendam banjir. Foto: Cristian Rahadiansyah via Instagram/@whereiscristian
Soal drainase yang tidak berfungsi dan pompa air yang mati, apa yang sudah Pemprov DKI lakukan?
Banjir di awal tahun 2020 ini salah satunya disebabkan oleh hujan lokal berintensitas ekstrem dengan durasi cukup panjang. Curah hujan ekstrem ini menyebabkan kapasitas daya tampung badan air/saluran tidak mampu menampung besarnya air yang ada dan menyebabkan terjadinya genangan.
Hal itu diperparah dengan akumulasi debit air dari daerah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung-Cisadane yang memperparah kondisi Jakarta hingga banjir menggenangi 390 RW di DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyiagakan 478 pompa air yang tersebar di 176 titik dan 122 unit pompa air mobile/pompa berjalan, dalam rangka mitigasi genangan maupun banjir. Prasarana dan sarana ini juga telah dipelihara secara berkala. Pompa-pompa ini dalam posisi standby dan siap dioperasikan saat terjadi kondisi yang berpotensi terjadinya genangan atau banjir.
Meskipun begitu, saat terjadi kondisi limpas, pompa yang ada sudah tidak dapat dioperasikan lagi.
Suasana di aliran Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (24/1). Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Bagaimana kondisi drainase vertikal di DKI Jakarta? Seberapa efektif sistem drainase tersebut? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengupayakan berbagai macam cara dalam penanganan banjir salah satunya adalah pembuatan drainase vertikal yang bertujuan untuk meminimalisasi banjir dengan meningkatkan tingkat resapan air ke tanah.
Dalam jumlah yang besar/masif, drainase vertikal ini dapat menjadi salah satu strategi jitu dalam mengurangi genangan sekaligus meningkatkan cadangan air tanah. Ke depannya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mengoptimalkan upaya-upaya serupa.
Salah satu kritikan yang muncul adalah revitalisasi trotoar yang tidak disertai dengan perbaikan saluran air. Bagaimana tanggapan Anda? Dalam pelaksanaan revitalisasi trotoar, terlebih dahulu dilakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi terkait, salah satunya Dinas SDA (Sumber Daya Air) untuk mengetahui kondisi saluran dan melakukan langkah-langkah penanganan. Seperti pengurasan saluran sebelum pembangunan, pembangunan saluran yang terputus, revitalisasi di beberapa segmen saluran yang memerlukan perbaikan.
Apa tindak lanjut yang dilakukan pemprov terkait bangunan-bangunan seperti perkantoran/hotel/mal yang tidak memiliki sumur resapan dan masih menyedot air tanah? Pemerintah Provinsi DKI akan terus mengintensifkan pengawasan terhadap bangunan-bangunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana perizinan yang telah diterbitkan. Pelanggaran yang terjadi akan ditindak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku mulai dari peringatan hingga penyegelan terhadap bangunan.
Terkait pengaturan penggunaan air tanah dan sanksi pelanggaran izinnya sudah diatur di dalam perda Nomor 10 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Seperti apa upaya Pemprov DKI Jakarta untuk memperluas area Ruang Terbuka Hijau yang sampai saat ini masih di angka 9,9%? Area mana saja yang berpotensi dialihkan menjadi RTH? Upaya pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta didekati melalui penyediaan taman, hutan, serta makam. Meskipun dengan kondisi kota Jakarta yang relatif telah terbangun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara konsisten mengalokasikan dana yang cukup untuk penyediaan ketiga jenis RTH dimaksud.
Sejak Tahun 2018 hingga 2020 ini telah dianggarkan lebih dari Rp 5 triliun untuk pengadaan tanah RTH Taman, Hutan dan Makam. Begitu pula halnya dengan upaya penagihan kewajiban fasos-fasum berupa RTH terus diintensifkan.
Selain itu jika pemahaman ruang hijau tidak hanya dilihat dari luasan lahan hijau, melainkan sebagai keseluruhan fungsi ekologisnya, maka penyediaan ruang hijau dapat juga didekati melalui taman-taman vertikal dan taman pada atap bangunan tinggi (roof garden).
Infografik Banjir Jakarta. Foto: Dimas Prahara/kumparan
Berapa dengan Ruang Terbuka Biru? Bagaimana kondisinya? Apa saja upaya revitalisasi yang dilakukan? Saat ini baru 3% cakupan layanan RTB, masih jauh dari kondisi ideal yang diamanatkan dalam Perda 1 tahun 2012 tentang RTRW dimana RTB ideal berada pada angka 5%. Solusinya adalah pembebasan tanah untuk waduk/situ untuk meningkatkan luasan area, selain itu juga buat naturalisasi.
Lalu bagaimana dengan dampak pembangunan infrastruktur, baik itu jalan, mal, dan gedung lainnya, terhadap kondisi tanah dan air DKI Jakarta? Pembangunan berbagai infrastruktur dan bangunan gedung menjadi suatu keniscayaan bagi suatu kawasan perkotaan yang aktivitasnya terus berkembang secara dinamis. Namun itu semua telah disiapkan ‘aturan mainnya’ melalui berbagai regulasi serta instrumen perizinan. Hal ini pasti akan membawa dampak apabila tidak dikelola secara baik.
Namun demikian, Pemprov DKI Jakarta terus melakukan pembinaan dan pengawasan kepada para pemilik/pengelola gedung agar mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk kaitannya dengan pemanfaatan air tanah. Paralel Pemprov DKI Jakarta terus mengupayakan peningkatan layanan air perpipaan guna menekan laju penurunan muka tanah yang dominan disebabkan oleh ekstraksi air tanah yang berlebihan.
Banjir Jakarta. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Banjir ini sudah puluhan tahun terjadi. Sebetulnya, apa hambatan yang dihadapi Pemprov dalam mengendalikan banjir di Jakarta? Ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pembangunan infrastruktur banjir di Jakarta. Di antaranya terkait dengan kewenangan pengelolaan badan air dan prasarana pengendali banjir yang tidak sepenuhnya berada di Pemprov DKI Jakarta.
Begitu pula halnya dengan pengadaan lahan untuk peningkatan kapasitas badan air yang seringkali dihadapkan pada isu sosial, ekonomi, hingga HAM. Selain itu besarnya biaya yang dibutuhkan juga menjadi salah satu faktor penyediaan infrastruktur banjir secara bertahap.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten