Bareskrim Ciduk 3 Pengedar 'Poppers' Obat Perangsang Seks LGBT

22 Juli 2024 18:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri, Brigjen Pol Mukti Juharsa saat ditemui wartawan usai konferensi pers pengungkapan clandestine lab ekstasi jaringan Fredy Pratama, di Sunter, Jakarta Utara, Senin (8/4/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri, Brigjen Pol Mukti Juharsa saat ditemui wartawan usai konferensi pers pengungkapan clandestine lab ekstasi jaringan Fredy Pratama, di Sunter, Jakarta Utara, Senin (8/4/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri menangkap tiga warga Banten dan Bekasi berinisial RCL, P, dan MS. Ketiganya jadi pengedar 959 buah botol dan 710 kotak berisi Poppers.
ADVERTISEMENT
Kasubdit III Dirtipidnarkoba, Kombes Suhermanto, mengatakan awalnya pihaknya menangkap RCL di wilayah Bekasi. Dari keterangan pelaku, kemudian polisi menangkap rekannya di Banten.
Poppers yang mereka edarkan sudah dilarang BPOM sejak Oktober 2021 karena mengandung isobutil nitrit. Obat ini digunakan untuk merangsang hubungan seks sesama jenis.
"Poppers ini obat perangsang yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk berhubungan seksual sesama jenis ya," kata Suhermanto di Mabes Polri, Senin (22/7).
Suhermanto menyebut obat itu berbahaya untuk digunakan karena dapat mengakibatkan stroke hingga serangan jantung yang berujung kematian.
"Berbahaya bisa menyebabkan stroke, serangan jantung bahkan bisa kematian," ucap dia.
Kepada polisi, RCL mengaku sudah mengedarkan obat itu sejak tahun 2017 lewat marketplace. Obat itu diperolehnya dari China dan dijual khusus ke komunitas LGBT.
ADVERTISEMENT
"Kedua tersangka tersebut juga mendapatkan obat perangsang Poppers diimpor dari Cina. Kedua tersangka telah menjual Poppers sejak tahun 2022 dengan menggunakan media sosial Twitter dan aplikasi media sosial," katanya.
Akibat perbuatannya, tiga pelaku peredaran Poppers disangkakan Pasal 435 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Kesehatan dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun.